Muslim Progresif Sebagai Idealitas Umat Islam Saat Ini

Perlu diketahui, dewasa ini kita sebagai umat muslim sedang mengalami krisis identitas diri. Demikian itu dapat dibuktikan dengan ketidakmampuan umat Islam dalam membangun ideologi yang utuh, situasi sosial yang baik, ekonomi yang mapan, dan yang paling menohok adalah abai terhadap ilmu pengetahuan teknologi (IPTEK). Hal inilah yang membuat umat Islam jauh tertinggal dengan umat lainya, sehingga muslim saat ini lebih cenderung sebagai umat yang tertinggal.

Situasi seperti ini bukanlah situasi yang diinginkan oleh baginda Rasulullah saw. Beliau tidak pernah mengilhami umat muslim sebagai umat yang tertinggal, melainkan yang beliau inginkan adalah orang Islam sebagai umat yang mempunyai kualitas yang baik, tekad yang mempuni, tidak mudah menyerah, dan selalu unggul dibanding dengan umat lainya. Hal ini bisa dideteksi dalam hadis Rasulullah yang berbunyi “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada Mukmin yang lemah, dan pada keduanya ada kebaikan. Bersungguh-sungguhlah untuk mendapatkan apa yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allah (dalam segala urusanmu) serta janganlah sekali-kali engkau merasa lemah.” (Cek Shahih Muslim No. 2664, Sunan Ibnu Majah No. 4168, Shahih Ibnu Hibban No. 5721)

Untuk mengatasi krisis identitas yang melanda umat Islam, kiranya sangat penting untuk membangun paradigma baru bagi setiap Muslim sebagai tendensi untuk bersikap dan berperilaku. Adalah muslim progresif sebagai paradigma dalam berkehidupan di era neo-modern saat ini. Paradigma tersebut dinilai sangat apik dan relevan dengan visi dan misi agama Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Paradigma muslim progresif sesungguhnya telah digaungkan oleh beberapa cendikiawan muslim, diantaranya adalah Omid Safi, Khaled Abou El Fadl, Amina Wadud, Ebrahim Moossa, Farid Esack, dan yang terkini adalah Abdullah Saeed. Tetapi sayangnya paradigma ini belum seutuhnya membumi dikalangan umat Islam.

Baca Juga:  Corona, Imajinasi Destruktif, dan Sikap Seorang Muslim

Mengenal Muslim Progresif

Apa muslim progresif itu? Dan siapa muslim progresif itu?. Untuk menjawab pertayaan ini mungkin kita harus tahu makna dari progresif terlebih dahulu. Term progresif memiliki arti “ke arah kemajuan” atau bisa juga “berkemajuan”. Kata progresif juga terkadang disandingkan dengan kata reformis atau revolusiener.Tetapi yang pasti, kata-kata tersebut menunjukan arti yang sama yaitu adanya suatu kemajuan baik dalam berpikir, bersikap, dan bertindak.

Istilah muslim progresif disematkan kepada seorang muslim yang mempunyai corak pemikiran berkemajuan. Tetapi lebih dalam lagi muslim progresif merupakan muslim yang yang selalu memberikan perubahan kearah yang lebih baik, mampu merekontruksi suatu hal yang sudah tidak relevan oleh zaman dengan suatu hal yang selaras dengan konteks perkembangan zaman, menebarkan kemanfaatan, dan juga bersikap kritis terhadap suatu wacana kontemporer.

Meskipun demikian, muslim progresif tidak sama dengan muslim liberal. Adapun muslim liberal, ia membentuk karakternya dengan pandangan universal freedom dan sering sekali menggugat prinsip pokok agama sehingga cenderung gegabah. Sedangkan muslim progresif ia lebih cenderung ke arah relativism freedom dan tidak gegabah, karena corak pemikiranya berpijak kepada turats (tradisi) dalam menginterpretasikan suatu wacana. Meskipun demikian nalar keduanya relatif sama yaitu menguatkan sisi humanisme.

Omid Safi dalam tulisanya yang berjudul A Muslim Quest For Justive, Gender, Equality, and Pluralism memaparkan bahwa muslim progresif merupakan gambaran dari hamba yang senantiasa berbuat ihsan, karena muslim progresif selalu menegakan nilai universalitas Islam yang tertuang dalam al-Qur’an dan juga hadis Rasulullah saw. Nilai tersebut diantaranya adalah keadilan (justice), kesetaraan gender (gender equality), kemajemukan (pluralism).

Adapun nilai keadilan merupakan dasar terciptanya suatu perdamaian dan kenyamanan. Dalam tuntutanya, seorang manusia harus menegakan prinsip keadilan terlebih keadilan dalam sosial yang menyangkut hubungan antar sesama (social justice). Tuntutan ini didasarkan oleh adanya wawasan keadilan yang terdapat dalam surat an-Nahl (16): 90, serta juga dalam UUD 45 dan pancasila yang juga memuat penekanan kepada mewujudkan suatu keadilan sosial. Landasan tersebut memberikan wawasan bahwa keadilan merupakan upaya meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup manusia. Selaras sekali jika salah satu barometer seorang bisa dikatakan sebagai muslim progresif apabila ia telah sanggup memberikan keadilan sosial bagi masyarakat sekitar.

Baca Juga:  Nadirsyah Hosen: Pandemi Buka Peluang untuk Muslim, Sinergikan Agama dan Sains

Selanjutnya yaitu kesetaraan gender. Spirit wawasan kesetaran harus mendapatkan perhatian pokok bagi setiap umat muslim. Islam sejatinya tidak pernah mendikotomi seseorang berdasarkan kedudukan laki-laki dan perempuan. Bukti kongkrit terletak pada surat at-Taubah (9): 71 bahwa setiap laki-laki dan perempuan merupakan sebagai penolong antara satu dengan lainya. Seorang yang progresif merupakan mereka yang mempunyai corak pandang yang memiliki nuansa perjuangan kesetaran gender. Adalah melihat laki-laki dan perempuan sebagai makluk ciptaan tuhan yang mempunyai kapasitas yang sama dan peran yang sama. Tidak ada yang super power dan diskriminatif diantara keduanya terlebih pada prihal jenis kelamin.

Lalu kemudian pluralitas atau kemajemukan. Pada dasarnya nilai pluralitas telah dikenalkan oleh agama Islam, hal ini tertuang dalam surat al-Hujarat: 13. Allah menciptakan manusia dengan berbagai ras, suku, etnis, dan budaya yang berbeda-beda tidak lain agar kita dituntut untuk saling menghormati, menghargai, dan mengenal satu sama lainya. Paham pluralitas sebenarnya merupakan keniscayaan kodrati yang harus dikelola bersama-sama. Allah sendiri mencoba membangun paham tersebut kepada para makhluknya supaya mereka merasakan kehidupan yang indah, kehidupan yang tidak ruwet, dan kehidupan yang bertendensi pada kosmopolitan.

Dari penjelasan tersebut, ketiga nilai tersebut terbangun dari beberapa asumsi dasar yang terletak dalam al-Qur’an, yaitu bahwasanya Allah telah memproyeksikan manusia sebagai khalifah dimuka bumi ini untuk menyebarkan kebajikan. Asumsi selanjutnya adalah Allah menciptakan manusia berbangsa dan bersuku untuk saling menghormati. Kemudian juga asumsi manusia merupakan makluk yang dipersenjatai akal sehingga bisa membedakan mana yang baik dan mana yang benar, mana yang bernuansa maslahat dan mana yang tidak.

Terlepas dari banyaknya asumsi yang beredar mengenai kesetaran gender dan pluralisme merupakan produk dari barat, perlu kita yakini bahwa nilai tersebut merupakan salah satu agenda dakwah Rasulullah saw kepada masyarakat kala itu.

Baca Juga:  Menjadi Muslim yang Jawani

Sebagai Idealitas Umat Islam

Dalam membangun peradaban Islam, Rasulullah saw. selalu berpatokan kepada ketiga nilai fundamental tersebut, karena nilai tersebut merupakan nilai yang bersinggungan langsung dengan kehidupan manusia.Tidak heran jika Islam selang waktu yang singkat bentuk ajaranya mampu diterima dan diserap oleh masyarakat umum.

Nilai tersebut selalu Rasulullah deklarasikan dipanggung dakwahnya. Sehingga beliau mampu mendobrak kebobrokan adat yang dilakukan oleh masyarakat jahiliyah. Segala bentuk penindasan telah Rasulullah bebaskan demi menjaga marwah setiap manusia dalam menjalani kehidupan.

Sementara itu, kita sebagai umatnya sudah barang tentu menjadi tali estafek perjuangan beliau. Rasulullah saw. mengajarkan bahwa idealitas dari seorang muslim adalah seorang yang yang selalu memberikan perubahan kearah yang lebih baik. Jika terdapat kemunkaran maka harus dicegah dengan cara yang persuasif. Jika terdapat ketimpangan sosial maka harus diatasi.

Pasalnya, muslim progresif merupakan muslim yang selalu menegakan keadilan, kesetaraan gender, dan juga pluralitas sebagaimana yang telah beliau contohkan. Sudah barang tentu untuk mengatasi segala problem saat ini yaitu diawali dengan menjadi muslim yang progresif. Tidak salah jika muslim progresif menjadi bagian dari idealitas umat Islam saat ini.[BA]

Mohammad Fauzan Ni'ami
Mohammad Fauzan Ni'ami biasa di panggil Amik. Seorang santri abadi pegiat gender dan Hukum Keluarga Islam.

Rekomendasi

akibat-pikiran-cingkrang
Opini

Mentas dari Kegagalan

Kesuksesan yang diraih melewati kegagalan merupakan bukti kemampuan menemukan anugerah yang terpendam” – ...

2 Comments

  1. […] Mohammad Fauzan Ni’ami, Mahasiswa magister UIN Sunan Kalijaga yang juga santri Hidayatul Mubtadi-ien Kotagede Yogyakarta. […]

Tinggalkan Komentar

More in Opini