Opini

Mengapa Harus Membenci, Jika Mencinta Lebih Indah?

Sering kita jumpai dalam hidup orang-orang yang berbuat rugi, salah satu di antara mereka ialah yang menggunakan waktunya untuk berbuat nista, berbuat yang tak sewajarnya atau selumrahnya sebagai manusia. Anugerah akal dan anugerah iman tak lantas membuat mereka sadar untuk  berbuati manusiawi dan terlebih sebagai seorang muslim mestinya yang berbuat baik dan rahmatan lil ‘alamin.

Mereka adalah yang menginvestasikan waktunya dengan membenci sesuatu yang di luar dirinya, baik itu berbentuk benda, barang, hewan, jabatan, atau apapun dan terutama manusia. Saya atau anda pasti lumrah menjumpai orang-orang yang berbuat demikian.

Ialah mereka yang merasa gagah dan bangga karena mampu berbuat mendeskreditkan orang lain dan atau membuat orang lain merasa rendah atau kecil serta terlebih ketika kita hidup dalam lingkup sosial yang penuh persaingan dan kompetisi, dalam suasana demikian mereka yang gagal mengendalikan diri dan nafsunya cenderung brutal berbuat kebencian terhadap orang-orang yang dianggapnya musuh, saingan atau apapun. Kendati tindakan itu dilakukan dengan soft power.

Pertanyaannya adalah mengapa mereka berlaku demikian? Apakah dengan membenci berarti manusia sudah menang dan berkuasa atas dirinya sendiri? Apakah membenci dan menjatuhkan orang lain berarti juga otomatis membuatnya sebagai jawara? Dan apakah membenci itu sendiri adalah perbuatan manusiawi?

Adagium yang sederhana mengatakan bahwa kegelapan sejatinya tidak ada, kegelapan hadir sebab cahaya menipis atau malah redup. Kemudian selanjutnya kejahatan sejatinya tidak ada, kejahatan muncul karena kebaikan luruh atau sirna sama sekali. Dan lebih jauh dari pada itu ialah kebencian sejatinya tidak ada, kebencian muncul karena manusia gagal menanam dan atau merawat cinta sehingga mereka terperangkap dalam jebakan paling batman itu sendiri.

Baca Juga:  Perihal “Cinta”, dan Ragam Pandangan Ulama Tentang-nya

Mari kita mulai pembelajaran dari sosok Sartre, seorang Filsuf asal Perancis yang akrab dengan dunia jalanan. Ia mengatakan bahwa kebencian ditimbulkan oleh suatu objek yang mempengaruhi subjek. Dengan kata lain ia ingin mengatakan bahwa sebenarnya kebencian muncul akibat si subjek terlampau lemah untuk menjadikan dirinya imun terhadap dampak atau radiasi dari objek itu sendiri. Kegagalan demikianlah yang membuat si subjek tersebut moralnya runtuh lalu berbuat benci.

Melalui fenomena tersebut maka sebenarnya manusia dapat untuk tidak terpengaruh terhadap objek di luar dirinya agar berperilaku membenci dengan cara membuat kuasa atas dirinya lebih kuat atau dengan kata lain memperkokoh imunitas diri sehingga kasus apapun yang menerpanya (dari objek) tidak akan mempan atau kuasa mempengaruhi dirinya sendiri.

Selaras dengan Sartre, seorang pakar Psikologi bernama Sigmun Freud mengatakan bahwa kebencian itu muncul atas dasar ego yang terdapat dalam diri dan menimbulkan keinginan untuk menghancurkan apapun di luar dirinya. Ego tersebut (lagi-lagi) dominan sehingga begitu wajar dapat membunuh apapun termasuk tentang baagia.

Berangkat dari keduanya mari kita bergeser kepada seorang pakar perbandingan agama bernama Karen Armstrong. Dalam bukunya berjudul Sejarah Tuhan pada halaman terakhir ia mengatakan bahwa manusia tidak bisa menanggung beban hampa dan kenestapaan, mereka akan mengisi kekosongan itu dengan menciptakan fokus baru untuk meraih hidup yang lebih bermakna.

Berangkat dari pendapat tersebut dapat dipahami bahwa sejatinya manusia bertindak apapun sejatinya didorong oleh suatu sebab atau dasar, termasuk hal bernama membenci. Dan bila kita berkaca dari apa yang dikatakan Karen Armstrong, sesungguhnya orang-orang yang membenci adalah salah satunya dipicu oleh kekosongan dalam dirinya meskipun jalan yang ditempuhnya keliru.

Baca Juga:  Syair-Syair Kegilaan Cinta Majnun Terhadap Laila yang Bikin Mewek

Lebih jauh dari Karen Arstrong seorang penulis buku Vertikalitas Otak bernama Porat Antonius mengatakan orang yang memiliki emosi negatif seperti kebencian, misalnya, akan bergerak menjauh, menghindar, atau menyerang. Sebaliknya esmosi cinta menggerakkan orang untuk mendekat sampai tidak mau berpisah.

Cinta adalah daya untuk mendekat atau memelihara. Kecerdasan emosional bertindak sebagai energi, bahkan sumber energi yang menguatkan atau melemahkan kecerdasan lainnya, atau minimal kecerdasan bertindak.

Dalam pada itu dapat diketahui bahwa dorongan manusia yang berperilaku membenci sebenarnya atas dasar kerapuhan dirinya atau dalam bahasa yang lebih fatal ialah kekosongan dirinya sehingga objek di luar dirinya dapat mempengaruhi dan atau menyerang secara fatal sehingga dirinya tak kuat dan goyah stabilitas emosionalnya. Bila kita merujuk kepada Porat, manusia yang lemah memiliki opsi untuk bertindak, atas dasar benci atau cinta yang hal tersebut termanifestasikan dalam perbuatannya terhadap lingkungan sosialnya.

Tak jauh dari mereka, seorag Muslim Progresif Indonesia yang menjadi gerbang pembaruan pemikiran Islam di Indonesia bernama Nucholish Madjis atau yang akrab disapa Cak Nur menuturkan bahwa benci adalah sebuah prilaku yang mengingkari fitrah manusia. Dari situ ia ingin mengatakan bahwa sebagai seorang manusia, terlebih muslim seharusnya sudah barang pasti menjadi rahmatan lil ‘alamin bagi seluruh alam tak terkecuali manusia.

Premis atas semuanya ialah bila frasa benci mungkin terlalu rancu untuk dipertentangkan dengan cinta sebagai naluri alamiah manusia sebab perlu penjabaran mendalam dan detail. Maka secara sederhana berangkat dari penjelasan di atas, benci mungkin sebuah kondisi dari manusia yang gagal mempertahankan cinta dalam dirinya sebagai anugerah paling mulia dari Tuhan.

Dari kesimpulan itu kita dapat merenung lamat-lamat dan lebih dalam mengapa manusia harus membenci? Apakah dengan membenci manusia dapat dikatakan gagah? Apakah membenci juga tindakan mulia yang selaras dengan agama baik secara parsial maupun universal? Dan lebih jauh namun sederhana, adakah manusia yag hidup dengan kebencian lalu memiliki kehidupan damai dan berkahir baik? Wallahu A’lam Bishawab

Teni Maarif
Mahasiswa UIN Raden Intan jurusan Pendidikan Agama Islam semester 7 sekaligus Mu’allim (Pengurus Ma’had Al-Jami’ah UIN Raden Intan)

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini