Tentang Awal Puasa

Hari jumat kemarin seperti biasa jam 6 wib pagi saya berangkat kerumah bapak untuk ngobraki saudara-saudari saya untuk persiapan ziarah kemakam ibuk. Sambil menunggu bapak turun dari masjid, saya obrak-obrak lewat grup keluarga dan mengetuk kamar-kamar mereka. Namun ziarah jumat kemarin sedikit lebih istimewa, karena kami diajak ziarah ke makam ibuk dua kali dalam satu pagi.

Ziarah yang pertama sesuai jadwal, jam 7 an istiwa’. Dan setelah selesai ziarah yang pertama, bapak berpesan kepada kami untuk siap-siap nyekar ke makam para sesepuh setelahnya. Tak ketinggalan, makam ibuk menjadi penutup prosesi nyekar. Sekaligus ziarah yang kedua pada jumat pagi itu.

Nyekar sendiri adalah sebuah tradisi menziarahi makam para leluhur dengan membawakan bunga dan ditabur diatas makam mereka. Kemudian duduk mendoakan para leluhur yang sudah mendahului kita. Prosesi ziarah dan bacaan yang dilafalkan sebagaimana ziarah kubur pada umumnya, hanya saja ditambahi dengan kebiasaan untuk membawa sekar, atau kembang dalam bahasa jawa, maka biasa disebut dengan nyekar.

Bapak saya sendiri membiasakan pada anak-anaknya nyekar rutin, dua kali dalam setahun. Sebelum puasa dan sebelum hari raya idul fitri.

Tak hanya nyekar, ada satu tradisi lain yang biasa dilakukan di daerah kwagean menjelang puasa ramadhan, yaitu megengan. Megengan sendiri yaitu kumpul bareng anggota masyarakat dengan membawa makanan dari rumah masing-masing untuk dikumpulkan di masjid, dan kemudian dimakan bersama setelah berdoa. Di kwagean sendiri biasanya akan dibacakan terlebih dahulu nama-nama arwah para sesepuh kwagean sebelum kemudian di tahlili atau didoakan bersama-sama. Dan ditutup dengan makan bersama-sama satu ambeng atau satu berkat.

Karena memang kedua tradisi ini biasa dilaksanakan sehari sebelum ramadhan, maka disepakati hari jumat kemarin adalah harinya nyekar dan megengan. Bukan ingin mendahului pemerintah, tapi sebagai antisipasi kalau-kalau awal puasa jatuh pada hari sabtu. Pun bila awal puasanya jatuh pada hari ahad, tidak ada masalah mendahulukan sehari. Daripada telat.

Baca Juga:  Puasa Effect

Awal ramadhan kali ini memang agak gaduh, terutama di daerah kediri. Karena tak hanya perbedaan antara muhammadiyah dan NU, namun juga diantara beberapa pesantren NU sendiri. Ada beberapa pondok yang menetapkan awal ramadhan jatuh pada hari sabtu, tanpa menunggu keputusan pemerintah. Dengan alasan, karena memang sudah menjadi tradisi di pesantren tersebut untuk menggunakan metode hisab dalam penentuan awal ramadhannya. Bukan tanpa dasar, beliau para sesepuh pondok tersebut pun juga berpijak pada dalil-dalil yang berasal dari kitab-kitab salaf.

Di kwagean sendiri, bapak selalu menjawab untuk mengikuti keputusan pemerintah, setiap ditanya kapan mulai puasa atau kapan lebaran. Sebagaimana yang diterangkan beliau pada malam ahad, setelah tarawih pertama tahun ini. “Miturut kitab fathul mu’in niku diterangke: kawitane eneke puoso ngeten niki kudu ndelok songko hisab. hisab niku diitung. La wong ngitung niku, kadangkolo ngitunge buener tapi seng diitung rodok owah titik ngoten. Dados saget bulan niki owah niki saget. Enten ten kitab susunanipun mbah Maisyur Sindi (menurut kitab Fathul Mu’in iu diterangkan: sebelum menentukan awal puasa seperti ini, harus melihat dulu dari hitungan hisab. Hisab itu hasil hitungan. Nah karena hitungan, kadangkala hitungannnya sudah tepat, tapi justru yang dihitung malah rubah sedikit. Jadi bulan itu bisa berubah. Dan keterangan ini ada dalam kitab susunannya mbah Maisyur Sindi, ahli hisab)”.

Sakbakdone hisab banjur ru’yah. Ru’yah niku artine ningali tanggal siji. Eroh po ra. La ndek wingi niku gak weroh ru’yah e (setelah hisab, langkah selanjutnya adalah ru’yah. Yang berarti melihat tanggal satu, kelihatan atau tidak. Nah yang kemarin itu tidak ada yang melihat saat ru’yah)”.

Baca Juga:  Ngaji Virtual, Tingkatkan Spiritual atau Sekedar Aktual

Lek seng iso dadi, hisab, terus ru’yah, lek eneng seng roh terus isbat. Penetapan dugi pemerintah. Setelah ditetapkan kemudian diberitakan nenggone masyarakat indonesia. Utowo ikhbar. (kalau yang berhasil, maka prosesnya adalah hisab, kemudian ru’yah yang berhasil melihat, baru kemudian isbat. Atau penetapan dari pemerintah. Setelah itu diberitakan kepada masyarakat. Atau disebut ikhbar)”.

Setelah menerangkan alasan sikap beliau tentang penentuan awal ramadan, bapak sedikit berpesan: “Sampean ndelok nenggone kitab fathul mu’in sampean. Dadi gak rame. Piye iki piye iki, kono wes poso kene…. meneng mawon gowo kitab Fathul Mu’in (anda lihat saja didalam kitab fathul mu’in anda. Jadi gak usah gaduh. Bagaimana ini, yang sana sudah puasa, kok yang sini belum. Sudah diam saja sambil membawa kitab fathul mu’in. Hehehe)”.

Tak hanya itu, bapak juga menambahi keterangannya: “Dadi pemerintah niku kulo fikir-fikir. MasyaAllah. Seng dadi tenaga-tenaga nenggone pemerintah, nenggone menteri agama sakteruse wonge niku wong top-top kabeh niku. Gak enek wong seng koyok kulo i ra enek. Sampean delok opo enek. Gak enek. La geh seng digoleki wong sip-sip. Menetapkan niki geh masyaAllah yo jan gawe ngilmu sakestu (jadi pemerintah itu kalau saya fikir-fikir, masyaallah, yang jadi pejabatnya, seperti yang di kementerian agama itu orang top semua, tidak ada orang seperti saya. Coba saja dilihat disana, pasti gak ada yang seperti saya. La iya, yang dicari itu orang sip semua. Dalam menetapkan ketetapan awal Ramadan seperti ini juga masyaallah, mempergunakan ilmu pastinya)”.

Yang terakhir, bapak menutup alasan prinsipnya dengan ngendikan: “Eneke riyoyone, ngawiti puosone nderek ketetapan pemerintah. Niku nggawe ngilmu sakestu. Wonten kitab susunane mbah maimun zubair geh enten niku (jadi adanya saya menentukan lebaran, awal Ramadan dengan mematuhi ketetapan pemerintah ini benar-benar berdasarkan pada ilmu. Tak hanya kitab Fathul Mu’in, ada juga kitab lain karangannya mbah mun yang menerangkan hal yang sama)”.

Baca Juga:  Bulan Ramadan, Bulan Suci Penuh dengan Pengampunan Dosa

Pada akhirnya, saya menulis ini bukan sebagai bahan membenturkan pada pendapat lain. Karena dalam beberapa kesempatan, bapak juga menghormati kiai ataupun pondok lain yang memutuskan pendapat yang berbeda. Asalkan memang semua berdasarkan keterangan ulama’, maka sah-sah saja diikuti. Karena memang sudah menjadi kesepakatan, bahwa ulama’ adalah pelitanya masyarakat. Sebagaimana fungsi pelita, mereka adalah penerang jalan bagi umatnya.

Semoga kita bisa selalu menjaga diri dengan menghormati pendapat lain, terutama kepada para ulama’ yang memang berhak untuk kita hormati. Karena memang inilah wujud dari kasih sayang Allah kepada kita. Sebagaimana dawuh: “perbedaan pendapat adalah wujud kasih sayang”. []

#salamKWAGEAN

Muhammad Muslim Hanan
Santri Alumnus PIM Kajen dan PP Kwagean Kediri

    Rekomendasi

    al-munaffirun
    Opini

    Al-Munaffirun

    Suatu ketika, Sayyidina Mu’adz bin Jabal radliyallahu ‘anhu memanjangkan salatnya. Beliau membaca Surat ...

    Tinggalkan Komentar

    More in Hikmah