Tafsir Ayat Poligami Prespektif Fazlur Rahman

Pembahasan perihal poligami merupakan salah satu dari ranah yang masih hangat untuk didiskusikan. Poligami ini merupakan suatu fenomena dalam kehidupan yang kerap terjadi di kalangan masyarakat. Istilah poligami sering menjadi pokok bahasan yang kontroversial, terlebih di kalangan feminis muslim. Sering terdengar ditelinga tapi banyak masyarakat yang masih pro dan kontra dalam keadaan ini (terhadap poligami).

Poligami sering dibincangkan di kalangan akademisi, entah dilihat dari bentuk tinjauan yang bersifat umum terutama yang menyangkut akan pemberdayaan dan hak-hak perempuan yang duhubungkan dengan pemikiran Islam. Terutama perihal penafsiran ayat-ayat yang berhubungan dengan masalah perempuan. Banyak juga para pemikir kontemporer islam yang mengkaji poligami, salah satunya ialah Fazlur Rahman.

Mengenal Sosok Pemikir Fazlur Rahman 

Fazlur Rahman lahir dari keturunan yang alim nan taat beragama, yang mengikuti ajaran Hanafi. Yang mana ajaran tersebut di pakistan menjadi kelompok mayoritas. Kobaran semangat muda Rahman membawa beliau menyukai belajar perihal filsafat, teologi, bahasa arab, tafsir dan hadis. Karir intelektual Rohman dijunjung dengan penguasaan macam-macam bahasa: Inggris, Prancis, Persia, Urdu, Eropa kuno Latin serta Yunani dan Jerman ia dalami juga.

Rahman merupakan tokoh islam yang dikategorikan multidispliner, julukan tesebut ditunjukkan untuk menamai sebagian kelompok Islam yang memiliki pemikiran cara pembahasan masalah itu mengaitkan beberapa keilmuan guna memusyawarahkan inti yang sama.  Beliau hampir membahas dan menguasai berbagai aspek pemikiran Islam dalam posisi yang hampir merata.

Beliau juga merupakan tokoh yang begitu popular, tidak hanya dikenal di satu bahasan dalam diskursus keislaman. Pembahasan mengenai Al-Qur’an dan Islam begitu kompleks dan luas, sehingga hal tersebut dapat menguatkan beliau sebagai seorang cendikiawan garda terdepan dalam islam kontemporer.

Baca Juga:  Nama-Nama Makkah dalam Al-Qur'an dan Asal Penamaannya

Rahman menginginkan sebuah pembaharuan terhadap pembacaan teks. Menurutnya, teks merupakan hal yang memiliki arti dan membutuhkan interpretasi. Fazlur Rahman mendefinisikan Al-Qur’an sebagai firman Allah. Al-Qur’an merupakan wahyu yang diturunkan berbahasa Arab. Yang mana isi dalam Al-Qur’an tersebut perlu dicari maknanya. Sebagai sebuah kode, bahasa Arab harus dipahami melalui sistem bahasa Arabnya.

Al-Qur’an merupakan teks yang sudah mengalami dinamika dan paradigma dalam penafsiran. Rahman melalui pemahaman tradisi hermenutika double movement sebagai cara dalam mencari dari kondisi masa kini kepada kondisi pewahyuan, lalu  kembali dari zaman lampau ke zaman sekarang.

Rahman mencoba memberikan pendangan baru untuk melakukan dan mendekati Al-Qur’an bukan hanya saja melalui teks semata melainkan adanya pemahaman dibalik teks-teks Al-Qur’an. Pembaharuan penafsiran yang dilakukan oleh Al-Qur’an bertujuan guna memperoleh arti orisinil dan signifikasi dari suatu ayat.

Keinginannya untuk membaharui penafsiran karena sesungguhnya sebagai salah satu usaha guna mengungkapkan bahwasanya Al-Qur’an itu bersifat dinamis, tetap cocok untuk dijadikan petunjuk di mana saja dan kapan saja.

Aplikasi Tafsir Poligami

Dalam Al-Qur’an, ayat yang dijadikan sebagai landasan poligami ialah QS. Al-Nisa’ [4]: 3. Rahman menafsirkan dengan metodenya double movement-nya dalam menanggapi persoalan poligami. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan maghza dan signifikansi dari sebuah ayat. Seperti yang dipaparkan Fazlur Rahman tentang poligami sebagai berikut.

Pertama, konteks teks  itu sendiri.  Dia mengontraskan absennya praktek  hukum “yang dimiliki tangan kananmu” (budak perempuan atau tawanan perang) sebagai ‘selir’ dalam wacana Islamis pada satu sisi, dan untuk mempertahankan poligami “makna nikahilah perempuan-perampuan yang kamu sukai: dua, tiga, atau empat” pada sisi lain.

Menurut Fazlur Rahman, dalam  periode  pra-Islam poligami sebagaimana di ungkapkan pada QS. Al-Nisa’ [4]: 3 adalah bersifat kasuistik dan spesifik, hukum  kesukuan  sangatlah dominan dan poligami tidak dibatasi. Masyarakat Arab pada era pra-Islam itu tidak dibatasi oleh jumlah wanita yang akan dinikahi. Lalu turunlah Al-Qur’an guna merespon hal tersebut dengan membatasi empat istri.

Baca Juga:  Syekh Hamami Zadah dalam Tafsir Yasin Hamami “Yasin adalah jantung bagi al-Qur’an”

Dalam konteks ini izin untuk mempunyai empat istri dipahami sebagai  awal  upaya  penghormatan  terhadap kaum  perempuan. Beliau menyarankan bahwa   pembahasan   ini   harus   dipahami   sebagai   awal pembebasan terhadap perempuan dari dominasi kaum laki-laki.

Kedua, meletakkan teks dalam konteks secara keseluruhan. Dengan ini Fazlur Rahman mengklasifikasikan masalah-masalah yang ada. Ia mengklasifikasiakan menjadi dua, yaitu legal formal dan idea moral.

Menurut Fazlur Rahman, legal formal dari ayat QS. Al-Nisa’ [4]: 3 adalah pembatasan dengan empat istri. Jadi untuk mencari sebuah idea moral kita harus memahami ayat tersebut. Poligami tak tebatas diatur dengan ketat dan jumlah istri dibatasi sampai empat orang saja, dengan catatan “jika kamu takut tidak akan bisa bertindak adil (terhadap mereka), maka seorang saja.”

Sesungguhnya jika dipahami, konsekuensi yang terdapat pada ayat ini adalah penekanan pada pelarangan terhadap poligami dalam kondisi yang normal. Maka ketika ayat ini diaplikasikan pada era kontemporer kini, yang menjadi patokan ialah idea moralnya.

Yang mana Ayat tersebut berkeinginan agar kaum Islam bermonogami. Akan tetapi redaksi dalam ayat tersebut dilakukan secara bertahap, sebab Al-Qur’an menyampaikan pesan moralnya tidak spontanitas (hukum sesuai perkembangan zaman). Rohman berpendapat bahwa isi QS. Al-Nisa’ [4]: 3 melarang poligami secara tersamar dengan kata lain limitasi itu sesungguhnya mengindikasikan pelarangan secara tersamar (al-tahrim al-dhimmi).

Fazlur Rahman mengemukakan bahwa topik dalam konteks poligami, keadilan merupakan prinsip, sementara dalam mempunyai sampai empat istri adalah (hukm) kejadian  spesifik  dan  relatif,  tergantung perubahan kondisi yang melingkupinya. Ketika terjadi ketidak sinkronan, yang harus dikalahkan adalah hukm.

Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa QS. Al-Nisa[4]: 3 bukan memaparkan bolehnya poligami. Namun Ayat tersebut memaparkan bahwa monogami lebih diprioritaskan sebab keadilan tidak akan dapat diperoleh serta merta sesuai dengan konsep adil yang sebenarnya.

Baca Juga:  Mengenal Sosok Kyai Sodiq Hamzah : Memanfaatkan Pandemi dengan Menyelesaikan Tafsir Al-Bayan Fi Ma’rifati Ma’ani Al-Quran

Sementara bolehnya poligami dalam kandungan Al-Qur’an pada hakekatnya merupakan suatu hal pembatasan dari poligami yang tak terbatas yang sudah direalisasikan pada era pra-islam. Yang mana pembatasan  tidak  berarti  dapat dikatakan pembolehan.  Tapi demikian juga poligami tidak termaktub dalam (tahrim   al-mubahat) bab “pelarangan” (pengharaman) terhadap hal yang   diperbolehkan”.

Daftar Pustaka

Masrur, Ali, 2007, Studi Al-Qur’an Kontemporer, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Mohamed Imran Mohamed Taib, 2007, Fazlur Rahman, Perintis Tafsir Kontekstual, Singapore: the Reading Group.

Rahman, Fazlur, 1984, Islam, (terj) Bandung: Pustaka

Saefuddin, Didin 2003, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam, Jakarta; PT Grasindo

Durriyatun Ni’mah
Mahasiswi UIN Sunan Ampel Surabaya

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini