Keistiqamahan

Saya ingin mengawali tulisan ini dengan cerita yang menarik antara dua tokoh sufi yang fenomenal, yakni Hasan al Bashri dan Rabi’ah al Adawiyah, keduanya merupakan tokoh sufi yang tersohor yang berasal dari daerah Bashrah

Suatu ketika ketika Hasan al Bashri dengan Rabi’ah sedang berkumpul, Hasan al Bashri mengajak Rabi’ah untuk sholat, lalu karena Rabi’ah ingin pamer karomah kepada Rabi’ah, Hasan al Bashri menggelar sajadahnya di sungai, sehingga sholat di atas air, namun rabi’ah hanya tertawa saja seraya berkata “Hai Hasan al Bashri, kamu ini kenapa? Pamernya kok nanggung, sekalian begini loh” kemudian Rabi’ah mengambil sajadah dan menggelarnya di udara sehingga akan sholat di udara.

Rabi’ah melanjutkan perkataanya kepada Hasan al- Bashri “ Begini saja (shalat di udara) agar orang di seluruh kota mengetahui kalau kamu punya karomah, apa istimewanya yang kamu lakukan? Kalau hanya shalat di atas air, ikan-ikan juga bisa, kalau hanya shalat di udara burung-burung pun juga mampu, yang istimewa itu hanya lah keistiqamahan kita di jalan Allah.

Cerita di atas seolah menampar kita, yang ketika beribadah ataupun ketika melakukan suatu amal kebaikan, bernafsu agar orang lain harus mengetahui amal yang kita perbuat, seolah-olah tidak cukup jika hanya Allah yang mengetahui amal kebaikan kita. Maka orang yang seperti itu motivasi amal baiknya adalah manusia, bukan murni karena ketulusan hati untuk menghamba kepada Allah.

Padahal Allah telah bersabda dalam Firman sucinya dalam surat Az-Zumar ayat 11:

قُلْ اِنِّيْۤ اُمِرْتُ اَنْ اَعْبُدَ اللّٰهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّيْنَ ۙ

Katakanlah, Sesungguhnya aku diperintahkan agar menyembah Allah dengan penuh ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.”

Ayat tersebut memberi pemahaman kepada kita bahwa ketika kita melakukan suatu amal, kita perlu untuk memurnikan niat melakukan penghambaan kepada Allah, tanpa dicampuri dengan riya’ dan sebagainya. Karena dengan kita melibatkan riya’ dalam amal perbuatan kita, justru akan merusak amal perbuatan kita. Karena sejatinya, kita hidup di dunia ini hanyalah mengabdi kepada Allah, hal ini selaras dengan Firman Allah pada surat al-Dzariyat ayat 56:

Baca Juga:  KH. Hasan Abdillah: Sang Penegak Istiqomah dari Tanah Glenmore

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَا لْاِ نْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ

Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.”.

Kemudian ketika kita meneruskan cerita antara Hasan al-Bashri dengan Rabi’ah al-Adawiyah, pada akhir ucapanya berkata “Tidak ada yang istimewa, jika sholat di atas air, ikan pun bisa, jika sholat di udara burung-burung di langit pun tidak akan gagal, yang istimewa hanyalah keistiqamahan kita di jalan Allah”.

Penekananya terdapat pada beberapa kata yang terakhir yang menyebutkan istiqamah merupakan hal yang istimewa, bagaimana bisa istiqamah dikatakan sebagai hal yang istimewa? Bahkan ungkapan lain menyebutkan jika istiqamah lebih baik dari 1000 keramat. Hal itu dikarenakan karena Allah lebih menyukai amalan yang dilakukan secara istiqamah walaupun sedikit ataupun ringan, tinimbang amal yang banyak ataupun berat namun tidak dikerjakan secara istiqamah.

Namun di sini tidak soal amal yang ringan, sedikit atau berat ataupun banyak, namun ketika suatu amal perbuatan sudah benar-benar merasuk ke dalam sanubari tubuh kita, amal tersebut sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, sehingga setiap hari kita selalu melakukan suatu amal tanpa merasa terbebani, jika sudah seperti ini, maka bukan beban atau tanggungan yang dirasakan, namun akan menjadi kebutuhan dan kebiasaan, yang pada akhirnya ketika hal tersebut tidak kita lakukan maka hari-hari yang kita lewati akan terasa hampa, serasa ada kekurangan yang harus segera di tambal, maka kita tidak akan lagi menimbang suatu amal dengan sedikit dan banyak ataupun ringan dan berat.

Terlebih di sini adalah istiqamah di jalan Allah, tentu ini bukan hal yang mudah, pasti ada gangguan yang senantiasa menghampiri, karena bagaimanapun juga suatu kebaikan selalu ada halangan yang menyertainya, baik gangguan dari diri sendiri seperti sifat riya’ yang merasa tidak cukup jika orang lain tidak menyaksikanya, hingga gangguan dari luar seperti cemoohan dan gangguan yang menyebabkan kita kesulitan untuk melakukan kebaikan dari orang lain. Semoga kita semua dapat selalu istiqamah di jalan-Nya. []

Moh. Haidar Latief
IKSAB TBS, Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo, pengelola media Hammasah

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini