Ramadan telah usai. Bulan Syawal pun datang menggantinya. Ada beberapa hal-hal sunnah yang dianjurkan di bulan ini, seperti berpuasa enam hari. Namun ada pula perbuatan sunnah lain yang ternyata juga marak dipraktikkan di kalangan muslim Indonesia pada bulan ini, yaitu mengadakan akad nikah.

Akad nikah di bulan Syawal sangat dianjurkan, mengingat di bulan ini Nabi saw sendiri menikahi Aisyah ra. Mengenai hal ini, ada sebuah hadis yang diriwayatkan Aisyah ra:

تَزَوَّجَنِيْ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَليْهِ وَسَلَّمَ  فِيْ شَوَّالٍ، وَبَنَى بِيْ فِيْ شَوَّالٍ، فَأَيُّ نِسَاءِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَليْهِ وَسَلَّمَ كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّيْ؟قَالَ : وَكَانَتْ عَائِشَةُ تَسْتَحِبُّ أَنْ تُدْخِلَ نِسَاءَهَا فِيْ شَوَّالٍ (رواه مسلم)

“Rasulullah menikahiku pada bulan Syawal, serta membangun rumah tangga bersamaku pada bulan Syawal. Maka manakah istri-istri Rasulullah yang lebih beruntung daripada aku?”perawi mengatakan: Aisyah ra. dahulu senang menikahkan para wanita di bulan Syawal (HR. Muslim)

Imam Nawawi dalam kitab Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa hadis ini mengandung anjuran untuk menikahkan, menikah, dan menggauli istri pada bulan syawal. Lebih lanjut, Imam Nawawi menerangkan bahwa riwayat Aisyah ra. ini bertujuan untuk menepis kepercayaan masyarakat jahiliah dan anggapan sebagian orang awam masa kini yang menyatakan kemakruhan menikah, menikahkan, dan menggauli istri pada bulan Syawal. Dan semua anggapan ini adalah batil; dan tidak ada dasarnya sama sekali.

Ibnu katsir dalam kitab al-Bidayah wa an-Nihayah juga menjelaskan,”Rasulullah menikahi Aisyah untuk membantah keyakinan yang salah dari sebagian masyarakat, yaitu enggan menikah di antara dua hari raya (idulfitri dan iduladha). Mereka khawatir akan terjadi perceraian . keyakinan inilah yang tidak benar.”Al-Allamah Ibnu Abidin al-Hanafi, salah satu ulama mazhab Hanafi dalam kitab “Hasyiyah Ibnu Abidin” juga menfatwakan bolehnya akad nikah di antara dua hari raya berdasarkan hadis yang diriwayatkan Aisyah tersebut.

Baca Juga:  Menyambut Hari Kemenangan di Tengah Pandemi Covid-19

Anggapan (tathayyur) masyarakat jahiliah akan sialnya bulan Syawal bermula dari asal-usul penamaan bulan Syawal, yaitu karena di bulan itu unta betina mengangkat ekornya ((شَالَتْ بِذَنَابِهَا yang menunjukkan keengganan untuk kawin, serta sebagai tanda menolak unta jantan yang mendekat. Maka para perempuan juga menolak untuk dinikahi, begitu pula para wali enggan menikahkan putri-putri mereka.

Dari uraian di atas, kita bisa menarik benang merah bahwa kesunnahan menikah di bulan Syawal karena adanya anggapan “merasa sial” (atau yang lebih dikenal dengan Thiyarah) dari sebagian masyarakat jahiliah pada bulan itu. dan sebagaimana maklum, thiyarah tidak diperbolehkan pada tempat, waktu, atau peristiwa apapun. Kasus ini berkaitan dengan salah satu kaidah ushul fikih al-Hukmu yaduru ma’a ‘illatihi wujudan wa ‘adaman. Artinya, ada atau tidaknya hukum amat tergantung pada sebab-sebab yang mempengaruhinya. Jadi jika di suatu daerah terdapat anggapan sialnya menikah pada bulan syawal atau bulan lainnya, maka sunnah bagi kita untuk melaksanakan akad nikah dengan tujuan menentang anggapan tersebut. Wallahu A’lam. [HW]

Afif Thohir Furqoni
Santri alumni Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep dan Mahasiswa Pascasarjana IAIN Madura

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini