Jika berbicara perempuan melampaui zamannya, berbicara perempuan tangguh, bukan Cleopatra, bukan ratu Bilqis, bukan juga yang lain, perempuan itu adalah Sayidah Aisyah.
Aisyah perempuan paling rasional yang pernah ada, ia perempuan paling realistis dan kritis dalam beragama. Orang-orang yang sedikit-sedikit Al-Quran hadis tanpa memberi peran terhadap penalaran, harusnya malu kepada Aisyah.
Keponakan Aisyah, yang bernama Umroh binti Abdurahman bin Abu Bakar bercerita dihadapan Aisyah, bahwa Abu Said al-Khudri meriwayatkan hadis;
نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم المراة ان تسافر الا ومعها ذو محرم
“Seorang perempuan tidak boleh melakukan perjalanan kecuali bersama mahram”.
Sayidah Aisyah menjawab, ” ما كلهن ذوات محرم” tidak semua perempuan punya mahram.
Menurut al-Tahawi dalam Ma’āni Atsar, hadis Aisyah ini banyak dijadikan dasar oleh ulama yang tidak mempersyaratkan adanya mahram bagi wanita yang akan ibadah haji.
Saudi baru memperbolehkan perempuan mengemudi sendiri awal abad 21, Aisyah sudah memperbolehkannya abad 7 lalu. Kira-kira begitu hhhe.
Menjelang wafat Abu Said al-Khudri minta dipakaikan baju yang bagus, kemudian ia meriwatkan hadis dari Nabi saw,
ان الميت يبعث فى ثيابه التي يموت فيها
“Setiap orang dibangkitkan dengan pakaian terakhit saat ia pakai sebelum wafat”.
Mendengar itu Aisyah meluruskan, “baju yang dimaksud Nabi saw adalah amalan terakhir, kalau terakhir amalannya sujud ya dibangkitkan kelak dalam keadaan sujud,, demikian juga baca quran, tahlil atau yang lainnya.
Rasional sekali bukan. Dan banyak sekali pemahaman para sahabat senior yang dikoreksi oleh sayidah Aisyah. Koreksi-koreksi Aisyah itu didokumentasikan oleh Imam Badruddin al-Zarkasyi dalam al-Ījabah.
Bagi saya ko istilah emansipasi aneh, apalagi dilekatkan dengan “Islam”. Cukup membuka data Islam awal secara proporsional dan bertanggung jawab, maka akan terlihat perlakuan Islam dan Nabi صلى الله عليه وسلم kepada kaum wanita begitu luar biasa.
Kita akan sadar, kita sudah menutupi banyak hak mereka atas nama agama.