Sejarah mencatat tahun 18 Hijriah sebagai tahun kelabu. Mayat-mayat bergelimpangan dimana-mana, keluarga mereka menangis di pinggir liang-liang lahat. Di tahun inilah, umat Islam di bawah kepemimpinan khalifah Umar bin Khattab menghadapi perang maha dahsyat melawan musuh bernama badai wabah pes amwas. Disebut dengan wabah pes amwas karena wabah ini muncul pertama kalinya di sebuah daerah di negara Palestina bernama amwas sekitar enam mil dari kota Ramlah. Wabah ini menyebar dengan sangat ganasnya tercatat wabah ini menyebar hingga negara suriah, yordania dan lebanon. Jika sebelumnya umat islam hanya berperang melawan tentara-tentara terlatih serta pedang-pedang nan tajam, kini mereka harus berperang melawan musuh kasat mata yaitu wabah virus pes amwas yang maha dahsyat. Konon, warga yang terjangkit wabah pes amwas hanya mampu pasrah menunggu ajalnya yang hanya tinggal beberapa hari atau beberapa jam saja. Diantara para sahabat nabi yang wafat akibat wabah pes amwas adalah sahabat Abu Ubaidah bin Jarrah, Muadz bin Jabal, Yazid bin Abi Sufyan, al-Harits bin Hisyam, Suhail bin Amr, dan ‘Utbah bin Suhail.
Hari demi hari berlalu tak ada satupun pemimpin umat Islam di Syiria yang mampu meredakan wabah pes amwas. Hingga tampillah sahabat ‘Amr bin ‘Ash di atas mimbar menyeru kepada segenap penduduk negara Suriah. Saat itu, ‘Amr bin ‘Ash ditunjuk sebagai gubernur baru negara Suriah. Ia berseru “Wahai penduduk Suriah, ingatlah wabah ini menyebar bagaikan api menyambar kayu-kayu kering. Karena itu, berpencarlah menuju gunung-gunung sehingga Allah angkat wabah ini dari kita semua”. Penduduk negara Suriah pun mematuhi perintah sahabat ‘Amr bin ‘Ash, maka selamatlah mereka dari ganasnya wabah pes amwas. Hari ini kita sangat membutuhkan figur ulama seperti sahabat ‘Amr bin ‘Ash yang mampu menyelamatkan umat dari wabah pandemi Covid-19. Kata-kata ulama sangat didengar oleh umat khususnya kaum milenial dimanapun mereka berada. Tentunya kemudahan akses media masa harusnya menjadi sebuah alat jitu para ulama untuk menyebarkan himbauan menanggulangi penyebaran virus Covid-19. Hal ini sangat penting karena ulama bukan hanya sebagai penyelamat umat kelak di hari akhir saja tetapi juga harus diharapkan menjadi penyelamat umat selama di dunia.
Akan sangat mengerikan ketika ulama yang harusnya menjadi pemberi solusi umat justru menghantarkan mereka kepada jurang marabahaya. Sejarah harusnya menjadi pelajaran bagi kita semua. Ibnu Hajar al-‘Asqalani mencatat dalam kitab Badzlul Ma’un fi Fadhlit Thaun beberapa contoh kejadian di masa lalu yang harusnya mampu disikapi para ulama dengan fatwa yang lebih bijaksana. Ibnu Hajar al-‘Asqalani mencatat dahulu di kota Kairo pada tahun 27 Rabiul Akhir 833 Hijriah wabah pes mulai menjangkit. Awalnya jumlah korban hanya 40 orang saja. Akan tetapi, pada tanggal 4 Jumadil Awwal 833 Hijriah penduduk kota Kairo berkumpul di padang terbuka untuk berdoa bersama. Selang beberapa minggu kemudian korban jiwa justru bertambah lebih dari 1000 korban jiwa setiap harinya. Seandainya saat itu ulama lebih bijaksana dalam memberikan fatwa niscaya mereka akan menganjurkan penduduk kota Kairo untuk menjauhi perkumpulan yang mengundang masa dalam jumlah besar agar wabah tak menular cepat. Kisah ini mengingatkan kita dengan kejadian beberapa waktu lalu, keputusan kurang bijaksana beberapa dai yang memaksakan berlangsungnya kegiatan keagamaan yang menyedot masa dalam jumlah besar ditengarai justru menambah daftar panjang korban virus Covid-19.
Kemudian, kita harus melihat kapasitas ulama yang harusnya ada beberapa yang juga berkompeten dalam bidang kedokteran untuk menjinakkan wabah Covid-19 ataupun wabah lain di kemudian hari. Menurut saya hal ini sangat penting karena sejarah mencatat ulama kita dahulu bukan hanya para pakar agama saja tapi beberapa dari mereka juga menjadi pioner dalam ilmu kedokteran. Dahulu umat islam mengenal Ibnu Sina atau yang dikenal sebagai “Avicenna” di dunia barat bukan hanya sebagai seorang ulama yang mempelajari agama belaka tetapi ia juga seorang ahli kedokteran besar sepanjang zaman. Belum lagi kita melihat persepsi masyarakat indonesia hari ini yang menganggap seorang mahasiswa yang menimba ilmu di kawasan timur tengah ataupun di benua afrika hanya belajar terkait agama belaka. Padahal, menurut saya pendidikan kedokteran di timur tengah maupun di afrika juga tak kalah keren dan maju dibandingkan pendidikan kedokteran di barat sekalipun. Bahkan, di beberapa negara timur tengah setiap mahasiswa jurusan kedokteran juga ditempa dengan bekal pendidikan agama yang sangat mumpuni. Terbersit dalam hati saya “Mengapa kita tidak mencetak dokter-dokter muda handal yang juga berwawasan agama luas bukan sekedar ulama minim keterampilan yang pada akhirnya karena jumlahnya yang terlalu banyak justru menjadi pengangguran di tanah air karena kalah saing meraih podium di tengah masyarakat? Bukankah syarat menjadi negara maju adalah terciptanya sumber daya manusia (SDM) yang unggul dalam berbagai bidang keilmuan”. Dengan kondisi lingkungan yang semakin rusak tak menutup kemungkinan tantangan dunia kedokteran semakin rumit. Hal ini disebabkan daya tahan tubuh manusia yang berbeda dengan sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu akibat gaya hidup yang berubah serta polusi dan pencemaran air, udara dan tanah yang tak terkendali. Belum lagi dengan banyak virus-virus jenis baru yang kian hari kian menakutkan. Menurut saya mungkin saja dunia kedokteran adalah titik balik kejayaan umat islam yang nantinya menjadi bekal citra baik serta kewibawaan islam di mata masyarakat dunia “Bukankah sejarah dahulu mencatat pelajar dari barat berbondong-bondong memenuhi kota Baghdad di Iraq ataupun kota Kordoba di Andalusia untuk belajar ilmu kedokteran kepada ulama-ulama muslim?”.
Walhasil, menurut saya wabah Covid-19 adalah panggung besar bagi ulama-ulama kita. Karena justru saat-saat seperti inilah peran ulama sebagai penyelamat umat diharapkan. Tak jarang, saudara-saudara kita yang sebelumnya acuh dengan syiar agama justru berbalik simpati karena melihat sepak terjang ulama kita yang peduli dengan korban bencana wabah Covid-19 dalam langkah-langkah konkrit mereka. Tak sedikit dari saudara-saudara kita yang terketuk hatinya melihat ulama kita yang sebelumnya sering bertikai akan tetapi di masa wabah ini mereka bersatu padu menggalang donasi sebesar-besarnya untuk rakyat yang terdampak secara ekonomi. Dan akhirnya wabah ini menjadi pelecut semangat kita sebagai generasi muda penerus ulama indonesia untuk tekun mempelajari ilmu agama seraya melebarkan sayap keilmuan ke beberapa bidang keilmuan lain yang nantinya bermanfaat bagi masyarakat khususnya ilmu kedokteran. Dalam hati tersirat sebuah harapan “Semoga ada nantinya beberapa dari generasi ulama masa depan di Indonesia yang juga terjun langsung menjadi pahlawan kesehatan di kala pandemi mengganas di masa-masa mendatang”. [HW]