Opini

Dampak E-Learning

(Ilustrasi: Freepik.com)

We need to bring learning to people instead of people to learning.” – Elliot Masie

Saat ini e-learning (pembelajaran daring-red) telah menjadi semakin populer dalam dunia pendidikan seiring dengan pertumbuhan teknologi informasi yang sangat cepat. Sebagaimana yang kita lihat bahwa penggunaan e-learning dalam proses pendidikan telah berhasil berkontribusi dalam batas tertentu memperbaiki mutu pendidikan dan meningkatkan keterampilan teknologi para siswa/mahasiswa, bahkan guru/dosen. Karena itu dampak e-learning tidak dapat dihindari.

Apalagi di era merebaknya Covid-19 ini, gaya belajar dan bekerja berubah 180 derajat. Yang semula hanya sebagian institusi pendidikan yang menyelenggarakan e-learning, kini hampir semua institusi pendidikan. Yang semula hanya satu atau dua mata pelajaran atau mata kuliah menggunakan e-learning, kini hampir semua mata pelajaran atau mata kuliah.

Padahal belum tentu semua memiliki hardware dan keterampilan yang memadai. Yang sudah memadai, insya Allah bisa memperoleh keuntungan yang optimal, bagi yang memiliki keterbatasan tentu hanya sedikit keuntungan yang bisa dipetik.

Menurut Sander Tamm (2019) ada 10 keuntungan yang bisa dipetik, yaitu (1) e-learning itu bekerja sendiri, (2) e-learning itu berpusat pada siswa/mahasiswa, (3) e-learning menghemat biaya, (4) menfasilitasi gaya belajar masing-masing siswa/mahasiswa, (5) lingkungan belajar bisa disesuaikan dengan kondisi, (6) e-learning sepenuhnya menggunakan pola pikir analitik, (7) online learning dapat memecahkan kelangkaan guru, (8) e-learning itu ramah dengan lingkungan, tidak timbulkan polusi, (9) tidak memerlukan buku teks, (10) online learning itu hemat waktu.

Online learning yang memiliki semua keuntungan ini akan dapat memetik hasil yang optimal, jika kita bisa siapkan infrastruktur dan hardware yang memadai. Di samping itu juga supporting staf yang terampil mengelola hardware, baik dalam hal mengoperasikan maupun trouble shouting terhadap gangguan yang muncul. Demikian juga ketersediaan hardware untuk guru/dosen dan siswa/mahasiswa, dan kecakapan guru/dosen dan guru/mahasiswa dalam menggunakan hardware dan software-nya.

Selanjutnya, Sander Tamm (2019) juga mengidentifikasi sejumlah kelemaha e-learning, yaitu : (1) Umpan balik ke siswa itu terbatas, (2) e-learning dapat menyebabkan isolasi sosial, (3) e-learning menuntut motivasi diri yang kuat dan keterampilan mengelola waktu, (4) kurangnya pengembangan keterampilan komunikasi pada siswa, (5) pencegahan kecurangan selama penilaian dengan online itu sangat ruwet, (6) instruktur dalam pembelajaran online cenderung bersifat teori daripada praktek, (7) e-learning itu kekurangan komunikasi tatap muka, (8) e-learning terbatas pada disiplin (mata pelajaran/kuliah) tertentu, (9) online learning tidak dapat diakses oleh populasi yang tidak memiliki komputer, (10) terbatasnya akreditasi dan jaminan mutu untuk pendidikan dengan online.

Untuk komunikasi face to face belakangan ini sudah bisa diatasi oleh aplikasi videoconference, sehingga tidak masalah. Kecuali yang hardware-nya belum memadai. Yang juga penting di samping 10 kelemahan tersebut, ada kelemahan lain yang masih dirasakan. Bahwa pendidikan bukanlah transfer informasi atau pengetahuan saja, tetapi juga transfer nilai.

Baca Juga:  Al-Ghazali, Orientalis dan Perkembangan Pengetahuan

Menurut hemat saya, bahwa online learning memiliki keterbatasan untuk transfer nilai. Karena itu blended learning menjadi solusinya, bagaimana sebagian alokasi waktu disiapkan untuk kegiatan pembelajaran face to face, yang bisa melengkapi untuk terciptanya proses pembelajaran yang bermakna. Dengan begitu bisa diciptakan proses pembelajaran yang komprehensif.

Bahwa e-learning untuk semua jenjang dan jenis pendidikan yang mencuat belakangan ini tidak bisa diabaikan tentang dampaknya, baik yang positif maupun yang negatif. Dikemukakannya dengan detil dampak positif dan negatif, diharapkan kita bisa mengoptimalkan dampak positifnya dan meminimalkan dampak negatifnya secara simultan.

Dengan membuat pembelajaran komprehensif yang tetap berfokus pada upaya meningkatkan instructional effect, yang diwujudkan dengan meningkatnya kecakapan akademiknya dan nurturant effectnya yang diwujudkan dengan membaiknya aspek non-akademiknya, baik sosial, emosional dan moral.

Akhirnya bahwa dengan menyadari akan kebutuhan kita untuk terbentuknya insan unggul dan utuh, maka di sinilah blended learning menjadi kebutuhan yang mendesak. Proses pembelajaran yang mensinergikan antara pembelajaran konvensional dan pembelajaran online, tanpa mendekotomikan di antara keduanya.

Hanya saja untuk saat ini terkait dengan merebaknya Covid-19, kita hanya bisa bertumpu sepenuhnya pada online learning atau e-learning, demi keselamatan dan keamanan bagi semua. Yang penting para pendidik atau instruktur menyadari bahwa tugas dan tanggung jawabnya adalah mendidik, memanusiakan manusia. Karena itu kekurangannya bisa dikompensasi di kesempatan lain.

Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd., M.A.
Beliau adalah Guru Besar dalam Bidang Ilmu Pendidikan Anak Berbakat pada Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta. Ia menjabat Rektor Universitas Negeri Yogyakarta untuk periode 2009-2017, Ketua III Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) masa bakti 2014-2019, Ketua Umum Asosiasi Profesi Pendidikan Khusus Indonesia (APPKhI) periode 2011-2016, dan Ketua Tanfidliyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama DIY masa bakti 2011-2016

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini