Sebagai bumi nusantara, Indonesia memiliki kultur pendidikan yang sama sekali istimewa dan bisa dikatakan tidak ditemukan di belahan bumi manapun. Ihwal keistimewaan tersebut tak lain dan tak bukan adalah hadirnya kaum sarungan atau yang akrab disapa santri. Kaum ini yang nanti nama tempatnya disebut pesantren, telah menjadi saksi sejarah rekam jejak perjalanan Indonesia.

Pesantren hadir menyajikan menu pendidikan yang istimewa dan bernilai sama sekali luhur. Di mana pesantren tak hanya mendidik kader-kadernya secara intelektual, namun juga emosional dan bahkan juga spiritual. Visi dan misi pesantren meskipun kadang tak tertulis secara resmi, namun mampu melahirkan kader-kader yang memiliki jiwa akumulatif, yakni tak hanya cerdas secara agama, namun juga cerdas secara sosial, kreatifitas. Dan hal lain yang perlu digaris besari adalah bagaimana pesantren melahirkan kader-kader yang juga memiliki jiwa cinta akan Negara dan bangsanya. Yang ini tentu menjadi nilai plus tersendiri.

Sebagai warga Negara, santri dalam perjalanan sejarah pun turut andil atau bisa dikatakan santri adalah pemilik sebagian saham kemerdakaan bangsa Indonesia. Hal demikian tak perlu diragukan lagi, apalagi bila kita mau melihat kilas balik perjuangan Indonesia bukan hanya dalam merebut kemerdekaan, namun juga mempertahankannya. Dalam buku karya Achmad Dhofier Zuhry berjudul Peradaban Sarung dirinya mengatakan tanpa Negara dan kemanusiaan memanggil pun, kaum sarungan telah terpanggil dan bahu membahu merebut kemerdekaan dengan keringat, darah, air mata, dan doa.

Lebih jauh dalam membahas sejarah, ketika agresi militer belanda ingin kembali menjajah Indonesia, saat itu Soekarno yang menyadari betapa kuatnya kekuatan belanda dan betapa lemahnya kekuatan Indonesia pun mengirimkan utusan kepada KH Hasyim Asy’ari untuk meminta pendapat ( bantuan ). Selaku orang pesantren yang memiliki jiwa cinta tanah air atau yang biasa disebut Hubbul Wathan Minal Iman pun KH Hasyim amat responsif menanggapi hal tersebut, maka tercetuslah Fatwa dan Resolusi Jihad yang menjadi pemantik bagi para santri untuk turun ke medan mengusir penjajah. Walhasil belanda pun kewalahan dan kalang kabut dalam bertempur melawan para santri.

Baca Juga:  Risalah Rihlah Jaringan Murid Syaikhona Kholil Madura di Tatar Sunda (1) : Pesantren Sukamiskin Bandung

Maka di manapun dan kapanpun, santri akan selalu menjadi garda terdepan dalam menjaga serta merawat tanah air Indonesia. Bagaikan rumahnya sendiri, Indonesia t’lah menjadi istana bagi para santri untuk terus dijaga tanpa mengharap imbalan apapun selain memang sudah menjadi kewajiban santri untuk melakukannya. Dan pesantren akan selalu melahirkan santri-santri yang memiliki ruh resolusi jihad di setiap masanya.

Kecintaan santri kepada tanah air sudah tak perlu ditanyakan lagi. Bagaikan mata uang, santri dan nasionalisme adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Selagi pesantren masih berdiri, Indonesia tak perlu cemas perihal generasi muda yang mencintai dirinya. Sebab santri adalah tanah air itu sendiri dan tanah air adalah surga bagi para santri untuk mencari Illahi Rabbi

Berbanggalah menjadi santri.

Teni Maarif
Mahasiswa UIN Raden Intan jurusan Pendidikan Agama Islam semester 7 sekaligus Mu’allim (Pengurus Ma’had Al-Jami’ah UIN Raden Intan)

Rekomendasi

Fakhri Al-Razi
Kisah

Fakhri Al-Razi (3)

Ruang sosial al-Razi Membaca kehidupan orang ini kita dapat menggambarkan bahwa seluruh hidupnya ...

1 Comment

  1. […] Baca Juga:  Nasionalisme Santri Hingga Kini […]

Tinggalkan Komentar

More in Santri