Perihal “Cinta”, dan Ragam Pandangan Ulama Tentang-nya

Selayang pandang, sangat tak asing kiranya ihwal persoalan “lima kata” itu, terlebih bagi muda-mudi dewasa ini. Dalam bahasa Indonesia, kata “cinta” dimaknai dengan; suka sekali, ingin sekali, terpikat, dan lain sepadannya.

Bila diintip dari segi psikologis, “cinta” adalah perasaan khusus yang menyangkut kenangan terhadap suatu objek. Ia bersifat emosional bila muncul dalam fikiran, dan dapat membangkitkan keselurukan emosi primer, sesuai dengan emosi dimana objek itu berada.

Dalam kajian tasawwuh atau sufi, kata “cinta” sering dialihkan pada “hubb” atau “mahabbah”, menggunakan diksi arabnya. Dan tingkatan tertinggi dari mahabbah itu, adalah mahabbah atau kecintaan kepada sang ilahi, yakni Allah Swt.

Tak hanya tiga perspektif diatas, beberapa ulamak juga turut mewarnai untuk mengomentari pun mengkaji prihal kata yang mayoritas insan mengatakan “asyik” itu. Namun sebelum itu, penting kiranya mendengar para pujangga, bagaimana menafsiri kata mahabbah atau cinta itu sendiri.

Versi mereka, rangkaian huruf dari “mahabbah” itu adalah; “mim” nya menunjukkan kepada semua yang memiliki matrabat tinggi. “ha’” nya menjelaskan perbedaan antara satu hal dengan yang lain. “bak” nya bentuk perwujudan hamba dalam bentuk ubudiyah, baik secara rahasia maupun terang-terangan. Dan “ha’” nya adalah mengisyaratkan rasa suka, setelah mengetahui dengan sebenarnya.

Sementara ulama ma’any menjelaskan makna mahabbah dengan; kecenderungan hati kepada sesuatu, karena keindahan yang melekat pada yang dicinta tersebut.

Ulamak kondang Persia, Imam Junaid al-Baghdady menyebut mahabbah sebagai suatu kecenderungan hati, yakni hati seorang hamba kepada tuhannya. Cinta sejati adalah saat seorang pecinta mengambil sifat-sifat kekasihnya, serta membuang sifat-sifat yang ada pada diri dan selain-Nya.

Penyajian tak jauh beda, juga disampainkan oleh Imam Abu Yazid al-Bustomi. Beliau berkata, bahwa cinta adalah “saat kau menganggap tak berharga selain dari yang dicinta. Dan memandang besar segala hal apapun yang datang dari yang dicinta, walau sejatinya itu terbilang kecil nan remeh”.

Diperkuat juga oleh Imam Abu Ali al-Rudzbari, yang menutur prihal cinta sebagai kesesuaian rasa dengan keinginan sang kekasih. Di tambah oleh Imam al-Sibly dalam pernyataannya “cinta adalah kau harus cemburu pada sang kekasih. Jangan-jangan, manusia lain sepertimu juga mencintai-Nya”.

Seperti yang sering terdengar, Imam Ibnu al-Shamad mengungkapkan, bahwa cinta itu “buta dan tuli”. Seorang pecinta akan dibuat buta oleh segala hal yang timbul dari yang dicinta, dan tuli pada hal yang dicintai.

Baca Juga:  Mengenang KH Hilman Almusri Cianjur, Ulama Sekaligus Penulis

Cinta memang bak mahnet besar terhadap seorang pecinta. Dengannya, seseorang tak jarang dibuat terlena. Sebab “wajah manisnya”, siapapun menjadi kebingungan dibuatnya. Ulamak besar Naisabur Iran, Syekh Abu Aly al-Daqqaq menutur dalam kalam singkatnya, “cinta adalah kemanisan, tetapi hakikatnya adalah kebingungan”.

Ilustrasi unik datang dari seorang sufi kenamaan, Imam al-Qusyairy. Menurut ulamak kelahiran iran itu, mahabbah atau cinta bak permukaaan air yang paling tinggi. Karna seorang pecinta akan menimbulkan kepedulian tinggi dari hatinya, manakala cinta sejati telah merenguhnya.

Beliau juga mengimbuhi, mengapa cinta disebut dengan istilah “cinta”. Karna saat seseorang mengatakan “ahabba” (aku mencintaimu), ia sedang menggambarkan seekor unta yang berlutut dan menolak untuk bangkit kembali.

Hal ini tak ubahnya dengan seorang pecinta, lanjud al Qusyairy. Pecinta sejati tak akan menggerakkan hatinya untuk selain yang dicinta, dan akan menjauah dari hal-hal yang timbul dari selain kekasihnya.

Masih dari sufi terkenal itu, Imam al-Qusyairy memaknai cinta (hubb) juga bisa teradopsi dari kata “hibb” (kendi air) yang telah terisi penuh. Karena saat seorang pecinta yang tengah tenggelam dalam cinta (hubb), maka segala hal darinya sudah terpenuhi oleh segala hal dari yang dicintai, dan tak ada tempat untuk lainnya.

Sebagai pamungkas, penafsiran ihwal cinta datang dari Rabi’ah al-Adawiyah. Menurut sufi kondang se antero dunia itu, bahwa ia sukar menjelaskan apa makna cinta. Konon, saat ia ditanya prihal apa itu cinta, ia sebatas menyisipkan ungkapan;

“Sukar menjelaskan apa hakikat cinta itu. Ia hanya memperlihatkan kerinduan gambaran perasaan. Hanya orang yang merasakannya dapat mengetahui. Bagaimana mungkin engkau dapat menggambarkan sesuatu yang engkau sendiri bagai telah hilang dari hadapan-Nya, walau wujudmu masih ada oleh karena hatimu yang gembira telah membuat lidahmu bungkam”.

Tak berhenti di situ, dalam ungkapannya yang terkenal, Rabi’ah juga merajut kata demi kata yang mengulas bagaimana perihal cinta (dan kekasihnya). Tak sebatas cinta, tetapi cinta dalam segala dimensi maknanya. Cetusnya;

Baca Juga:  Mbah Jad: Sufi di Zaman Ini

“Aku mencintaimu dengan dua cinta. Cinta karena diriku, dan cinta karena dirimu. Cinta karena diriku adalah keadaanku senantiasa mengingat-Mu, cinta karena diri-Mu adalah keadaan-Mu menyingkapkan tabir hingga engkau dapat kulihat. Baik untuk ‘ini’, maupun untuk ‘itu’, pujian bukanlah bagiku, namun bagi-Mu lah pujian kesemuanya”

Sejumlah ulama datang, antusias memberi catatan pada ungkapan sufi yang menyandang gelar the mother of the grand master ini. Filsuf persia, Imam al-Ghazaly berkomentar, bahwa yang dimaksud cinta oleh Robiah al-Adawiyah itu, adalah cinta kepada sang pemilik segala cinta, yakni Allah Swt.

Komentar hujjatul Islam ini, tak jauh beda dengan ungkapan Imam Abu Thalib al-Makky. Beliau menyampaikan, yang  dimaksud kata “engkau kulihat” dalam ungkapan Rabi’ah al-Adawiyah, bahwa dia dapat melihat tuhannya. Tak sebatas melihat, ia juga menyaksikan dengan penuh keyakinan dan keasyikan.

Cinta, tak terperoleh melalui khabar, pendengaran, maupun pembenaran. Namun ia terperoleh semata-mata dari persaksian terhadap tuhan yang berlumuran keagungan.

Lebih luas, Imam at-Taftazany juga meyoroti lirik Rabi’ah al-Adawiyah ini. Menurut beliau, dalam ungkapan itu, Rabi’ah mengklasifikasikan cinta menjadi dua. Pertama; cinta Rabi’ah selalu terkenang hanya teruntuk tuhan semata. Dan kedua; karna rasa cinta Rabi’ah yang teramat besar pada tuhannya, maka ia pun dapat menyingkap tirai pemisah antara tuhan dan dirinya. [HW]

__________

Tulisan dianotasikan dari;

Kitab Mukhtasor Ihya’ Ulumiddin, &

Buku Mahabbah Cinta Robi’ah al-Adawiyah.

Muhammad Fauzan
Mahasiswa Ma'had Aly Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur

    Rekomendasi

    1 Comment

    1. 5 KATA, mungkin maksudnya 5 HURUF

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini