Peran Asbab An-Nuzul Menolak Kesalahan Memahami Tekstual Ayat

Al-Qur’an turun kepada nabi Muhammad tidak dalam sekali waktu. Ia turun secara bertahap. Tujuan diturunkannya al-Qur’an secara berangsur-angsur menurut Syekh Thahir Ibnu ‘Asyur (W. 1973) adalah agar lafaz dan maknanya dapat benar dihafal dab dipahami secara mendalam. (lihat At-Tahrir wa at-Tanwir)

Terkadang sebuah ayat turun sebagai respon terhadap sebuah kejadian yang sedang dialami Nabi. Hal inilah yang lazim disebut dengan asbab an-nuzul. Kajian mengenai asbab an-nuzul sangat pening bagi mereka yang ingin mengkaji tafsir ataupun hukum-hukum fikih yang terdapat dalam al-Qur’an. As-Suyuthi secara tegas menyanggah pihak-pihak yang secara enteng menganggap bahwa telaah asbab an-nuzul tidak diperlukan dalam kajian tafsir serta lebih cocok masuk dalam rumpun ilmu tarikh. (Lihat As-Suyuthi, al-Itqan fi ‘ulum al-Qur’an).

Syekh Muhammad ‘Abdul ‘Adzim Az-Zarqani dalam Manahil al-‘Irfan menjelaskan secara gamblang beberapa manfaat mengkaji sebab-sebab turunnya ayat. Salah satu di antaranya ialah untuk memahami tafsir secara mendalam dan mencegah kesalahan fahaman tentang tekstual ayat.

Memahami tafsir atau maksud suatu ayat tidak mungkin bisa secara komprehensif didapatkan kecuali juga mengetahui sebab turunnya. Dalam hal ini, beberapa contoh diberikan oleh penulis Manahil al-‘Irfan. Dalam Surat Al-Baqarah terdapat ayat sebagai berikut;

وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ

“Hanya milik Allah timur dan barat. Ke mana pun kamu menghadap, di sanalah wajah Allah” Q.S. Al-Baqarah [2]: 115

Ketika hanya sekilas membaca redaksi ayat secara tekstual, maka hipotesis yang didapat adalah setiap orang boleh melakukan salat apapun dengan menghadap arah manapun. Karena dimanapaun arahnya, Wajh Allah ada disana.

Akan tetapi menurut Syekh Abdul Adzim, jika melihat latar belakang turunnya ayat, pemahaman salah tersebut bisa ditolak. Karena ayat itu turun bagi orang yang salat sunah dalam bepergian saja.

Baca Juga:  Tafsere Akorang Ma’basa Ugi : Tafsir Al-Qur’an Berbahasa Bugis

Contoh lain yang diberikan adalah kasus ayat berikut;

قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ

“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor, atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah”. Q.S. Al-An’am [6]: 145”

 

Dalam ayat ini terdapat sebuah hasr. Hasr sendiri secara mudah dapat diartikan dengan meringkas atau mengkhususkan hukum pada objek tertentu. Peringkasan tersebut didapat dari kutipan kalimat negatif “Allah tidak mewahyukan hal-hal haram”, yang setelahnya diikuti dengan pengecualian berupa “kecuali bangkai, babi, darah dst.”.

Secara tekstual, ayat ini akan memberikan hipotesis bahwa yang diharamkan hanya hal-hal yang ada di ayat itu saja, sedangkan yang ada tidak tercantum di sana semua halal.

Akan tetapi, nyatanya as-Syafi’i menjelaskan bahwa hashr pada ayat tersebut bukanlah hal primer yang dituju, sehingga hasr tersebut tidak berlaku. Mengapa? Karena ayat ini turun menjadi respon bagi orang-orang kafir yang gemar menghalalkan apa yang allah haramkan serta menghalalkan apa yang allah haramkan. Tujuan utama ayat ini turun lebih sebagai sanggahan, tandingan dan kecaman bagi mereka, bukan bermaksud menjelaskan hal-hal yang haram.

Posisi ayat ini menurut As-Syafi’i, seperti halnya ketika ada orang yang berkata

لَا تَأْكُلْ الْيَوْمَ حَلَاوَةً

“Jangan makan manisan hari ini!”

Dan ditanggapi dengan kata-kata

لَا آكُلُ الْيَوْمَ إِلَّا حَلَاوَةً

“Justru aku hari ini hanya akan makan manisan”

Kata – kata ini sebagai jawaban untuk menolak sekaligus melakukan kebalikan dari apa yang dilarang. Coba anda bayangkan bagaimana jika ada orang yang melarang kita melakukan sesuatu, dan kita justru dengan tegas mengatakan akan melakukan apa yang ia larang. Begitu pula, ayat diatas turun sebagai statemen tandingan atas apa yang dilakukan orang-orang kafir.

Baca Juga:  Tafsīr Al-Ijāz Fi Taisīr Al-I’jāz Al-Anbiya: 42-43

Selain hal ini, sebenarnya masih banyak lagi manfaat dari memahami asbab an-nuzul seperti mengetahui hikmah suatu aturan syariat, memudahkan menghafal, dan lain sebagainya. Untuk itu, kami persilahkan pembaca untuk menelaah sendiri bab asbab an-nuzul di kitab-kitab ‘ulum al-Qur’an. Selamat membaca!. []

Wildan Fatoni Yusuf
Mahasantri Ma'had Aly Lirboyo, Peminat Kajian Fikih, Fiqh al-Hadits dan Tafsir Ayat al-Ahkam

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini