Hidup Ini untuk Apa?

Di Jakarta, pada suatu malam yang tenang, seorang teman karib menemuiku di tempat aku menginap untuk dua malam. “Aku kangen ngobrol dengan “njenengan“, seperti dulu kala yang indah dan syahdu”, katanya. Kata “seperti dulu kala” menunjuk hari-hari saat aku masih kost di Menteng, antara tahun 2007-2014, untuk menapaki perjalanan hidup.

Aku menyambutnya dengan riang. Aku lalu mengajaknya menyusuri jalan kenangan di seputar kawasan Menteng yang mengesankan dan menyimpan keindahan melankolis. Sepanjang perjalanan itu kami bercerita masa lalu di sejumlah tempat. Sesekali aku menyanyikan lagi “Sepanjang Jalan Kenangan” yang dulu dinyanyikan Tetty Kadi.

Bila kemudian tiba di TIM (Taman Ismail Marzuki) kami berhenti dan mencari tempat duduk yang nyaman untuk ngobrol. Dia pesan kopi, aku pesan teh tawar. Dia mengambil sebatang rokok dan mengisapnya. Sedang aku tak lagi merokok dan ngopi. Dilarang dokter. Pasca sakit dan dirawat di RS. Lalu perbincangan diteruskan dan berlangsung hangat. ” Di sini, aku pernah baca puisi dan nonton konser musik klasik”, kataku.

Banyak hal diperbincangkan antar aku dan dia. Kami bercerita dan berceloteh ngalor ngidul tentang pengalaman hidup di ibu kota dengan seluruh suasana hiruk-pikuk, kelelahan dan tertawa terbahak-bahak yang tak jelas. Kami bicara tentang manusia berikut problematika, ambiguitas, kemunafikan dan paradoks-paradoks kehidupan yang tak dimengerti. Absurd, tetapi mengasyikkan. Aku bertanya sendiri: “hidup ini untuk apa dan mau kemana?.

Tampaknya kita hidup hanya untuk mempertahankan hidup. Semua orang ingin dan sangat berambisi untuk mencari kenikmatan hidup selama-lamanya di sini, meski tahu itu tak mungkin. Setiap yang hidup pasti akan mati. Semuanya akan berhenti dan tak akan kembali di sini selama-lamanya”, kataku seperti berceramah.

Baca Juga:  Prinsip Kesempurnaan Hidup dalam Lagu “Ngelmu Pring” yang Dipopulerkan Rap Rotra Group

Aku segera ingat Ibnu Athaillah al-Sakandari, sufi master, mengatakan dalam karya Magnum opusnya “Hikam” :

َما مِنْ نَفَسٍ تُبْدْيهِ إلّا وَلَهُ قَدَرٌ فيكَ يُمْضِيهِ

“Nafas yang kau hembuskan selalu memiliki batas berhenti atas keputusan Dia”.

Temanku menyahut: “Hidup bagai kisah Sisifus”. Temanku ini sering menulis cerpen di majalah sastra Horison dan menulis Novel.

“Ya seperti dalam Novel Sisifus karya Albert Camus, yang terkenal itu”, jawabku.

Akhirnya aku bilang begini :

Setiap kita adalah pengelana yang menyusuri jalan-jalan di bumi, sama sebagaimana makhluk melata. Di sini masing-masing mencari dirinya sendiri dan kelak akan membawa dirinya sendiri, kembali ke asal.

Abdurrahman Badawi, filsuf Eksistensialis dari Mesir mengatakan :

بالصدفة اتيت الى هذاالعالم وبالصدفة ساغادر هذاالعالم. (عبدالرحمن بدوى)

“Kita datang atas kehendak-Nya, bukan atas kehendak kita, dan akan meninggalkannya atas kehendak-Nya pula, bukan atas kehendak kita”.

Dan kita hanya singgah sementara di bawah payung Cinta-Nya untuk pada saatnya berhenti pada satu titik menuju pulang kembali ke asal.

Nabi mengatakan:

ما انا فى الدنيا الا كعابر سبيل استظل تحت شجرة ثم راح وتركها

“Aku di dunia ini hanyalah bagai pejalan, musafir (pengembara) yang bernaung sejenak di bawah pohon, lalu berangkat lagi dan meninggalkannya”.

Ya, kita akan kembali ke asal,
sendiri-sendiri, sebagaimana kita datang
Lalu kita menghadap-Nya
sendiri-sendiri, membawa diri sendiri
tak ada seorang pun yang menemani perjalanan pulang itu, tak ada lagi para kekasih.

Tak ada apapun yang dibawa serta kecuali “diri” dan pengalamannya selama hidup.

Keturunan kita, kekayaan dan anak-anak yang kita bangga-banggakan tak lagi berguna. Hanya hati yang bersih dan pasrah lah yang dapat membantu kita.

Baca Juga:  Hidup Tanpa Pujian Dan Cacian

Tubuh kasar, berikut seluruh keindahannya akan menjadi mayat, bangkai dan akan segera hancur lebur, menyisakan tulang belulang.

Yang tersisa hanyalah kenangan dan nama baik. []

Husein Muhammad
Dr (HC) Kajian Tafsir Gender dari UIN Walisongo Semarang, Pengasuh PP Darut Tauhid Arjowinangun Cirebon, Pendiri Yayasan Fahmina Institute

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Hikmah