Manusia dan Persoalan Amanah

Dewasa ini, kita sering sekali mendapatkan kabar via media sosial mengenai banyaknya tindakan-tindakan imoral yang dilakukan oleh masyarakat kita. Banyaknya kasus korupsi, penipuan, pencurian, pemerkosaan merupakan bukti masyarakat kita belum mampu menjaga hak-hak sosial. Banyak sekali faktor yang menyebabkan terjadinya tindakan imoral, baik dalam dimensi ekonomi, politik, atau lainya. Tetapi terlepas dari itu semua, pada dasarnya persoalan semua itu bermuara kepada satu esensi, yaitu persoalan amanah.

Sebagai pedoman hidup manusia, baik al-Qur’an ataupun hadis nabi saw. memaparkan sikap universal yang menjadi etik moral manusia dalam berkehidupan, sehingga bersikap amanah tidak luput dalam pembahasan kedua sumber tersebut. Banyak sekali teks al-Qur’an maupun hadis nabi Muhammad saw. yang mendekte kita untuk mampu menginternalisasi dan eksternalisasi, karena amanah mempunyai keterkaitan dengan tugas manusia sebagai kholifah di muka bumi ini (Q.S. Al-Baqarah (2):30).

Sikap amanah sering sekali menjadi persoalan bagi manusia dikarenakan ketidak mampuan kita untuk menginternalisasi dan eksternalisasi konsep amanah yang telah disodorkan oleh agama. Dikatakan demikian karena kita belum mampu memamahi amanah secara utuh, sekalipun kita paham mengenai amanah tetapi banyak dari kita yang belum mampu mengoperasionalkan dan mengoptimalkan sikap tersebut dalam kehidupan sehari-hari.Padahal salah satu kredo agama -khususnya Islam- yaitu bersikap amanah dalam semua aspek, tidak khayal jika salah satu sifat wajib yang dimiliki oleh seorang rasul haruslah amanah.

Setidaknya upaya untuk membubuhkan sifat amanah dalam diri -proses internalisasi eksternalisasi- bisa dipandang dengan memalui tiga cara secara bertahap (maqamat). Pertama dengan cara tadzakkur, adalah refleksi diri, mengingat kembali bahwa manusia sebagai makhluk yang telah diciptakan oleh Allah untuk menjalankan amanah. Tetapi problemnya adalah krisis pengenalan diri yang dirasakan oleh manusia -terkhusus umat Muslim- sehingga mereka tidak menyadari tentang hakikat penciptaan manusia. Kadang kita luput akan mengingat hakikat hadirnya kita di bumi.

Baca Juga:  Bagaimana Hukum Ibadahnya Anak Manusia yang Dilahirkan Dari Persilangan Manusia dan Hewan?

Sebab itu al-Qur’an sebagai adz-dzikra mengingatkan kita kembali mengenai hakikat manusia yang sesungguhnya adalah khalifah di muka bumi untuk melaksanakan amanah yang harus dipikul (Q.S. Al-Baqarah (2):30), secara eksplisit ayat tersebut juga menegaskan bahwa Allah menugaskan manusia sebagai makhluk yang mengemban amanah untuk mengelola dan memakmurkan  bumi.

Hal ini juga disinggung dalam Q.S Hud (11) ayat 61 yang berbunyi “Dan Allah telah menciptakan kamu dari tanah dan menugaskan kamu untuk memakmurkanya”. Imam ar-Razi dalam tafsirnya, menyatakan kalimat ini mengandung ketersalingan antara bumi dan manusia. Adanya bumi itu untuk mencukupi perkara yang bermanfaat bagi manusia, dan adanya manusia menandakan sebagai makhluk yang mampu memanfaatkan fasilitas yang ada di bumi sehingga manusia didorong untuk mengembangkan dan memakmurkan bumi. Secara tidak langsung memang secara sengaja Allah mengemban amanah kepada manusia karena memiliki intelektual yang cakap. (Imam ar-Razi, Mafatih al-Ghoib, Juz 18 hlm. 368)

Kita juga kembali diingatkan mengenai hakikat manusia sebagai pengemban amanah melalui ayat al-Qur’an lainya, yaitu Q.S al-Ahzab (33):72. Pada ayat ini Allah menawarkan amanah kepada langit dan bumi tetapi keduanya menolak, kemudian hanya manusia yang bersedia memikulya, padahal amanah sangatlah berat. Ketesediaan manusia sebagai pengemban amanah hendaknya kita selalu ingat dan pikirkan dengan dalam, supaya sadar tanda dari sifat kemualiaan manusia tertelak pada menunaikan segala macam jenis amanah.

Kemudian kedua dengan cara  tafahhum, upaya ini merupakan proses memanahi makna dari amanah itu sendiri, apa yang dimaksud dengan amanah? Mungkin pertanyaan ini yang harus kita gali agar bisa memahami amanah. Prof. Quraisy Shihab menguraikan kata amanah terambil dari amina yang mempunyai arti merasa aman, dari term yang sama munculah kata iimaana yang berarti percaya dan amaan yang punya arti tenang, lantas ketiganya saling berkaitan satu dengan lainya. (Quraisy Shihab, Yang Hilang Dari Kita: Akhlak, hlm. 158)

Baca Juga:  Saya Siap Menjadi Kaya, Saya Bersedia Menjadi Manusia, Saya Bangga Menjadi Indonesia

Dalam al-Qur’an konteks pemaknaan amanah pun berbeda-beda, misalnya dalam Q.S al-Baqarah (2): 282 kata amanah konteks pembicaraanya mengenai perdagangan berupa jaminan yang harus dipegang oleh orang yang amanah, yaitu yang mempunyai hutang. Dikatakan hutang sebagai amanah karena orang yang memberi hutang percaya kepada yang dihutangi agar bisa membayar hutangnya. Dalam kasus ayat ini kata amanah orientasinya kepada kewajiban seorang untuk jujur dalam membayar hutangnya. Misalnya lagi dalam konteks ayat an-Nisa (2): 58 membicarakan tentang perintah agar manusia menunaikan hak-hak sosial, seperti menyelesaikan perkara sosial yang diserahkan kepada seseorang untuk ditanganinya secara baik dan benar.

Terlihat jelas pemahaman mengenai amanah setidaknya merupakan suatu sifat yang diasosiasikan dengan tanggung jawab terhadap kepercayaan yang diterima untuk dilaksanakan dengan baik dan benar. Juga merupakan sifat yang dapat dipercaya karena memberi keamanan, ketenangan, dan ketentraman bagi pihak yang bersangkutan.

Kemudian yang ketiga merupakan bagian dari cara eksternalisasi amanah yaitu tahaqquq. Cara ini merupakan kemampuan untuk merealisasikan dan mengaktualisasikan kesadaran manusia terhadap pemahaman mengenai amanah dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga amanah bukan hanya sekedar pemahaman saja, melainkan juga harus dijalani dengan tindakan untuk  mencapai kebahagiaan.

Proses realisasi amanah bisa kita masukan kedalam klasifikasi amanah yang diutarakan oleh Imam ar-Razi dalam tafsirnya, yaitu realisasi menjaga amanah kepada tuhan (ri’ayatul amanah ma’a robbi), lalu amanah kepada sesama makhluk Allah (ri’ayatul amanah ma’a kholqi), dan amanah kepada diri sendiri (amanatul insan ma’a nafsihi). (Lihat Mafatih al-Ghoib, Juz 10 hlm. 109)

Ri’ayatul amanah ma’a robbi bisa aplikasikan kedalam bentuk ranah hubungan hamba dengan Tuhan (vertikal). Adalah meninggalkan segala hal-hal yang secara etik moral dilarang oleh Tuhan, serta menjalankan segala hal yang diperintahkan-Nya. Misalnya seperti melaksanakan sholat secara ajeg, menunaikan zakat secara rutin, maupun haji. Menurut Ibnu Umar, amanah vertikal ini juga mencakup amanah manusia diberi lisan oleh Tuhan untuk berbicara yang baik dan santun, begitu juga mata untuk melihat keagungan ciptaan Allah, juga telinga untuk mendengarkan yang baik-baik, dan anggota tubuh lainya.

Baca Juga:  3 Dosa Besar yang Wajib Dihindari

Lalu ri’ayatul amanah ma’a kholqi, amanah macam ini lebih condong kedalam bentuk hubungan hozirontal (manusia dengan sesama). Hal semacam ini bisa ditemui contohnya di dalam al-Qu’an seperti larangan berbuat khianat dalam mengadakan perjanjian (QS. Al-Anfal (8): 58), tidak menyembunyikan persaksian (QS. al-Baqarah (2): 283), melaksanakan tanggung jawab kepada yang berhak (keluarga, kerabat, tetangga, dan makluk lainya), berbuat adil kepada sesama (QS. An-Nisa’ (4):58), menjaga hak-hak antar sesama, tidak menyingkap ‘aib kerabatnya.

Kemudian yaitu amanatul insan ma’a nafsihi, yaitu amanah yang diproyeksikan untuk dirinya sendiri untuk kemaslahatan didalam hidupnya. Seperti berbuat sesuatu yang terbaik dan bermanfaat bagi dirinya sendiri baik dalam urusan dunia maupun urusan akhirat, tidak mendahulukan syahwat dan nafsu semata dalam melakukan tindakan, dan juga tidak membahayakan dirinya sendiri.

Kealpaan dalam menjalankan amanat akan berdampak kepada pribadi itu sendiri, orang yang tidak mampu menjaga amanat berarti belum sepenuhnya mampu menjalankan fungsi dirinya sebagai manusia secara utuh. Oleh karena itu sikap amanah merupakan persoalan pokok yang harusnya menjadi perhatian utama dalam berkehidupan agar kita bisa menjadi hamba yang konsinten dalam melaksanakan tugas sebagai khalifah dii muka bumi. []

Mohammad Fauzan Ni'ami
Mohammad Fauzan Ni'ami biasa di panggil Amik. Seorang santri abadi pegiat gender dan Hukum Keluarga Islam.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini