Ijtihād Maqāsidī ala Umar Ibn Khattāb (Serial Ngaji Maqāsid Ke-1)

Istilah ijtihād maqāsidī dapat dipahami melalui berbagai ragam definisi. Salah satunya, definisi ijtihād maqāsidī dapat dipahami sebagai proses aktivasi maqāsid syarī’ah dalam sebuah metode istinbāt suatu hukum dalam ijtihad fikih.

Sebagai sebuah pendekatan dalam istinbāt hukum, maqāsid menempati posisi strategis dalam melahirkan produk hukum yang humanis dan kontekstual. Meskipun demikian, bukan berarti ijtihād maqāsidī bebas dan liar tanpa ada batas-batas tertentu sebagai rambu-rambunya.

Pada tulisan kali ini, akan dibahas seputar batas-batas nalar ijtihād maqāsidī dalam istinbāt hukum (fikih). Batas nalar ijtihād maqāsidī tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

Pertama, ijtihād maqāsidī tidak bertentangan dengan teks-teks keagamaan yang bersifat qat’ī (adam mu’āradhah al-ijtihād al-maqāsidī li al-nushūs al-qath’iyah). Sebagaimana diketahui bahwa dalam Islam sifat dalil hukum terbagi menjadi dua: dalil qath’ī dan dalil dzannī. Dalam konteks ini, ijtihād maqāsidī tidak boleh bertentangan dengan dalil-dalil yang bersifat qat’ī, baik qat’ī dari segi aspek otentisitas dan aspek dilālah-nya.

Dalam hal ini, Abū Zahrah memberikan penjelasan berikut:

إن المصلحة ثابتة حيث وجد النص فلا يمكن أن تكون هناك مصلحة مؤكدة أو غالبة والنص القاطع يعارضها إنما هي ضلال الفكر أو نزعة الهوى أو غلبة الشهوة أو التأثر بحال عارضة غير دائمة أو منفعة عاجلة سريعة الزوال أو تحقيق منفعة مشكوك في وجودها وهي لا تقف أمام النص الذي جاء من الشارع الحكيم وثبت ثبوتا قطعيا لا مجال للنظر فيه ولا في دلالته

Senada dengan Abū Zahrah, al-Būtī juga mengomentari hal yang sama sebagai berikut:

ثبت بالدليل الذي لا يقبل الريب أن إجماع الصحابة والتابعين وأئمة الفقه قد تم على أن المصلحة لا يمكن لها أن تعارض كتابا ولا سنة فإن وجد ما يظن أنه مصلحة وقد عارضت أصلا ثابتا من أحدهما فليس ذلك بمصلحة إطلاقا ولا تعتبر بحال

Pada konteks inilah, ijtihād maqāsidī tidak boleh bertentangan dalil qat’ī. Bahkan, Ibn Qayyim dalam I’lām al-Muwaqqi’īn berpendapat bahwa ijtihad yang bertentangan dengan dalil qat’ī adalah ijtihad yang tidak otoritatif. Hal itu kerena ijtihād maqāsidī bersifat dzannī, sementara dalil qat’ī secara otoritatif tidak dapat dipertentangkan dengan produk ijtihād maqāsidī yang bersifat dzannī.

Baca Juga:  Moderatisme Beragama dalam Upaya Membendung Liberalisasi dan Ekstremisme di Indonesia

Berbeda halnya, jika ijtihād maqāsidī bertentangan dengan dalil yang bersifat dzannī. Dalam konteks ini, ada kemungkinan dalam ijtihād maqāsidī dapat men-tarjīh salah satu dilālah teks yang memiliki aspek kemaslahatan lebih kuat dan luas. Jadi, di sini bukan berarti mengabaikan teks demi maslahat, tetapi mengambil dilālah teks yang lebih rājih.

Dalam tradisi Mazhab Hanafiyah dan Mazhab Mālikiyah ini sering disebut sebagai takhsīs al-nas al-dzannī bi al-maslahah al-qat’iyah. Oleh sebab itu, dalam Mazhab Hanafiyah dan Mālikiyah dapat mendahulukan maslahat jika terjadi pertentangan antara dalil teks dzannī dengan maslahat yang hakiki (qat’ī) atau maqāsid al-syarī’ah al-mu’tabarah. Demikian halnya, ijtihād maqāsidī dapat mengabaikan hadis ahād -yang bersifat dzannī, jika bertentangan dengan maslahat yang qat’ī.

Pada titik ini, sekali lagi bukan berarti ijtihād maqāsidī mengabaikan teks, akan tetapi mengutamakan dalil-dalil lain yang lebih ototritatif dan mengandung kemasalahatan yang lebih kuat. Secara praktis, produk ijtihad fikih tersebut dapat dilacak di kalangan mazhab Hanafiyah dan Mālikiyah. Misalnya, tentang hukum tadhmīn al-sunnā’ (jaminan konsumen) dari yad amānah menjadi yad dhamānah, qatl al-jamā’ah bi al-wāhid (hukuman qisās bagi kasus pembunuhan berjamaah terhadap seorang korban) dan hukum tidak wajibnya wanita “ningrat” untuk menyusui anaknya, serta hukum bolehnya tas’īr (penetapan harga sepihak) dalam kondisi dibutuhkan.

Kedua, ijtihād maqāsidī tidak bertentangan dengan ijmā yang bersifat qat’ī (adam mu’āradhah al-ijtihād al-maqāsidī li al-ijmā al-qat’ī). Sebagaimana diketahui bahwa ijmā dalam kajian Ushul Fiqh terbagi menjadi dua: ijmā qaulī dan ijmā sukūtī.

Ijmā Qaulī dikategorikan sebagai dalil naqlī yang otoritatif dan bersifat qat’ī. Itu sebabnya, ijtihād maqāsidī tidak boleh bertentangan dengan ijmā qaulī yang bersifat qat’ī tersebut. Berbeda halnya dengan ijmā sukūtī yang bersifat dzannī. Atau ijmā yang berdasarkan pada hukum-hukum yang dinamis dan selalu berubah sesuai dengan situasi dan kondisi yang mengitarinya.

Baca Juga:  Kampus Sepi Tetapi Tetap Hidup

Misalnya, hukum menjadi saksi bagi keluarga atau kerabat sendiri, atau suami menjadi saksi istrinya yang sebelumnya diperbolehkan di era awal Islam. Sementara menurut fukaha berikutnya melarangnya karena untuk menjaga kemaslahatan berupa jaminan terhadap hak-hak orang lain (hifādhan ala maslahat dhamān huqūq al-nās).

Ketiga, tidak bertentangan dengan qiyas yang illatnya termaktub dalam teks secara jelas (adam mu’āradhah al-ijtihād al-maqāsidī li al-qiyās al-ladzī nassha al-syāri’ ala illatihi tashrīhan). Sebagaimana diketahui bahwa otoritas dalil qiyās tergantung pada otoritas illat hukumnya. Dalam qiyās, illat hukum bersumber dari teks keagamaan secara jelas (min al-nash al-syar’ī tasrīhan) dan teks yang tidak langsung menunjukkan illat (min al-nash al-syar’ī imāan) Atau, illat hukum dalam qiyas itu benar-benar murni hasil ijtihad fukaha.

Jika illat hukum bersumber dari teks yang jelas, maka qiyas tersebut menjadi qat’ī. Oleh sebab itu, ijtihād maqāsidī tidak boleh bertentangan dengan qiyās qat’ī tersebut. Berbeda dengan qiyas yang illat hukumnya bersumber dari teks yang tidak secara langsung (imāan) atau murni hasil ijtihād, maka iijtihād maqāsidī dapat diutamakan dari qiyās tersebut. Hal ini karena dimungkinkan terjadinya pertentangan antara dua ijtihad berbeda sebagaimana dikemukan oleh para jumhūr fukaha.

Keempat, ijtihād maqāsidī tidak bertentangan dengan kemaslahatan yang lebih penting. Misal, hukum wanita karir yang bekerja di luar rumah. Di satu sisi memiliki aspek kemaslahatan bertambahnya penghasilan ekonomi (al-intāj al-iqtisādī). Sementara di pihak lain, berpotensi mengabaikan tugasnya untuk mendidik dan mengasuh anak (tarbiyah al-abnā). Oleh karena itu, sebagian berpendapat bahwa wanita dilarang bekerja di luar rumah demi menambah penghasilan tetapi justru mengabaikan tugas pengasuahan dan pendidikan anak. Hal ini karena hifz al-māl tidak lebih utama dari hifz al-nasl wa al-aql.

Pada konteks inilah, seorang wanita dalam Islam dibolehkan bekerja sebagai wanita karir dengan beberapa catatan, di antaranya (1) tidak mengabaikan tugas untuk mendidik dan mengasuh anaknya dengan penuh perhatian, (2) menjaga kehormatan di tempat kerjanya dan (3) menjalankan kewajibannya sebagai istri bagi suaminya yang bertanggungjawab. Dengan demikian, ketiga kemaslahatan dapat diwujudkan: hifz al-nasl, hifz al-aql dan hifz al-māl sekaligus.

Baca Juga:  Sikap Tokoh Agama Soal Pernikahan Anak di Masa Pandemi

Kelima, ijtihād maqāsidī sejalan dengan nalar rasional (muttasimah bi al-aqlāniyah). Sebagaimana diketahui, bahwa nalar rasional merupakan aspek penting dalam sebuah taklīf hukum. Bahkan, wacana hukum (al-khitāb al-syar’ī) sejatinya sangat identik dengan potensi akal sehat. Oleh karena itu, al-Syātibī pernah menyatakan demikian:

إن دليل تطابق النقل للعقل هو كون الأدلة نصبت في الشريعة لتتلقاها العقول وتعمل بمقتضاها … وما قيل من أن الشريعة غير جارية على فهم العقول فهو بعيد النظر والتحقيق مردود وباطل وغير معقول.

Pada konteks inilah, Ibn Qayyim pun pernah menyatakan bahwa seluruh ketentuan-ketentuan dalam hukum Islam (syariat) sejalan dengan nalar akal (anna kulla mā fi al-syarī’ah yuwāfiqu al-aql). Hal ini dapat dilihat dari konsep al-kulliyah al-khams yang secara rasional merupakan aspek-aspek yang penting untuk diperhatikan dalam Islam.

Dengan demikian, ijtihād maqāsidī sebagai sebuah proses istinbāt hukum produknya bersifat relatif, sehingga tidak boleh berhadap-hadapan dengan beberapa batas nalar di atas. Ijtihād maqāsidī yang justru bertentangan dengan ketentuan rambu-rambu di atas, produk ijtihadnya menjadi tidak otoritatif. Hal itu karena ranah ijtihād maqāsidī berkutat pada dalil-dalil yang bersifat dzannī atau dalil-dalil di luar teks sehingga harus “patuh” pada rambu-rambu dalam aplikasinya. Wallāhu a’lam. (IZ).

Moh Mufid
Redaktur Maqasid Centre, Penulis Buku dan Dosen Maqasid Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Santri Alumni PP Mambaul Ulum Dagan Lamongan, PP Tambakberas Jombang, dan PP Salafiyah Safi'iyyah Asembagus Situbondo, Alumni Fakultas Syariah Wal Qanun Al-Ahgaff University Hadhramaut Yaman, Alumni Magister Filsafat Hukum Islam IAIN Antasari Banjarmasin dan Doctoral UIN Alauddin Makassar.

    Rekomendasi

    1 Comment

    1. […] di atas seringkali digunakan oleh al-Syātibī dalam menjelaskan ontologi maqāsid al-syarī’ah. Nu’mān Jughaim juga selalu memberikan demarkasi istilah-istilah teknis dalam kajian maqāsid. […]

    Tinggalkan Komentar

    More in Pustaka