Opini

Indonesia Bersarung

(Ilustrasi: Islami.co)

Adalah sangat keliru apabila ulama dan kaum santri hanya mengandalkan kesalehan personal dengan ritus-ritus konvensional seperti salat, wirid dan “bertapa” di atas sajadah saja sembari menunggu dipinang partai politik berhadiah umroh dan poligami dengan alibi membangun bangsa dan Negara, padahal para Ulama pendahulu kita memperjuangkan kemerdekaan dengan menjadi martir menyabung nyawa melawan penjajah.

Belakangan, serban dan tasbih acapkali disalahgunakan oleh pseudo ulama, dai karbitan dan ustaz sosialita pengasong khilafah penghias layar kaca pasca eksodus besar-besaran kaum sarungan dari sekadar pialang kebudayaan menuju pialang politik. Bukankah parpol berlebel agama malah lebih pragmatis dan ugal-ugalan daripada parpol nasionalis?

Nah, saya baru tahu fungsi pohon-pohon di pinggir jalan, bukan semata untuk menyerap polusi dan menggantinya dengan oksigen, bukan pula untuk mempercantik kota, tapi untuk ditempel dengan wajah-wajah “tak semestinya” yang lebih tergiur politik praktis dan berebut kursi ketimbang berkarya sesuai ranahnya.

Padahal, o ya, Anda pernah ketemu makhluk bernama “padahal”?, khazanah Pesantren adalah cakrawala tak berujung, laut tak bertepi, sumur tanpa dasar yang takkan pernah habis dikaji dan diarungi, khususnya di Nusantara ini. Kitab kuning warisan para ulama klasik dari berbagai penjuru dunia, sekian disiplin intelaktual dan khazanah spiritual dengan berbagai mazhab dan matra, menyatu dan berpadu dengan kearifan tradisi khas Indonesia di Pesantren—pesantrian, peshastrian. Oleh karena itu, kekhasan Islam-Indonesia adalah Pesantren, bukan yang lain.

Sementara itu, ulama, sering kali disebut dengan Kiai, Tuan Guru, Gurutta, Abuya, Ajengan, dan lain-lain, memiliki kedudukan khusus sebagai “elit” di tengah-tengah masyarakat, yang dalam fungsinya menjadi pewaris para Nabi. Para Kiai, lazimnya di desa-desa, menerima penghormatan yang tinggi jika dibandingkan dengan elit lokal yang lain, seperti para juragan, para petani kaya (tuan tanah), para blantik dan tengkulak.

Berbagai keputusan dan tindakan masyarakat sering diserahkan dan ditentukan oleh sosok Kiai. Pendek kata, masyarakat yang cerdas pasti dibimbing oleh Kiai yang visioner. Walaupun Kiai menjadi elit yang sangat kuat, namun Kiai adalah pelayan rakyat, merakyat, dan memang Kiai adalah rakyat itu sendiri.

Dahulu, selain terlibat langsung di tengah-tengah pertempuran, Kiai, bertugas menyembuhkan luka dan trauma penjajahan Belanda, Jepang, maupun penjajahan lainnya. Kini, tugas Kiai adalah menetralisir kegilaan zaman (now), di mana mabuk agama dan kekuasaan sulit dibedakan, di mana jualan agama dengan label-label syariah (misal: umroh dan travel, perumahan, air ruqyah anti corona, dll) sangat laris manis bagi mereka yang enggan menggunakan akal sehatnya dalam beragama dan bernegara.

Apapun itu, di tengah kecamuk intoleransi, politik SARA, kegilaan media dan belum dewasanya kebanyakan kita dalam beragama dan bernegara, peran pesantren sangat dibutuhkan, terutama karena yang mulai langka di bumi persada adalah soal kerukunan umat beragama dan multikulturalisme, kearifan menjaga tradisi, dan menjadi Indonesia.

Faktanya, kaum santri tidak ada yang intoleran dan radikal, karena Pesantren klasik khususnya lebih menomorsatukan tarbiyah dari pada ta’lim, terutama tarbiyah ruhiyah yang menjadikan para santri tidak gampang terpengaruh propaganda dan disinformasi murahan.

Soal narkoba dan terorisme? Pesantren malah sejak awal paling anti merusak generasi muda dengan dalih apapun, maka, penyuluhan narkoba di Pesantren sangat mubazir. Soal keamanan dan keutuhan bangsa? Pesantren adalah benteng NKRI yang paling kokoh sejak pra kemerdekaan, masa revolusi, dan bahkan hingga kini dan nanti.

Soal kemandirian dan survivalitas hidup? Kaum sarungan paling tangguh dan pantang mengeluh. Sedemikian rupa, kaum santri nyaris tidak pernah merepotkan Negara meski selama ini dipandang sebelah mata oleh Negara. Meski Negara tak pernah hadir, Santri tetap membela Sabang-Merauke sampai jasad ke liang lahad.

Tanpa Negara dan kemanusiaan memanggil pun, kaum sarungan yang dengan pola hidup sederhana dan bersahaja telah terpanggil dan bahu-membahu merebut kemerdekaan dengan keringat, darah, air mata dan doa. Tidak ada yang lebih berani menyabung nyawa sebagai martir untuk kemerdekaan dan kedaulatan melawan kekejaman penjajah selain santri.

Bahkan, setelah kemerdekaan, khususnya ketika Orde Baru melakukan kanalisasi untuk memperkecil peranan santri, mereka tetap bertahan dengan prinsip dan falsafah hidup mereka, Pesantren justru kian berkembang dan mandiri. Indonesia ini ditangisi para wali, dirapal dalam doa para pertapa dalam azimat para resi dan munajat para begawan. Tak kurang dari 28.000 pesantren selalu menangisi NKRI inu dengan doa istighosah setiap hari, belum lagi di makam-makam para Wali dan Kiai.

Oleh karenanya, setiap hari kita mensucikan intelektualitas-spiritualitas dengan “air” wudhu, lalu bersujud merendahkan wajah sebagai simbol identitas kita ke “tanah”. Dahulu, wangsa Sanjaya membangun kebudayaan tanah dan wangsa Purnawarman membangun kebudayaan air, maka jadilah pusaka Tanah Air. Dan, sebagian umat Islam terjebak pada gegap-gempita lalu ramai-ramai ingin menjadi Arab, Eropa dan Amerika. Di sinilah mengapa para santri lebih memilih menjadi Indonesia.

Jangan lupa, Kisanak, Pesantren adalah matahari dalam sistem tata surya kehidupan dan keindonesiaan. Bahwa dalam jagad galaksi kehidupan yang lebih luas ini masih terdapat banyak sekali matahari-matahari yang lain, hal itu tidak membuat matahari bernama Pesantren menjadi redup dan padam.

Mengapa? Karena kesederhanaan adalah keistimewaan kaum sarungan. Hidup sederhana, berpikir dan bertindak sederhana, memaknai hidup dan cinta juga dengan sederhana, kerena yang sulit dan repot dari hidup ini adalah tafsirnya.

Anda boleh pandai setinggi langit, kaya-raya dan tajir terkilir, memilki jabatan dan kuasa, dilayani teknologi mutakhir, tapi pada akhirnya Anda akan merindukan kesederhanaan. Karena itulah yang dibutuhkan oleh jiwa.

Well, apa kabar kaum sarungan? Ada apa dengan sarungmu?

Ach Dhofir Zuhry
Alumni PP Nurul Jadid Paiton, Penulis Buku Peradaban Sarung, Kondom Gergaji dan Mari Menjadi Gila, Pengasuh Pesantren Luhur Baitul Hikmah Penasehat Dunia Santri Community dan pengampu kajian Tafsir Tematik NUonline tiap ahad sore 16.30 WIB

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini