Sang Guru Besar yang Dikenal dan Dikenang: Biografi KH Basori Alwi Murtadlo

Beliaulah KH. Basori Alwi Murtadlo, bergelar sang Guru Besar al-Qur’an yang disematkan langsung oleh para masyayikh, para alim ulama’ wal awliya’, pun juga lembaga-lembaga Internasional karena jasa-jasa beliau yang telah menggema di berbagai penjuru nusantara maupun dunia. Sebagaimana penuturan Ustadz Muhammad Abid Muaffan dalam banyak catatannya mengenai sang Guru Besar, bahwa kealiman beliau disampaikan langsung oleh Prof. Dr. Habib Abdullah Baharun (Rektor Universitas al-Ahqaff, Yaman), begitu pula alm. Abuya Sayyid Muhammad bin Alawi al-Hasani (Guru para Ulama Nusantara). Bahkan Pemerintah Arab Saudi melalui lembaga besarnya “KAICAL” dan Duta Besarnya untuk Indonesia, Mustafa Ibrahim al-Mubarak pernah memberikan penghargaan pada tahun 2014 atas kontribusi KH. Basori Alwi yang begitu berpengaruh dalam pengajaran bahasa Arab di Indonesia. Selanjutnya kiprah-kiprah beliau dapat dibaca pada link di bawah yang telah banyak ditulis oleh para cendekiawan.

Selain itu beliau juga mendapat sebutan “Ahlul Jannah” yang disematkan langsung oleh KH. Abdul Hamid, sang Waliyullah dari Pasuruan, sebagaimana diceritakan oleh Dr. Akhmad Yunan Athoillah dalam biografi KH. Basori Alwi berjudul “Senyum Hangat Ahlul Jannah & Rokok Surya“. Sedangkan asma “Murtadlo” pada akhir nama, merujuk pada Kakek beliau yang jika dirunut akan bersambung hingga Sayyidi Rasulillah saw.

Sebagai sosok guru besar, nama beliau tidak hanya dikenal dan dikenang oleh para alim ulama, para pencari ilmu, para pejabat, tokoh-tokoh besar, dan masyarakat golongan atas. Tapi juga sangat dikenal, dikenang, dan dicintai masyarakat biasa seperti kami yang berharap barakah beliau. Nama beliau telah memenuhi sendi-sendi ruang di pinggiran kota, tidak hanya papan nama di tempat-tempat ternama.

Pernah suatu hari, tatkala menghadiri resepsi pernikahan seorang teman di daerah Muharto, suatu tempat di sisi kota Malang yang begitu padat penduduk, ada sebuah musalla kecil (TPQ) yang sangat bagus. Musalla itu berhimpitan dengan rumah warga, sangat terurus, bersih dan sedap dipandang. Namun yang menyita perhatian saya bukan lagi keindahan musalla itu melainkan nama sang Guru Besar yang memampang di atas batu marmer, tanda peresmian musalla. Di dalam hati, saya sebagai orang awam yang belum banyak mengerti kiprah beliau selain dari yang saya dengar dari guru-guru kami dulu, tentu terperangah, betapa dakwah beliau tidak tebang pilih. Beliau meski telah bergelar Sang Guru Besar tapi masih berkenan bergaul di tengah-tengah masyarakat kecil. Dakwah beliau telah menjangkau hingga ruas-ruas sudut kota. Pinggiran-pinggiran yang mungkin tak menjadi pusat perhatian.

Baca Juga:  Biografi Jalaluddin Rumi

Ketika sampai di rumah pemilik hajat, saya masih penasaran dengan rekam jejak dakwah beliau di tempat ini. Saya pun memulai pembicaraan kepada salah satu kerabat pemilik hajat. Si bapak mengiyakan adanya papan nama itu dan mulai bercerita banyak hal mengenai Sang Guru Besar. Ketika khusyuk mendengarkan, tetiba teringat kondisi beliau yang saat itu sedang dirawat di rumah sakit. Yah, meski di tengah kondisi sakit, nama dan jasa-jasa beliau tetap hidup menggenangi hati dan pikiran masyarakat seakan tak pernah sunyi. Bahkan saat ini, sekalipun beliau secara jasadi telah meninggalkan kita, namun kehadirannya masih dapat kita rasakan melalui apa yang beliau wariskan: dzurriyah, pesantren, kitab-kitab, santri-santri yang alim, dan masih banyak lainnya.

Beberapa hari kemudian, peristiwa itu mengantarkan saya pada ingatan ceramah yang pernah disampaikan oleh almarhum KH. M. Tholchah Hasan sewaktu mengisi mauidhoh di PPQ. Nurul Huda Singosari tercinta. Beliau berkata bahwa terdapat perbedaan antara Kiai kampus dan Kiai pesantren. Kalau kiai kampus itu dekat dengan pejabat, sedangkan Kiai pesantren dekat dengan rakyat.

Apa yang disampaikan oleh KH. M. Tholchah Hasan ini tentu bukan bermaksud menghakimi, tapi sekadar respon atas merebaknya fenomena ustadz-ustadz yang lahir dari rahim kampus, belum cukup cakap berbicara mengenai agama, namun menjadi trendsetter masyarakat kini dalam hal belajar agama.

Maka apa yang disampaikan oleh KH. M Tholchah Hasan adalah untuk mengembalikan lagi integritas (marwah) kiai-kiai produk pesantren yang selama ini masih dianggap sebelah mata oleh beberapa orang.

Teruntuk sang guru besar, apa yang diucapkan oleh KH. Tholchah Hasan adalah sebagai legitimasi bahwa Kiai-kiai produk pesantren, beliau-beliau sekalipun namanya telah besar, tetap tidak akan meninggalkan masyarakat kecil dan awam. Dengan segala kebesaran hati, beliau-beliau masih berkenan membimbing, seakan kesabarannya memang tiada ujung. Sekalipun telah dikenal dan dikenang oleh masyarakat atas tapi tetap tak pernah hilang dalam kenangan kami masyarakat awam. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat kasih sayang, keselamatan, dan keberkahan untuk beliau dan dzurriyah. pun kami berharap dapat limpahan keberkahan ilmu beliau. Amiiin. []

Baca Juga:  Biografi KH. M. Sya’roni Ahmadi al-Hafidz

Wallahu a’lam bish-shawab.

https://www.laduni.id/post/read/67464/biografi-kh-m-basori-alwi-murtadlo
https://piqsingosari.com/blog/2017/06/01/biografi-kh-alwi-murtadlo-2/#.Xo80Yf0zbDd
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10207624980420768&id=1778930272
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=3131682343532045&id=100000709311432

Achmad Abdul Aziz
Mahasiswa Pascasarjana STAI Ma'had 'Aly al-Hikam Malang, S1 UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dengan konsentrasi disiplin Bahasa dan Sastra Arab. Santri Pondok Pesantren al-Qur'an Nurul Huda Singosari.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Ulama