Opini

Selamatkan Aqidah Remaja

(Ilustrasi: Pixabay.com)

“Keselamatan aqidah setiap insan tergantung pada keselamatan aqidah remaja, jika aqidahnya selamat, insya Allah hidup selanjutnya selamat dan bermartabat”. – Rochmat Wahab

Dalam Islam, tiga hal yang sangat penting adalah iman (aqidah), Islam (syariah), dan Ihsan (akhlaq). Dianalogikan sebagai rumah, aqidah adalah pondasi. Karena itu aqidah sangat menentukan kualitas keislaman seseorang. Begitu penting dan strategis posisi aqidah, maka keberadaannya seharusnya dibentuk dan dibangun dengan sungguh-sungguh. Baik itu dilakukan sebelum kelahiran, maupun selama masa pertumbuhan dan perkembangan. Untuk membangun aqidah yang kuat dan kokoh, seharusnya fokus, terutama pada masa usia dini (golden age) dan masa remaja.

Belakangan menjadi gempar, bahkan sedikit menjadi viral berkenaan dengan aqidah remaja yang mencuat di tengah-tengah kehidupan publik. Kenapa demikian, padahal pembacaan Puisi Paskah di Jumat Agung itu, sebagai objek materi, juga sudah pernah terjadi di masa-masa sebelumnya. Yang menurut pengakuan sang pencipta, sejak tujuh tahun yang lalu.

Namun orang dewasa atau siapapun yang memiliki concern di bidang agama (Islam) dan pendidikan, terutama para orangtua pada kenyataannya memberikan reaksi cukup serius, bahkan sangat serius, karena menyangkut keamanan dan keselamatan aqidah anak dan remaja.

Yang terjadi di lapangan ada dua sikap terhadap fenomena ini, pertama sangat menyayangkan bahkan menolak keras terhadap kandungan isi dan pembacaan Puisi Paskah. Kedua, tidak menganggap sebagai masalah, karena Puisi Paskah yang bermuatan teologi merupakan hasil dari “penghayatan”” yang mendalam oleh pencipta. Bahkan puisi itu sangat dan paling disukai oleh orang-orang Kristiani.

Memang antara Penulis Puisi dan saya bersama yang sevisi memiliki “posisi intelektual-teologis” yang berbeda. Penulis puisi mengklaim dirinya masuk kelompok yang fleksibel dan saya bersama yang lainnya diklaim sebagai kelompok yang berpandangan tegas, bukan keras. Tafsiran ini tidak sepenuhnya benar, karena bisa bias. Yang fleksibel bisa dinilai lebih baik, karena bisa beradaptasi lebih mudah.

Baca Juga:  Korona, Video Call dengan Ajnabi, Bagaimana Hukumnya?

Sebaliknya yang tegas, bukan keras, bisa dinilai kurang baik, karena terlalu kaku, padahal kakunya karena prinsip. Persoalan aqidah itu persoalan hitam dan putih, dak bisa setengah-setengah. Sikap tasamuh yang menjadi pegangan NU, bukan terkait dengan aqidah. “Lakum diinukum waliyadiin.”

Menyikapi terhadap Puisi Paskah dikaitkan dengan pembaca yang anak-anak dan remaja, ada beberapa perspektif yang dipakai untuk menganalisisnya. Perspektif sosiologis, kita belum tahu persis, apakah pembacanya itu remaja muslim atau non muslim. Karena pakaian belum bisa memberikan jaminan bahwa remaja itu muslim.

Perbedaan identitas dan pakaian menentukan analisisnya. Jika remaja itu non muslim, maka akan berbeda perlakuannya. Jika muslim, mengapa yang putera harus menggunakan kopiah berlogo NU. Memang tidak ada larangan keras kita menggunakan pakaian atau asesoris yang berlogo NU. Tetapi dengan menggunakan logo NU itu sangat merugikan NU dikaitkan dengan tugas membaca Puisi Paskah.

Jika bukan muslim (mudah-mudahan tidak benar) apa tujuan atau agenda menggunakan baju koko untuk putra dan memakai busana muslimah (berjilbab) untuk puteri. Agenda yang bernuansa keagamaan perlu penggarapan yang berhati-hati dan cermat, sehingga tidak menimbulkan kegaduhan sosial.

Perspektif agama, diasumsikan bahwa remaja itu muslim. Sebagai remaja muslim sangat membutuhkan penguatan iman. Bagaimana menanamkan iman dalam hati, yang dikuatkan dengan ucapan atau ikrar serta disempurnakan dengan amaliah. Setelah dikaji isinya, terutama terhadap seorang yang bernama Isa, maka sangat berlawanan dengan ajaran Islam yang tertuang dalam al Qur-an.

Penyikapan yang demikian berpotensi merenggut dan menipiskan, bahkan bisa menihilkan keyakinan atau iman remaja. Padahal mereka sangat membutuhkan penguatan bangunan imannya, yang masih jejeg. Berbeda dengan yang membaca Puisi Paskah itu orang dewasa, yang relatif imannya sudah mapan. Mereka tidak perlu dikhawatirkan lagi, karena mereka relatif sudah mencapai kemandirian.

Baca Juga:  Komorbid dan Standard Akhlak yang Baru

Perspektif psikologi, bahwa remaja itu berada pada posisi antara. Antara anak dan orang dewasa. Bisa dikatakan, bahwa remaja sedang dalam posisi krisis identitas. Untuk itu tugas perkembangan remaja, terutama yaitu mencari identitas diri, bahwa kehadiran figur dan tokoh menjadi penting.

Jika bangunan iman atau aqidah di usia dini (golden age), maka untuk membangun pondasi agama perlu melalui indoktrinisasi oleh orangtua. Jika pada usia anak perlu penguatan bangunan iman, maka upaya yang efektif melalui teman sebayanya, sehingga orangtua perlu mencarikan teman yang baik, yang bisa saling sharing perilaku terpuji.

Selanjutnya jika pada remaja itu perlu penyempurnaan bangunan iman, maka sangat dipandang perlu mengkondisikan hadirnya figur seorang tokoh atau yang ditokohkan menjadi model atau teladan bagi remaja. Di sinilah tugas orangtua untuk mendampingi remaja, supaya tidak salah pilih orang yang ditokohkan untuk menjadi cermin pembentukan identitas diri sebagai remaja Islam, sebagai suatu yang unik dan berkarakter.

Perspektif pendidikan, bahwa pendidikan itu merupakan proses humanisasi. Menjadikan manusia yang bermartabat dan utuh. Keutuhan itu tidaklah bersifat final, melainkan bersifat tentatif yang terus berproses menuju suatu bentukan insan kamil.

Penampilan sosok remaja Islam hakekatnya memiliki konsep diri dan harga diri yang berbeda dengan orang dewasa Islam. Karena apa yang harus dilakukan oleh remaja adalah memantapkan iman untuk semakin kuat dan tidak mudah terjadi konversi agama, wawasan dan amaliah agamanya yang semakin meningkat, membangun ukhuwah yang baik, sehingga bisa menghindari pergaulan bebas bersama teman sebayanya. Karena itu pendekatan pendidikan integratif menjadi penting untuk bisa diterapkan.

Akhirnya bahwa remaja yang karakteristiknya diwarnai dengan STORM and DRUNK, badai dan mabuk yang diwarnai dengan ketidakpastian, yang krisis identitas. Jangan sampai dijadikan korban diwarnai dan dicekoki dengan ideologi yang tidak benar, demikian pula jangan diwarnai dengan aqidah yang berlawanan dengan fitrahnya. Justru sebaliknya orangtua dan tokoh agama berkewajiban selamatkan aqidah para remaja.

Baca Juga:  Tipu Daya Setan dalam Merusak Akidah: Sebuah Pengantar tentang Rencana Setan dan Fitrah Manusia

Ingat sabda Rasulullah saw:”Kullu mauluudin yuuladu ‘alal fitroh. fa abawahu yuhawwidanihi au yunassironihi au yumajjisanihi”. (HR. Ahmad Ibnu Hambal). Yang akhirnya bahwa setiap anak dan remaja wajib diasuh, dididik, dan dibimbing dalam beragama baik di rumah, di sekolah, di pondok pesantren, maupun di masyarakat yang berakhir dengan husnul khatimah.

Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd., M.A.
Beliau adalah Guru Besar dalam Bidang Ilmu Pendidikan Anak Berbakat pada Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta. Ia menjabat Rektor Universitas Negeri Yogyakarta untuk periode 2009-2017, Ketua III Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) masa bakti 2014-2019, Ketua Umum Asosiasi Profesi Pendidikan Khusus Indonesia (APPKhI) periode 2011-2016, dan Ketua Tanfidliyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama DIY masa bakti 2011-2016

    Rekomendasi

    1 Comment

    1. […] mengatasi krisis identitas yang melanda umat Islam, kiranya sangat penting untuk membangun paradigma baru bagi setiap Muslim […]

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini