antara mbah ndarji dan islam yang diikuti

Dulu, setiap ada orang yang berjilbab dan berpeci, aku mempunyai perspektif, oh orang itu adalah Islam. Pasti orang baik. Semakin kesini seiring jilbab  menjadi trend, bahkan berganti nama keren dengan hijab,  saat itu pula ketika aku melihat orang berjilbab pasti berpikir  terlebih dahulu, dia itu Islamnya golongan apa? Kehidupan terus berjalan hingga aku bertemu dengan banyak orang baru. Tentu saja dengan pemikiran yang berbeda-beda. Bahkan tentang agama Islam. Agama yang dulu ku yakin pasti di dalamnya adalah orang yang penuh kelembutan dan kasih sayang.

Namun, pemikiran ku itu bergeser sejalan dengan berita-berita teroris di media massa, baik televisi maupun koran. Aku juga tidak tahu mengapa dari dulu suka sekali melihat berita ketimbang FTV menye-menye. Padahal dulu itu berita cenderung tontonan orang dewasa. Banyak sekali berseliweran di televisi berita pengeboman daerah tertentu oleh sejumlah kelompok teroris. Sayangnya saat jumpa pers mereka memakai atribut yang menggambarkan orang Islam.

Dari sana pemikiran kanak-kanakku menyimpulkan, bahwa tidak semua orang yang berjilbab, berpeci dan berpakaian ala Islam itu orang baik. Yang lebih ironis lagi, tak hanya teroris yang menggunakan atribut keislaman, bahkan para pengeruk uang rakyat maupun tersangka obat-obatan terlarang akan memakai jilbab saat berjumpa pers. Malang sekali Islamku yang dicoreng marwahnya. Dalam penglihatan masyarakat luas pasti mereka berpikir bahwa Islam beorietasi pada kejelekan. Hingga aku pernah menemukan pertanyaan dari seseorang, apakah Islam memang substansinya adalah pembunuhan?

Namun, di lain waktu aku berjumpa dengan tetangga sepuhku, Mbah Ndarji. Ia sudah berusia senja. Sepanjang yang aku tahu, Mbah Ndarji ini tidak pernah memusingkan urusan dunia. Setiap pagi ia lewat depan rumahku untuk berangkat ke sawah lengkap bersama sepeda onthel tuanya, lalu menjelang salat dhuhur ia kembali kerumah dengan membonceng rumput sekarung hasil sabitan. Untuk bakal makan sapi dirumahnya. Setelah itu ia bergegas membersihkan tubuh dan berangkat ke masjid untuk selanjutnya mengumandangkan adzan, mengingatkan manusia untuk sejenak berhenti dari aktivitasnya dan mendirikan salat bersama-sama.

Baca Juga:  Menjaga Empat Bakti sebagai Pintu Surga

Ya, setiap masuk waktu salat, Mbah Ndarji tanpa  aba-aba langsung mengayuh sepeda menuju masjid. Melantunkan adzan dengan suara yang terputus dan terbata. Maklum beliau sudah berusia senja dan tentu saja beberapa giginya sudah tanggal dan tinggal beberapa. Itu berakibat tidak jelasnya ia melafalkan adzan. Namun, Mbah Ndarji tetap dengan semangat beribadah di dalam rumah-Nya. Yang ia tahu salat berjamaah lebih mulia hingga dua puluh tujuh derajat ketimbang salat sendiri. Ia tidak pernah sekalipun berniat jamaah untuk menyombongkan diri maupun untuk urusan politisi.

Baginya agama bukan sarana untuk berkampanye. Ia tetap berkeyakinan bahwa beragama hakikatnya adalah berhubungan baik dengan Tuhan dan makhluk-Nya. Menurutnya ia sudah cukup beragama Islam yang baik dengan mengikuti tahlilan rutin sebulan sekali, menyayangi anak-anak kecil dan sesekali nyangoni anak yatim.  Mbah Ndarji tentu saja tidak mengetahui atau bahkan tidak mau tahu dengan isu-isu agama Islam baru-baru ini terjadi. Yang penuh dengan tekanan, yang penuh dengan ancaman, yang saling salah-menyalahkan , yang saling membid’ahkan bahkan saling mengkafirkan.

Beliau masih dan akan tetap selalu ngarit rumput di pagi hari untuk kemudian menjadi pakan sapi. Karena itu juga sebagian dari ikhtiarnya menyayangi makhluk Tuhan. Ia tak akan jenuh dengan keruwetan time line media sosial yang akhir-akhir ini menjadi arena pertempuran. Mbah Ndarji mungkin akan tetawa jika mengetahui sekelompok orang yang mengaku golongan Islam paling benar, lalu berisik tentang dosa jariyah yang di dapat dari posting foto di media sosial padahal mereka sendiri bahkan suka mencaci dan berkata kasar di media sosial pula.

Mbah Ndarji akan tetap menjalankan hidupnya dengan Islam yang ia cukupi. Beribadah dengan rutin, bersedekah dengan ikhlas, menjalankan kehidupan dengan bersabar  dan berbaur dengan tetangga seraya bahagia. Karena memang itulah esensi ajaran Islam yang sebetulnya. [HW]

Sofia Ainun Nafis
Santri Putri Pesantren Khozinatul Ulum Blora dan Mahasiswa STAI Khozintul Ulum Blora

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini