Sebagai makhluk sosial, manusia seringkali berinteraksi dengan manusia lainnya. Cara berinteraksinya beragam. Ada yang lewat gawai, ada yang bertamu ke rumah, ada pula yang mengajak minum kopi bersama. Lebih akrab disebut ngopi.

Biasanya, saat ngopi, ada saja yang dilakukan. Ada yang mengobrol, mulai yang berat hingga ringan. Ada yang membahas soal pekerjaan. Bahkan ada yang bertanding permainan daring. Game online, begitu mereka menyebutnya.

Belakangan, game online menemui masa kejayaan. Kita bisa menyaksikan ragam usia manusia memainkannya. Mulai anak bau kencur sampai orang dewasa. Karena semakin banyak dimainkan, game online itu sering dibuatkan kompetisi. Bahkan game online masuk dalam perlombaan SEA Games. Maka tak heran, banyak anak-anak kekinian semakin intens bermain game online.

Adanya game online ini membuat kita bisa sejenak mundur ke masa lalu. Tepatnya medio 90-an hingga awal millenium kedua. Apa yang ada di periode waktu tersebut?

Tidak lain adalah game offline. Sebelum internet berkembang sedemikian pesat, game offline menggapai masa keemasan. Tepatnya medio 90-an tersebut. Saat itu belum banyak penyedia konsol permainan tersebut. Pemain besarnya tentu Sony, dengan konsol Playstation. Ada juga Nintendo, meski sesekali X-box dari Microsoft cukup mengganggu kehadiran mereka.

Seperti kenangan, game offline juga menyimpan nostalgia. Ada hal-hal menarik yang belum mampu dihadirkan oleh game online. Apa saja itu?

1. Belajar Untuk Antri
Dulu, anak-anak yang ingin memainkan game offline harus mengantri. Pasalnya harga 1 buah konsol game offline masih selangit. Pilihan yang mereka tempuh adalah mendatangi rental game. Datang ke sebuah rental pun tidak otomatis langsung bisa memainkan konsol. Mereka harus menunggu pemain lain selesai dengan durasi waktu yang mereka sepakati dengan pemilik rental. Itu pun mereka harus menunggu berjam-jam untuk dapat giliran main.

Baca Juga:  Habis Daring, Gass Game online

2. Manajemen Finansial Sejak Dini
Karena ingin menyewa konsol, anak-anak harus pintar mengelola keuangan mereka. Mereka rela menyisihkan uang jajan harian demi menyewa konsol game di akhir pekan. Tidak hanya itu, mainan seperti Tamiya atau Gundam pun harus ditunda untuk dibeli.

3. Belajar Bahasa Asing
Mayoritas game yang dimainkan di konsol offline itu berbahasa asing. Ada yang berbahasa Jepang, kebanyakan berbahasa Inggris. Dari situ anak-anak bisa sekaligus belajar bahasa asing. Buktinya, anak-anak sudah fasih memilih menu dalam permainan meskipun berbahasa asing. Padahal kemampuan mereka hanya bisa yes dan no saja.

Seperti lagu Wiro Sableng, segala yang ada di dalam dunia ini terdiri atas dua bagian. Ada bagian yang berisi kebaikan. Ada bagian lain yang penuh dengan kedurjanaan. Bila ada pemain game offline itu melulu dipandang sebagai anak yang nakal, mungkin perlu kita lihat dari sudut pandang yang lain. Mungkin, demikian saja, Ferguso.
Wallahu a’lam.

Hanif Nanda Zakaria
Penulis Buku "Bang Ojol Menulis" Alumnus Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini