Dulu sekali, saat awal-awal ada pengurus Assalam, bapak memesankan kepada saya untuk bangun semampunya. Sesuai dengan uang yang ada. Meskipun hanya cukup buat pondasi saja, kalau sudah habis uangnya ya berhenti. Pesan bapak, Bangun sak cukupe duite ae. Mung cukup pondasi, po malah mung separo pondasi, lek entek duwite yo wes, mandek. Gak usah mekso nyampek nyileh-nyileh, po maneh njalok-njalok. Wes gak usah.”

(Kalau bangun secukup uangnya saja. Kalaupun cukup hanya buat pondasi, atau bahkan separuh pondasi, kalau sudah habis uang bangunannya ya sudah, berhenti. Tidak usah memaksakan diri, sampai meminjam kanan kiri, apalagi sampai meminta-meminta, sudah tidak usah seperti itu).

Pesan ini bukan hanya pesan seorang bapak kepada anaknya, namun lebih dari itu adalah petunjuk guru kepada muridnya. Karena memang hidup semampunya adalah gaya hidup bapak, bukan hanya jargon apalagi manis-manis bibir berteori saja. Banyak sekali cerita hidup beliau yang mencerminkan hidup semampunya, dan seadanya ini.

Dulu, saat bapak awal-awal membangun rumah tangga, dan masih belum mampu secara ekonomi, bahkan menyembelih aqiqah buat anak pun bapak tidak mampu. Cerita beliau saat ngaji Ihya’ di suatu pagi, “Aqiqah sak mampune. Kuate wedos siji, lanang wedok yo rapopo. Kulo riyen nate ngelampahi sakeneke. Pas anak pertama gak nduwe opo-opo, kuate mung mbeleh pitek guedi, 5 kg an paling. Tapi geh pas pun mampu kulo ijoli. Terus seng kedua niku geh mbeleh wedus setunggal, tapi durong netepi syarat. Durong powel. Ancen nduwene kuwi tok. Tapi geh pas pun longgar, kulo ijoli”.

(Aqiqah buat anak itu semampunya. Kalau memang kuatnya hanya menyembelih satu kambing untuk perempuan atau laki-laki ya tidak apa-apa. Saya sendiri dulu pernah menjalani hidup seadanya. Ketika anak pertama lahir, saya tidak punya apa-apa. Hanya mampu menyembelih ayam jago besar yang beratnya kira-kira 5 kg. Tetapi saat sudah mampu secara ekonomi, ya saya ganti Aqiqahnya anak yang pertama ini. Pun ketika saya punya anak yang kedua, saya menyembelih satu kambing. Akan tetapi kambing itu belum memenuhi syarat untuk dijadikan hewan aqiqah, karena belum cukup usia. Tapi karena punyanya hanya itu, ya semampunya saja. Akan tetapi sama dengan yang pertama, saat sudah mampu dikemudian hari, saya ganti hewan aqiqahnya untuk anak kedua tersebut).

Baca Juga:  KH Maimoen Zubair, Waliyullah Asal Tanah Jawa (2)

Ditutup dengan pesan bapak, “Wes pokok e sak enek e ae. Gak usah utang-utang, ko malah bingung piye nyaure”.(sudah pokoknya hidup seadanya saja. Gak usah hutang-hutang. Nanti malah bingung bagaimana bayar hutangnya).

Tak lupa, karena kebetulan menerangkan tentang aqiqah, bapak mengingatkan tentang waktu terbaiknya, “Aqiqah niku mbeleh e hari ketujuh. Terus mangane, utowo acarane dino sesok e. Hari ke 8. Kadang do protes kok podo karo wong mati. Mboten sami niku, lek wong mati mbelehe hari keenam dimaem neng hari ketujuh”.

(Aqiqah itu menyembelihnya pada hari ketujuh kelahiran anak. Dan dimakan, atau acara tasyakurannya diadakan hari berikutnya, hari kedelapan. Kadang banyak yang protes: kok sama dengan peringatan kematian? Ooh tidak sama itu. Kalau untuk memperingati orang meninggal, menyembelih hewannya hari keenam, dan dimakan diadakan acara peringatan pada hari ketujuhnya).

Di samping masalah aqiqah, bapak juga memesankan untuk kita tidak perlu bingung untuk nyetaki atau mendoakan anak saat aqiqahan ataupun di saat yang lain. Bapak sekali lagi meringankan beban santri seperti saya yang malas menghafal banyak doa. Dawuh beliau,

Nyetaki anak, nganggo kurmo utowo manisan. Dipamah terus didulangne opo diidokne neng cangkeme bayi. Terus didungakne barokah barokah barokah. Wes cukup niku. (Nyetaki anak, menggunakan kurma ataupun manisan. Dikunyah, kemudian disuapkan ataupun diludahkan ke mulut bayi. Hanya didoakan berkah, berkah, berkah pun sudah cukup)”.

Pesan terakhir ini sangat membahagiakan bagi saya yang santri ala kadar ini. Akhirnya bisa dengan tenang beribadah semampunya. Hehehe

Semoga kita bisa menerapkan pesan hidup yang sederhana, namun dalam praktiknya tidak sederhana ini. Karena harus bergelut dengan gengsi diri, tuntutan kanan kiri, bahkan dari orang terdekat kita sendiri.

Baca Juga:  SANTRI terASING

Karena memang sekali lagi, hidup semampunya bukan sekedar jujur pada keadaan. Namun juga sabar pada tuntutan kehidupan, yang standarnya banyak didikte oleh manusia berdasarkan keinginan.

Muhammad Muslim Hanan
Santri Alumnus PIM Kajen dan PP Kwagean Kediri

    Rekomendasi

    buku
    Opini

    Menulis Buku

    Tulisan ini seharusnya terbit dalam rangka memperingati hari buku nasional. Tentu tidak akan ...

    Tinggalkan Komentar

    More in Hikmah