Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang sampai saat ini masih eksis dan mempunyai andil besar dalam membentuk pribadi yang berpendidikan dan berakhlak. Pesantren selain menjadi institusi juga berperan sebagai wadah komunitas budaya dan agama. Lantaran pesantren memiliki akar-akar budaya, ideologi dan historis yang sangat kuat.
Pesantren menunjukan bahwa Islam hadir sebagai pembentuk peradaban dan sosial kebudayaan. Lantaran Islam merupakan agama yang mampu menyentuh segala aspek kehidupan baik bersifat individu maupun sosial. Begitu juga pondok pesantren salaf Apik sampai sekarang masih konsisten menjaga tradisi dan budaya salaf dalam mendidik para santri.
Pesantren Salaf Apik berdiri sekitar satu abad yang lalu, tepatnya pada tanggal 12 Februari 1919 M oleh ulama besar keturunan senopati Mataram yaitu KH. Irfan bin Musa. Walaupun usia pondok tersebut sudah tua namun masih istikamah menjaga tradisi salaf dengan menerapkan sistem pendidikan klasik dan sedikit memadukan sistem pendidikan modern. Seperti pengajian kitab kuning dengan sistem bandongan dan sorogan.
Tradisi Sorogan dan Bandongan
Tradisi ngaji Sorogan dan Bandongan sampai sekarang masih digunakan di pondok salaf Apik. Kedua istilah ini sangat populer di kalangan pesantren salaf yang masih menggunakan kitab kuning sebagai sarana pembelajaran. Metode ini dinilai sangat efektif dalam pembelajaran karena setiap santri akan mendapatkan kesempatan untuk belajar secara langsung dengan ustaz atau kiai yang ahli dalam kitab kuning atau kitab turats. Metode sorogan dapat diartikan sorog (jawa) menyodorkan materi yang akan dipelajari sehingga mendapatkan bimbingan secara individual.
Sedangkan metode Bandongan secara bahasa diambil dari bahasa jawa bandong yang artinya pergi berbondong-bondong. Hal ini karena ngaji bandongan dilangsungkan dengan peserta berjumlah banyak. Secara istilah dapat diartikan memerhatikan dan menyimak secara seksama. Melalui metode ini para santri akan belajar dengan dengan menyimak secara kolektif. Sistem ini tidak membatasi peserta pengajian, para santri diperkenankan menyimak materi dan memaknai kitabnya yang sedang di baca oleh gurunya.
Pondok pesantren Apik menerapkan metode Sorogan dan Bandongan sejak masa kepengasuhan KH. Irfan bin Musa. Mengutip tulisan Sigit Setiawan menyebutkan bahwa Pendidikan yang dilakukan di pondok pesantren Apik pada periode Mbah Irfan menerapkan metode klasik (dalam sistem kitab) yang terdiri dari sorogan dan bandongan. Metode ini cocok dilakukan karena di tahun-tahun itu (1919 M) pendidikan dalam bidang keagamaan paling dibutuhkan dalam masyarakat dan sumber dari orang yang ‘alim sangat dibutuhkan seperti KH. Irfan bin Musa, seorang ‘alim yang menimba ilmu di tanah suci Mekah.
Sehingga metode utama yang digunakan adalah bandongan dan sorogan agar sumber yang diterima benar-benar bersumber dari orang yang sama, yaitu orang yang memiliki kemampuan yang sangat baik dalam bidang pendidikan Islam. Adapun terkait pertama kali peletak metode Sorogan dan Bandongan para sejarawan masih banyak perbedaan pendapat. Ada satu riwayat menyebutkan bahwa tradisi ini digunakan oleh walisongo untuk mentransfer ilmu kepada masyarakat umum.
Seiring berjalannya waktu dari tahun ke-tahun banyak santri berbondong-bondong dari berbagai penjuru di nusantara sehingga metode klasik (sorogan dan bandongan) perlu di sempurnakan karena kedua metode tersebut tidak cukup efektif untuk mengembangkan nalar kritis santri karena sedikitnya kesempatan yang diberikan untuk mempertanyakan materi yang disampaikan dan jumlah santri yang sangat banyak. Akhirnya pada masa kepengasuhan KH. Humaidullah Irfan (putra KH. Irfan /Pengasuh ketiga) dibuatlah sistem baru (sistem kelas) tanpa menghilangkan sistem yang lama (sorogan dan bandongan).
Upaya inovasi terhadap perkembangan pendidikan pondok pesantren Apik menuai kemajuan yang signifikan. Sistem yang dulunya hanya menggunakan kitab sebagai acuan sekarang menggunakan sistem kelas yang lebih memiliki kesempatan para santri untuk berfikir kritis karena waktu yang terbuka dan diselangi dengan dialog disamping itu para kiai dapat mengetahui perkembangan para santrinya. Dengan sistem ini, KH. Humaidullah Irfan berusaha memberikan pendidikan yang terbaik bagi para santrinya dengan cara memberikan metode bandongan dan sorogan yang menjadi ciri khas pondok pesantren APIK
Selain itu juga sebagai upaya lebih dalam meningkatkan kemampuan santri memahami kitab kuning. Dengan sistem kelas yang berlaku, KH. Humaidullah beserta para pengurus lebih mudah untuk mengevaluasi perkembangan santri. Dalam sistem sebelumnya, perkembangan santri kurang bisa dilihat dengan jelas karena sistem masih mengikuti metode lama yang kurang cocok untuk mengadakan penilaian
Irfan bin Musa dan Cikal Bakal Pondok Pesantren Kaliwungu
Irfan bin Musa atau lebih akrab dipanggil Mbah Irfan adalah salah satu ulama yang membuka peradaban kaliwungu sebagai kota santri. Dilansir dari http://apikkaliwungu.com, bahwa Mbah irfan termasuk ulama generasi ke 3 setelah Kiai Guru Asy’ari dan Sunan Katong yang menyebarkan ilmu agama di Kaliwungu.
Kehidupan Mbah irfan disibukkan dengan mengaji dari satu kiai ke kiai yang lain. Bahkan disaat usia 15 tahun beliau sempat berangkat ke makkah untuk memperdalam ilmunya selama 15 tahun tinggal di makkah. dalam satu riwayat Mbah Irfan setelah pulang dari makkah beliau mulai menyebarkan ilmunya untuk masyarakat luas kemudian di usia 40 tahun beliau menikah dengan Nyai Ruqoyyah. Selang beberapa tahun menikah beliau berangkat ke makkah lagi untuk kedua kalinya.
Sepulang dari makkah yang kedua beliau menunaikan cita citanya untuk mendirikan pondok pesantren salaf Al-Kaumani dan sekarang dikenal dengan Pondok Pesantren salaf APIK. Berkat kegigihan dan kealiman Mbah Irfan mampu mendidik putra putri dan para santrinya untuk menjadi orang orang yang berpengetahuan dan alim dalam memahami ilmu agama.
Sehingga, dari Pondok Pesantren APIK ini kemudian muncul pesantren pesantren di belahan kaliwungu sepeti Ponpes putri ARIS didirikan oleh KH.Ahmadum Irfan (putra mbah irfan), Ponpes putri Al-Aziziyah didirikan oleh KH. Abdul Aziz Irfan (putra mbah irfan) dan ponpes Al-Fadlu wal Fadilah didirikan oleh KH. Dimyati Rois (Nyai Tho’ah Cucu Mbah Irfan) dan puluhan Pondok pesantren di Kaliwungu yang merupakan keluarga besar keturunan KH. Irfan bin Musa atau para muridnya. [HW]