Umar bin Khattab: Sahabat yang Berintelektual dan Kontroversial

Sahabat Umar bin khattab merupakan sahabat yang gigih, dan pemberani,hal ini dapat dibuktikan dari banyaknya peperangan yang telah dia lewati. Tidak hanya itu, dalam khazanah intelektual Islam Umar merupakan sahabat yang mempunyai intelektualitas yang tinggi, karena diantara para sahabat tidak ada yang mampu berpikir kreatif dan inovatif ketimbang sahabat Umar bin khattab. Rasulullah juga memuji sahabat Umar akan kecerdasanya dalam memahami agama Islam. (Lihat Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam, hlm.4)

Intelektualitas sahabat Umar bisa dikatakan sangat komplit, dalam menyelesaikan suatu kasus tertentu Umar bin khattab mengimplementasikan tiga dimensi kesadaran yang sampai sekarang ini sulit sekali diterapkan oleh tiap-tiap individu. Kesadaran itu adalah kesadaran teoritis (al-Wa’yu an-Nadzary), kesadaran historis (al-Wa’yu al-Tarikhy), dan kesadaran praktis-realistis (al-Wa’yu al-‘Amaly). Adanya ketiga kesadaran dalam diri Umar membuat dijuluki oleh para pakar hukum Islam sebagai bapaknya mujtahid.

Dalam bahasan perkembangan hukum Islam, Umar bin khattab terkesan sangat kontoversial. Hal ini dikarenakan beberapa ijtihad Umar dianggap sangat bertolak belakang dari apa yang telah tertuang dalam nas al-Qur’an dan Hadis Rasulullah SAW. Hasilnya, beberapa produk ijtihad Umar bin khattab menimbulkan pro dan kontra dikalangan para sahabat, bahkan ada yang mengatakan Umar bin khattab dalam beristinbath hukum tidak merujuk pada al-Qur’an, Hadis, dan keluar dari tuntunan agama Islam. Benarkah demikian? Tentu saja tidak benar.

Perlu sama-sama kita pahami, bahwa ketika Umar bin khattab menjabat sebagai pemimpin negara, Islam berkembang sangat pesat sampai luar jazirah Arab, tentunya kebijakan umar berbeda dengan Rasulullah dan Abu Bakar, terlebih dalam ranah hukum Islam. Meluasnya wilayah Islam, perubahan sosio-kultur pada suatu wilayah, perubahan zaman, dan timbulnya berbagai macam kasus yang baru mengakibatkan dialektika yang rumit. Karena banyak kasus baru yang tidak termuat dalam al-Qur’an dan Hadis Rasulullah SAW.

Baca Juga:  Tabaqat Ibnu Saad; Sejarah Nasab Khalifah Umar bin Abdul Aziz

Pada situasi seperti ini, Umar bin khattab memahami bahwa teks syariah (al-Qur’an dan Hadis) itu terbatas, sedangkan peristiwa tidak akan pernah habis dan akan selalu ada. Dalam kitab bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd konsep ini dinamakan al-Nushuh al-Mutanahiyyah dan al-Waqi’ ghoiru al-Mutanahiyyah. (Lihat Ibnu Ruysd, Bidayatu al-Mujtahid, hlm. 9). Oleh karena itu Umar bin khattab membuat suatu terobosan agar al-Nushus (teks syariat) mampu berdialog dengan al-Waqi’ (realitas sosial). Akhirnya Umar bin khattab melahirkan metode yang mengedepankan substansi dari teks al-Qur’an, yang mana metode ini tidak didekati dengan legal-formalistik, melainkan legal-substantif-realistis. Gagasan ini yang nantinya dikembangkan oleh para ulama Muslim abad ke 5 sampai sekarang ini dengan nama teori Maqashid Syariah dan juga Istislah (maslahah).

Beberapa contoh produk ijtihad Umar bin khattab yang berbasis maqashid dengan menggunakan pendekatan legal-substantif-realistis yaitu;

Pertama, mengenai harta ghonimah (harta rampasan perang). Dalam kasus ini para sahabat meminta Umar untuk mendistribusikan tanah-tanah yang ada di Mesir dan Irak kepada mereka sebagai bagian dari ghonimah. Argementasi para sahabat berdasarkan ayat al-Qur’an (al-Anfal: 40 dan 69) kebolehan para mujahidin memperoleh ghonimah. Tetapi Umar menolak membagikan seluruh tanah kepada para sahabat dengan mengacu pada surat al-Hasyr: 7, yaitu bahwa Allah memiliki maksud agar tidak menjadikan orang yang kaya mendominasi suatu harta. Hal ini ditujukan agar tidak ada kesenjangan ekonomi diantara para sahabat.

Kedua, tentang pidana pencurian. Menurut Alquran surat Al-Maidah: 38 orang yang mencuri diancam dengan hukuman potong tangan. Tetapi Umar bin khattab menangguhkan ini terhadap salah satu rakyatnya yang ketahuanmencuri. Hal ini desebabkan karena situasi pada masa itu masyarakat kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pokok karena panceklik yang melanda. Disisi lain juga, Umar mempertimbangan maslahat dan subtansi dari ayat tersebut yaitu keadilan.

Baca Juga:  Ijtihad Umar ibn Khattāb "Melawan" Teks, Benarkah?

Ketiga, keputusan Umar bin khattab memasukan kuda kedalam katagori kekayaan yang wajib dizakati, karena pada masa itu nilai kuda lebih signifikan daripada nilai unta. Dengan kata lain sahabat Umar memahamai ayat zakat sebagai bentuk kepeduilan sosial yang yang harus dibayar oleh orang kaya kepada orang yang tidak mampu. Dengan demikian, Umar bin khattab mencari substansi dari ayat zakat. (Lihat Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Mawashid Syariah, hlm. 43)

Jadi, sangatlah tidak benar apabila Umar bin khattab mengesampingkan al-Qur’an dan Hadis Rasulullah SAW, tetapi dia mendekati nash dengan menelisik hikmah (substansi) dan maslahah dibalik hadirnya teks syariat. Lalu diejawentahkan kedalam suatu kasus di masyarakat tertentu dengan tujuan nilai-nilai Islam senantiasa selaras (suitably) dengan perkembangan tempat dan waktu.

Wallahu A’lam. []

Mohammad Fauzan Ni'ami
Mohammad Fauzan Ni'ami biasa di panggil Amik. Seorang santri abadi pegiat gender dan Hukum Keluarga Islam.

Rekomendasi

1 Comment

Tinggalkan Komentar

More in Kisah