Pagi ini seperti biasa aku berangkat ke sekolah bersama teman-temanku dipondok pesantren Al-Huda, tidak terasa setelah melewati perjalanan yang bukan sebentar, aku sekarang masih berdiri tegak dan istiqomah dipesantren dengan kedua temanku yaitu Ibnu dan juga Fadlan, tiga tahun yang lalu aku masuk dan membaca bai’at sebagai santri baru. Santri merupakan nama sebutan bagi seseorang yang menimba ilmu agama di pondok pesantren, setiap hari santri dituntut untuk selalu mengaji, sholat berjama’ah, menghapal Al-qur’an, belajar berpidato dan juga sholat malam. Pada tahun pertama berada dipondok pesantren memanglah sangat melelahkan dan juga membosankan, karena gaya kehidupan pesantren yang jauh dari kebiasaan sehari-hari anak muda zaman sekarang, seperti, dilarang membawa handphone, menonton televisi, bermain catur bahkan merokok pun dilarang.
Perkenalkan namaku Galih Sukma Wijaya, yang sering dibanggil dengan panggilan Dobleh, entah darimana asal muasal nama panggilanku itu, tapi aku mensyukurinya karena aku berfikir bahwa nama Dobleh itu merupakan singkatan dari tawaDO Berani soLEH (DOBLEH) jadi mungkin teman-temanku yang selalu memanggilku Dobleh selalu berdo’a akan kebaikanku, hobiku dari SD adalah membaca dan juga menulis karena memang entah kenapa setiap libur akhir tahun aku selalu ingin pergi liburan mengunjungi setiap Gramedia yang ada dikota kelahiranku, namun hanya untuk mengunjungi saja, ketika aku merengek dan meminta kepada orangtuaku untuk membelikannya mereka selalu berkata “Pasti ujung-ujungnya gak akan dibaca! udah lihat lihat aja gak usah beli!”.
“Bleh! cepet! kita udah mau kesiangan!” ujar Ibnu yang memecah lamunanku.
“Astagfirullah! iya maaf nu ayo kita berangkat” kataku sambil menarik tangan Fadlan.
“Duh pas udah sadar narik-narik, tadi malah ngelamun, dasar Dobleh!” gerutu Fadlan.
Setelah pulang sekolah aku selalu menyempatkan untuk selalu menulis satu lembar didalam buku catatanku, aku menulis sebuah cerita motivasi setiap hari, ketika aku kehilangan imajinasiku untuk menulis maka aku selalu membaca buku untuk memperkaya kosa kata yang aku punya, hari demi hari akhirnya sampai dilembar terakhir dan aku pun berniat untuk menyetorkan naskahku kepada penerbit, dan berharap semoga tulisanku dapat terbit dan dinikmati oleh orang banyak, karena naskah yang aku ketik itu merupakan naskah yang berisi sebuah motivasi-motivasi kehidupan, dan juga cara-cara agar tidak bersedih.
Ketika akhir bulan ayah dan ibuku datang ke pondok pesantren untuk menjengukku dan juga memberikan uang jajanku selama sebulan, pada bulan ini tepatnya bulan Desember aku mengungkapkan sebuah keinginanku kepada mereka bahwa aku ingin menjadi penulis, dan aku berniat untuk menyetorkan sebuah naskah kepada kakakku yang mempunyai laptop agar nantinya diketik terlebih dahulu dan juga disetorkan kepada penerbit.
“Mah, tolong buku ini berikan kepada kakak ya, minta kakak agar mengetiknya kemudian setorkan naskah ketikan kakak ke penerbit yang udah aku kasih nomor teleponnya waktu itu!” ucapku sambil memberikan bukuku kepada ibu.
“Memangnya kamu mau jadi penulis? bukannya penulis itu tidak akan mendapat gaji yang besar ya? kamu nggak mau kaya emang dimasa depan nanti? Jadi penulis tuh sama aja kaya pengangguran, udah lah buat apa diketik segala, lebih baik sekarang kamu perbanyak belajar, fokus cari ilmu, lihat tuh kakak kamu, sekarang udah kuliah selalu dapat nilai besar, pas SMA dulu kakak kamu dapat beasiswa gratis, lah kamu nyusahin terus, pasti kalo mau nerbitin buku tuh bayar puluhan juta.” kata ibu yang sepertinya sangat marah sambil mengembalikan buku itu kepadaku.
Sungguh pada saat itu aku ingin menjerit keras-keras kepada tuhan, kenapa orangtuaku tidak mendukung aku untuk menjadi penulis? dimana kamu tuhan aku ingin mengadu! sempat aku berfikir untuk menyudahi keinginanku untuk menjadi penulis, tapi aku tidak bisa menyudahi itu, aku harus semangat, aku akan membuktikan bahwa penulis itu hebat, bahwa penulis itu bukan pengangguran.
Sekarang setelah pulang sekolah aku selalu menyempatkan waktu untuk datang ke warnet, hanya sekedar untuk ikut mengetik, selama satu minggu aku berpuasa daud atau puasa yang bermetode sehari tidak puasa sehari puasa, agar uang jajanku lebih irit lagi, dan nantinya aku tabungkan untuk biaya penerbitan, akhirnya dalam jangka waktu dua miggu aku merampungkan naskah ceritaku, dan aku sudah siap menerbitkan naskahku ke penerbit. Setelah aku menemukan penerbit yang aku fikir cocok maka aku mulai berinteraksi dan juga bernegosiasi kepadanya, dan tidak disangka paket terbit paling murah adalah sebesar Rp.350.000,00,- (tiga ratus lima puluh ribu rupiah), bukanlah uang yang sedikit bagiku, aku harus tidak jajan dan makan selama sebulan untuk dapat mengumpulkan uang sebesar itu, akhirnya aku memutuskan untuk meminjam uang kepada Ibnu.
“Nu boleh aku pinjam uangmu sebentar?” tanyaku kepada Ibnu yang sedang makan.
“Sebentar aku habiskan dulu ya!” katanya sambil menggiling makanan kedalam perutnya itu.
“iya silahakan.”
“Berapa uang yang akan kamu pinjam Bleh? emang buat apa? uangmu habis?” tanya Ibnu yang sangat detail menanyakannya kepadaku.
“Gini Nu, kan aku ada rencana mau menerbitkan buku, nah boleh nggak kalo aku pinjam dua ratus ribu saja?” ujarku.
“Haduuh, kalo dua ratus aku nggak punya Bleh, soalnya biaya buat nerbitin buku juga gak terlalu penting kan? aku juga rencana mau beli kamera, jadi aku sekarang lagi menabung, maaf ya Bleh.” katanya yang langsung pergi meninggalakanku.
Ya Allah! kenapa temanku saja tidak mau membantuku, dan kenapa semua orang terdekatku menganggap bahwa buku itu tidak penting dan berharga, padahal ketika manusia mati nanti maka harus ada sesuatu yang abadi, dan dengan menjadi penulislah yang karyanya akan selalu abadi. Aku sekarang sangat bingung dan juga pesimis, mulai dari sekarang akan aku tekadkan bahwa aku akan menabung lebih rajin lagi. Setelah akhirnya uang itu terkumpul aku menyetorkan naskahku kepada penerbit, dan setelah sekian lama menunggu, akhirnya naskahku dapat terbit dan dibukukan dengan judul “GALAU : Gak usah Alay dan Lebay ada Allah Untuk kita.” setelah buku itu datang kepadaku aku segera menyetorkan buku itu kepada guruku yaitu kang Jalal, dan tidak disangka kang Jalal sangat antusias dan mendukungku atas buku karyaku ini, tidak tanggung-tanggung kang Jalal bilang bahwa nanti buku karyaku ini biaya percetakan selanjutnya akan ditanggung oleh pesantren, dan juga nanti ketika acara kenaikan kelas aku disuruh untuk membedah bukuku itu.
Terimakasih Ya Allah, sekarang teman-temanku dan juga orang tuaku ikut bangga dan juga mengapresiasi kepadaku, aku sangat bahagia sekarang. (IZ)