Setiap peringatan Hari Toleransi, saya selalu teringat pada kenangan ketika menghadiri forum diskusi. Baik di tingkatan mahasiswa maupun umum yang melibatkan elemen dari berbagai lintas agama dan kepercayaan. Ingatan itu merujuk pada tema kegiatan yang dalam permenungan mendalam kemudian menarik untuk ditelisik. Suatu waktu misalkan saya menghadiri diskusi dengan tema berupa ”Memupuk Semangat Toleransi”.

Kalimat seperti itu terlihat biasa-biasa saja. Namun, di sana ada pemaknaan yang sakral terhadap kerja yang dilakukan. Lema “memupuk” memberikan arti bahwa aktivitas mendiskursuskan toleransi yang biasa melibatkan kelompok lintas agama dan kepercayaan itu menyiratkan kata kerja yang hidup. Bahasa yang digunakan dekat kepada kebudayaan agraris.

Hal yang sama terjadi ketika menyigi penggunaan tema dalam sekian kegiatan. Beberapa daftar lema yang pernah saya tulis dan sering digunakan untuk menyusun tema di antaranya: “menyirami”, “menyuburkan”, “menyemai”, hingga “memanen”. Menjadi menarik, lema tersebut biasanya tergunakan dalam aktivitas pertanian, namun mangkus juga ketika difungsikan pada kegiatan bertema sosial dan agama.

Dulu, Joko Pinurbo menggambarkan pembahasaan agama dengan bahasa yang hidup dalam sebuah puisinya berjudul “Buku Latihan Tidur” (Kompas, 9 Agustus 2015). Dua larik terbaca dari puisi tersebut berupa: Apa agamamu?/ Agamaku adalah air yang membersihkan pertanyaanmu//. Kalimat-kalimat sederhana, namun begitu berarti makna yang hendak disampaikannya.

Pada pengisahan lain, kita bisa membaca sebuah puisi anggitan Saras Dewi berjudul “Agamaku” dalam bukunya, Kekasih Teluk (Gramedia Pustaka Utama, 2022): Agamaku tidak dituliskan/ Dalam aksara-aksara pewahyuan/ Agamaku tertera di dalam guratan batang-batang pepohonan raksasa/ Ayat-ayat kehidupan terpatri/ Di dalam kulit mereka//.

Sementara di bait lain, kita membaca: Agamaku tidak mencari sorga/ Sebab, bisikan angin senja adalah firdaus/ Gemersik sungai adalah keindahan tertinggi/ Aku telah menghidupi sorgaku//. Larik demi larik yang magis dan menghadirkan metafora berhubungan agama dengan intim dan sakral.

Baca Juga:  Al-Ghazali di Tengah Paradoks Agama dan Sains

Kita memahami bahwa khazanah sastra memberikan pengisahan yang lebih intim sebagai kerangka berpikir dari orang-orang dalam memaknai dan menghayati agama. Agama kemudian menyiratkan tanda-tanda akan keterhubungannya terhadap perubahan zaman. Pembahasaan terhadapnya tidaklah sekadar pada abstrak, namun ia menjelma dalam kehidupan manusia dan melahirkan tindakan semestinya.

Di sisi lain, kait kelindan bagaimana agama memerlukan bahasa yang hidup tak terlepas pada tantangan global. Katakanlah saat ini kehidupan umat manusia didera perkara krisis iklim dan masalah lingkungan hidup. Penyenaraian lema-lema bernuansa lingkungan hidup dan bagian kehidupan itu sendiri, saya kira adalah upaya untuk mendekatkan agama dengan realitas yang dihadapi.

Beragama tidaklah saklek dan kaku sebagaimana kerap dilakukan kelompok tertentu. Yang terkadang masih memaksakan kehendak, melakukan perundungan terhadap kelompok lain, hingga merasa paling benar sendiri. Beragama tentu memerlukan welas asih, saling mengerti, tidak memaksakan kehendak, menghargai perbedaan, dan mengedepankan perdamaian.

Saya sepakat dengan ungkapan yang ditulis salah satu cendekiawan Nahdlatul Ulama, Ach Dhofir Zury dalam buku terbarunya, Filsafat untuk Pemalas (Elex Media Komputindo, 2023): “Perlu diketahui bahwa agama tak lain adalah keseharian kita, fitrah dan segala kemanusiaan”. Beragama salah satunya menjalankan prinsip toleransi adalah perlu menjadi tindakan keseharian sebagai proses untuk terus menjadi manusia dalam kehidupan ini.[]

Joko Priyono
Redaktur Pesantren.ID, Fisikawan Partikelir dan Budayawan. Penulis Buku Bersandar pada Sains (2022).

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini