Secara yuridis fikih, ibadah puasa sudah sah kalau memenuhi syarat rukun secara dhohir. Misalnya, syarat puasa; Islam, Balig, berakal, dan mampu berpuasa. Rukun puasa; niat, mencegah diri dari yang membatalkan puasa seperti makan/minum, bersenggama, dan menyengaja muntah. Sederhananya, pantangan puasa itu adalah dua; urusan perut dan urusan seks. Begitu kira-kira dalam Fathul Qarib.

Tapi sebagaimana maklum, domain kajian fikih memang hanyalah urusan bungkus. Sedang urusan value dan kualitas adalah domain kajian tasawuf. Termasuk soal puasa, ulama tasawuf memiliki perspektif pembahasan yang tidak dibahas dalam kitab-kitab fikih tentunya. Misalnya ulasan al-Ghazali, Imam Besar Umat Islam dalam bidang Tasawuf, (w. 505 H.) tentang puasa dalam kitab Ihya’ Ulumiddin.

Salah satu sub kajian Imam Al-Ghazali tentang puasa misalnya tentang klasifikasi kelas (orang yang) puasa. Menurutnya, kelas puasa itu di klasifikasikan menjadi tiga tingkatan kelas. Pertama, puasa kelas amatir ( ‘umum ); kedua, puasa kelas profesional ( khusus ) dan ketiga, puasa kelas super profesional ( khususul khusus)

Imam Ghazali menyebut puasa seseorang sebagai puasa kelas ‘umum (amatir) bila puasanya sebatas menahan perut dan seks saja, artinya sekadar menahan segala hal yang secara fikih membatalkan puasa. Di tingkat amatir ini, secara detail pantangannya ada empat. Bila empat hal ini dilakukan secara sengaja, maka batal puasanya. Pertama, segala sesuatu yang berpotensi masuk ke sisi dalam rongga tubuh seperti makan, minum, menghirup dari hidung, atau memasukannya dari lubang dubur. Kedua, bersenggama. Ketiga, mengeluarkan sperma secara sengaja, baik dengan cara senggama atau dengan cara onani. Empat, muntah dengan sengaja.

Lalu bagaimana puasa kelas khusus (profesional) menurut Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali? Yaitu, selain menahan lapar dan semua pantangan kelas amatir, juga menahan anggota tubuh dari perbuatan dosa. Detailnya, kata Imam Ghozali, menahan telinga, mata, lisan, tangan, kaki dan semua anggota tubuh lainnya dari perbuatan-perbuatan yang diharamkan syariat. Mata tidak dilihatkan pada sesuatu tercela, lisan juga berpuasa dari dusta, rasanan, mengadu domba, ungkapan-ungkapan kotor dan kasar. Sebaliknya lisan disibukkan dengan zikir dan baca Qur’an. Telinga juga tidak mendengarkan hal-hal yang haram untuk didengar. Perut puasa dari berbuka makanan-makanan syubhat. Begitu juga anggota tubuh lainnya.

Baca Juga:  Puasa-Puasa dalam Islam

Sedangkan kelas puasa paling elit adalah tingkat khususul khusus (super profesional). Kategorinya menurut Al-Ghazali adalah puasanya hati dari perasaan-perasaan hina dan fikiran-fikiran duniawi, menjaga hati dari terlintas pada selain Allah. Dalam puasa kelas super profesional ini, seseorang sudah dianggap melanggar pantangan dengan hanya memikirkan hal yang tidak berkaitan dengan Allah dan memikirkan urusan materi duniawi kecuali kalau motivasi memikirkan materi duniawi itu juga demi kepentingan akhirat. Bahkan saking fokusnya hanya kepada Allah, Imam Ghazali mengutip dawuh seorang sufi

Barangsiapa terlintas dalam benaknya untuk bekerja di siang hari demi yang hendak dimakan ketika berbuka, maka orang itu telah berdosa karena sudah berkurang keyakinannya terhadap anugerah Allah dan atas jaminan rezeki yang telah dijanjikan kepadanya.

Kelas ini tentu bukan kelas orang sembarangan. Ini ruang kelas para nabi dan para wali. Lalu dimana kelas kita?

Sekian kajian tentang kelas puasa menurut Al-Ghazali. [HW]

Mufti Shohib
Santri Pondok Pesantren Syaikhona Moh. Cholil Demangan Barat Bangkalan

    Rekomendasi

    1 Comment

    1. […] ini adalah ikhtisar dari kajian pertama Ihyā’ Ulūmiddīn karya Abu Hamid Al Ghazali yang diampu oleh KH. Dr. Ghazi Mubarak, wakil pimpinan Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Sumenep […]

    Tinggalkan Komentar

    More in Hikmah