Kesantunan berbicara ditentukan dari pemilihan kata yang tepat sesuai dengan konteks situasi pertuturan, pemilihan ungkapan yang pantas dalam situasi yang tepat erat kaitannya dengan kecerdasan berbahasa seseorang, karena merangkai ungkapan dari berbagai pilihan kata bukanlah hal yang mudah. Kalimat yang tepat untuk menggambarkan hubungan antara situasi dan ungkapan yang dipilih adalah:

لِكلِّ مَقامٍ مَقال، ولكل مقالٍ مقامٌ
Para penutur bahasa juga mengenal adanya eufimisme yaitu ungkapan halus yang menggantikan ungkapan kasar. Hal ini tidak asing dalam khazanah bahasa Indonesia yang kaya dengan eufimisme.

Dalam bahasa Arab hal ini juga kita temukan dalam beberapa kata dan ungkapan penghalus pada kata-kata yang dianggap tabu, seperti “انتَقَل إلى جِوار ربِّه” (mati), “بيتُ الأدب” (toilet), “لا يثمر شجره” (pelit) dll. Kita tentu juga sudah mengetahui bahwa dalam beberapa ungkapan bahasa Arab, orang sakit disebut “مُعافى” (sehat), tuna netra disebut “بصير” (bermata awas)، orang yang juling disebut “كريم العين” (bermata mulia).

Ada banyak cerita kecerdasan para penutur bahasa Arab dalam mengungkapkan kalimat yang tepat sembari menjaga kesantunan agar tidak menyinggung lawan bicara.

Harun Ar Rasyid pernah suatu ketika di rumahnya melihat seikat pohon bambu (dalam bahasa Arab: خيزُران) lalu ia bertanya kepada menterinya Fadhl bin Ar Robi’: “Apa ini?”

Fadhl dengan kecerdasannya menjawab:
“عُروق الرِّماح يا أمير المؤمنين”
(Beberapa batang bambu wahai Amirul Mukminin)
Sang menteri menghindari menyebut kata خيزُران karena ia tahu bahwa nama ibu sang Khalifah adalah “khaizuran”. Sehingga ia menghindari ungkapan tsb demi menjaga kesantunan di hadapan Harun ar Rosyid.

Salah seorang Khalifah juga pernah menguji kecerdasan anaknya dan bertanya:”apa jamak lafadz مِسْواك ?”

Baca Juga:  Metode Dakwah Santun ala Umar Bin Abdul Aziz

Anaknya dengan santun menjawab: “lawan kata مَحَاسِنك?”
(Lawan kata محاسنك tentu saja adalah مَسَاويك = jamak dari kata مسواك)
Sang anak menghindari ungkapan مساويك karena kata ini bermakna “kejelekan-kejelakanmu” dan tentu saja kata ini tidak pantas diucapkan bagi pemimpin.

Sayyiduna Umar pernah suatu ketika berjalan di malam hari mengontrol kota Madinah, lalu ia menemukan api (نار) yang sedang menyala. Beliau lalu berteriak memanggil:
“يا أهلَ الضَّوء”
(wahai pemilik cahaya)
Dalam hal ini beliau menghindari memanggil dengan kata “يا أهلَ النار” (wahai pemilik api) karena identik dengan “wahai ahli neraka”.

Ketika Sayyiduna Abbas ditanya:
“أنتَ أكبَر أم رسول الله؟”
(Apakah anda lebih tua dari Rosulullah?)

Beliau menjawab dengan kesantunannya:
“هو أكبَرُ مِني، وَلكن أنا وُلدْتُ قبله”.
(Rasullullah lebih besar dariku tapi aku dilahirkan sebelumnya)
Beliau tidak ingin mengatakan bahwa beliau أكبَر daripada Rosulullah demi menjaga etika kepada baginda Rosulullah, karena kata أكبر meskipun yang dimaksudkan dalam pertanyaan di atas adalah dari segi umur, tetapi kata tersebut juga bisa dipahami lebih agung dan besar dari Rosulullah, dan beliau tidak ingin orang salah memahami ungkapan tsb.

Kemampuan bertutur yang santun dan tidak menyinggung orang inilah yang seringkali diabaikan para pengguna bahasa. Padahal ini adalah seni bertutur yang diwariskan generasi pendahulu kita.

Contoh-contoh sengaja saya ambilkan dari bahasa Arab karena dalam Bahasa Indonesia kata-kata penghalus sangat banyak sekali dan sudah kita ketahui, hal ini sebenarnya menunjukkan bahwa watak asli bangsa Indonesia adalah bangsa yang halus. (IZ)

M Afifudin Dimyathi
Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya, Pengasuh Pondok Pesantren Darul Ulum Peterongan Jombang, dan Katib Syuriah PBNU.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini