memaknai-esensi-agama-dan-ketuhanan-melalui-nalar-kritis

Dalam Islam diajarkan bahwa untuk menjadi seorang muslim; cukup dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Dalam hal ini, secara tidak langsung seorang muslim merupakan manusia yang secara sadar menyanggupi untuk menjadi saksi atas ketiadaan Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad utusan Allah. Dari pernyataan ini, lalu muncullah pertanyaan seperti berikut;

“Bagaimana dengan mereka yang menjadi muslim sebab keluarganya beragama Islam?”

Pertanyaan di atas lahir dari fakta sosial dalam masyarakat; bagaimana tidak, sebagian besar anak yang lahir dari orangtua yang beragama ‘apapun’, maka kemungkinan besar anak tersebut akan terpengaruhi oleh agama yang dianut orangtuanya. Bahkan dipengaruhi dan dipaksa. Hal ini sesuai dengan pesan rasulullah bahwa setiap anak itu fitrah dan fitrah ini bisa jadi berubah tergantung bimbingan dan arahan orangtuanya. Untuk itu, peran keluarga sangat menentukan dalam keberagamaan anak.

Namun, hal ini menjadi mungkin karena setiap manusia diberi akal untuk berfikir. Dalam tulisan ini modal berfikir tersebut diistilahkan sebagai nalar kritis. Kemungkinan itu hadir dalam budaya yang lazimnya setiap keluarga menginginkan anaknya taklid dalam hal apapun, khususnya agama. Jika berbeda kemungkinan besar anak tersebut akan mendapat perlakuan yang berbeda. Bahkan bisa jadi dicoret dari kartu keluarga; tidak dianggap dan dikucilkan. Alhasil, dalam beragama mayoritas anak cenderung taklid kepada orangtua.

Perlunya Memaksimalkan Nalar Kritis dalam Beragama

Terlepas dari Islam, sudah seharusnya seorang manusia dalam beragama menggunakan nalar kritis. Adapun fungsi utama pemaksimalan nalar kritis ialah untuk memahami setiap sisi dan lini ajaran agama. Sebagai makhluk dengan fitrah akal; sepatutnya memfungsikan nalar untuk menemukan argumen yang kuat dalam beragama, khususnya dalam bertuhan. Dengan demikian, maka sangat diperlukan konstruksi kesadaran beragama melalui nalar kritis. Dari hal ini, maka kecenderungan taklid buta anak dalam beragama menjadi sesuatu yang tehindarkan.

Baca Juga:  Polemik Kanonisasi Bentuk Pemerintahan Islam Generasi Pertama Perspektif Asma Afsarudin

Membangun nalar kritis beragama dapat dimulai dengan mengembara aksara; membuka berbagai literasi khusus ihwal agama dan kebertuhanan. Akan tetapi, dalam hal ini diprioritaskan untuk bertanya pada setiap ahli agama, guna menajamkan berbagai pengetahuan yang ada untuk menguji seberapa logis penemuan-penemuan.

Dalam hal ini, seseorang yang ingin membangun kesadaran beragama secara sungguh-sungguh dan mendalam, maka ia harus melepas baju agamanya (mematikan subjektivitas) demi menuju agama yang menggunakan nalar kritis. Artinya, pengembaraan dilakukan dengan melakukan tanya jawab kritis terhadap ahli agama. Tentunya, harus mempersiapkan instrumen radikal ihwal bahan dialektika keilmiahan melalui nalar untuk mencari eksistensi Tuhan. Maka, penting bagi individu sebagai subjek untuk mempersiapkan data mutual sebagai pembanding dan membaca secara intensif beberapa ajaran yang telah dikodifikasikan. Sehingga, yang menjadi pijakan bukan argumen orang lain (katanya/menurutnya), melainkan kesadaran diri sendiri terhadap penemuan-penemuan yang ada dan terlogiskan dalam filterisasi pemahaman.

Agama; Kepercayaan, Ketuhanan dan Nalar Kritis

Berkaitan dengan kepercayaan yang sarat dengan perihal ketuhanan, maka umumnya yang menjadi prioritas untuk dikaji atau dijadikan objek kajian ialah perihal ketuhanan. Sebab, ketuhanan dan agama merupakan satu kesatuan yang lengkap. Membincangkan agama akan tetapi menafikan ketuhanan, maka seolah-olah yang dibicarakan bukan agama begitupun sebaliknya berbicara ketuhanan tanpa mengeksiskan agama, seolah-olah yang dibicarakan bukan ketuhanan. Untuk itu, sangat penting meletakkan ketuhanan dan agama diposisinya masing-masing secara objektif.

Berdasarkan hal tersebut, maka posisi nalar kritis menjadi pijakan setiap sesuatu yang dibicarakan. Fungsinya ialah menentukan, mempertimbangkan dan memilah bagian-bagian yang tidak logis dan bagian-bagian yang logis yang tentunya ditemukan oleh akal. Sehingga, sangat penting bagi setiap individu dalam beragama sadar akan keberagamaannya melalui hal tersebut.

Baca Juga:  Objektivitas dalam Beragama dan Perluasan Istilah Islam

Kesadaran dalam beragama dapat dibuktikan melalui argumen-argumen yang dilontarkan. Nalar kritis boleh jadi lahir dari eksistensi dialektika; ungkapan-ungkapan yang menjurus pada logika radikal (mengakar) hingga seakan-akan susah untuk digali; individu memiliki alasan dasar mengapa dirinya harus beragama. Untuk hal ini, maka sangat penting mendudukkan perihal ketuhanan dan manusia menjadi objek kajian pengantar dalam memasuki pembahasan yang lebih detail tentang agama dan ketuhanan melalui nalar kritis.

Kedudukan manusia dan Tuhan dapat ditemukan melalui konstruksi nalar yang kritis, mana yang memiliki dan mana yang dimiliki. Tanpa memfungsikan nalar kritis, pernyataan kuasa Tuhan dan manusia boleh jadi lemah. Sebab, hanya ungkapan lemah yang mudah diperdebatkan tanpa argumentasi logis temuan nalar.

Pentingnya Nalar Kritis Beragama

Maka, sebagai individu yang diberi potensi akal untuk berfikir. Idealnya, manusia dapat menerapkan sistem keberagamaan dan ketuhanan melalui pengembaraan; dengan landasan penemuan bahwa alam ini adalah guru, maka untuk berguru manusia perlu menjelajah. Dalam hal ini penjelajahan manusia harus berdasar misi; artinya bahwa setiap orang adalah guru, setiap tempat adalah sekolah, setiap waktu adalah belajar dan setiap pijakan adalah ibadah. Sehingga, visinya tidak lain ialah mengkonstruk nalar menjadi kritis dalam beragama.

Konstruksi beragama dengan mengembara merupakan salah satu metode yang tepat untuk menemukan jati diri atau makna agama itu sendiri bagi diri. Perjuangan melalui kesungguhan pemberdayaan nalar kritis dalam beragama akan membentuk kekokohan dalam berargumen. Hal demikian di dukung oleh keterasingan dirinya ketika menuju tempat baru dan orang-orang baru. Sehingga, kemungkinan besar penjelajahan menemukan kelogisan dalam beragama tidak akan sia-sia, meskipun terkadang rasa penasaran dan ragu-ragu setiap kali hadir.

Baca Juga:  Diklatpimnas Kemenag Kenalkan Model Kepemimpinan Islam dan John Maxwell

Oleh sebab itu, sebagai makhluk yang ditugaskan dan diperintah untuk tunduk kepada Tuhan kita perlu mengenalinya. Perkenalan dengan Tuhan melalui nalar kritis merupakan cara yang tepat untuk meningkatkan mutual kesadaran beragama. Sehingga, pemberdayaan akal dapat dikontrol oleh argumen-argumen yang kuat dan tentunya berimplikasi cara menghadapi masalah juga membedah untuk menemukan solusinya. [HW]

M Khusnun Niam
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Alumni IAIN Pekalongan

    Rekomendasi

    Opini

    Muasal Kambing Hitam

    Dunia anak-anak adalah jagad nirmala adiwarna. Dunia asmaraloka yang kita senantiasa ingin kembali ...

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini