Seri 2 Evolusi Spiritualitas; Manusia Spiritualitas dan Rasionalisme

 

Mengevaluasi Keimanan Kita

Pada tahun 2011 yang lalu, KH. Musthofa Bisri (sering dikenal dengan Gus Mus) di acara televisi Nasional, Kick Andy, pernah berkata bahwa kita ini pada dasarnya sering kali “menyembah” daging (baca: hawa nafsu) dibandingkan “menyembah” ruh (iman kepada Allah). Sholat kita, dzikir kita, dan seluruh ibadah kita masih berbau “daging” belum menyentuh esensi ibadah yang sesungguhnya, sebagaimana yang dipraktikkan oleh Rasulullah dan para Salafus Shalih. 

Kita sering lupa bahwa ibadah seharusnya bersifat rohani bukan semata-mata bersifat jasmani. Seringkali ibadah dan keimanan kita hanya kita gunakan untuk memuaskan “daging” (baca:hawa nafsu) yang kita sembah, bukan untuk “memuaskan” Dzat yang Maha Agung yang seharusnya kita sembah. Hal ini dibuktikan bahwa banyaknya kemaksiatan-kemaksiatan yang kita lakukan dengan “gagah berani” mengatasnamakan bahwa semua yang kita lakukan adalah atas perintah dan keinginan Allah.

Entah kita sadar atau tidak, sudah seberapa sering kita menjadi actor “antagonis” yang merugikan agama Islam dibandingkan menguntungkannya?. Meskipun selalu saja kita berdalih bahwa niatan kita untuk kebaikan agama Islam, tetapi kita malas bermuhasabah atas kesalahan-kesalahan tersebut. Entah, sudah berapakali kita salah menebak maksud Allah, dengan kemalasan kita berpikir dan belajar? Dengan congkaknya kita merasa sebagai umat pilihan Allah, kita berhak mengklaim bahwa kehendak kita mewakili kehendak Allah.

Entah sudah berapa kali “daging” yang kita sembah lebih berharga dibandingkan “ruh” yang sulit kita kenali dan terus kita abaikan, hanya karena kita tidak dapat melihatnya. Sulit memang mengevaluasi diri kita, karena pada dasarnya evaluasi selalu menyakitkan bagi kita yang masih “dipenuhi” sikap takabur di hati kita. 

Seringkali kita mendengar cerita tentang kesalahan Iblis di masa lalu ketika diusir Allah dari Surga, bukan karena ia tidak beriman kepada Allah tetapi karena kesombongannya yang merasa lebih baik dibandingkan Nabi Adam yang diciptakan dari “sesuatu” yang “dipikirnya” tidak lebih baik dari penciptaannya.

Baca Juga:  Bermadzhab itu Mudah

Kita juga sering mendengar kenapa Nabi Adam tetap dibiarkan “menjadi” khalifah di dunia meskipun beliau juga sama-sama melakukan kesalahan yang menyebabkan beliau harus keluar dari Surga, yaitu karena Nabi Adam mau dan berkenan mengevaluasi seluruh kesalahannya. Sedangkan Iblis tidak diperkenankan kembali ke Surga justru dihukum di Neraka karena bersikukuh dengan “pendapatnya” sebab enggan mengevaluasi dirinya. Lalu kenapa kita masih lupa dan enggan mengambil pelajaran dari hal tersebut? Atau mungkin kita lupa bahwa di dalam Al-Quran ada cerita tersebut.

Mengevaluasi Keislaman Kita

Gus Mus dalam bukunya “Membuka Pintu Langit” mengatakan bahwa Nabi Muhammad diutus oleh Allah dengan membawa risalah Islam untuk menunjukan kepada seluruh umat manusia bahwa beliau merupakan “manusia” yang diutus untuk mengajari manusia agar mereka dapat memanusiakan manusia. Bukan merubah manusia menjadi bersikap “sok malaikat” atau justru meniru sifat-sifat Iblis.

Sifat-sifat Nabi Muhammad dalam hadist Imam Turmudzi yang diriwayatkan oleh Sahabat Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah itu tidak kasar, tidak keji dan tidak suka berteriak-teriak. Dalam hadist yang lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Sahabat Anas r.a bahwa Nabi Muhammad bukanlah pencaci, bukan pula orang yang suka mencela dan bukan orang yang kasar perangainya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Ali Imron ayat 159 yang berbunyi:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ

Artinya: Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.

Baca Juga:  Leaders Eat Last

Lantas kemudian, apabila ada seorang muslim, bahkan mengaku orang yang alim ulama, bersikap kasar, keras dan beringas, yang ada di dalam benak kita ia atau mereka sedang meniru siapa? Jangan-jangan tanpa kita ketahui memang ada “agama” Islam yang nabinya bukan Nabi Muhammad, yang ajarannya memang mengharuskan bersikap demikian dan tidak sesuai dengan contoh yang telah ditunjukan oleh Nabi Muhammad yang kita maksud di atas.

Meninggalkan Daging Kembali Kepada Ruh   

Beberapa pekan ini kita disibukan dengan perdebatan yang sangat tidak “penting” bagi sebagian orang, tetapi bagi sebagian yang lain permasalahan ini sangat berpengaruh terhadap keimanan dan keislaman umat muslim di seluruh Indonesia. Hal itu yaitu ledakan-ledakan kegeraman atas euforia FPI atas kepulangan Imam Besar mereka Habib Rizieq Shihab (HRS), yang membuat suasana ormas keislaman panas kembali di tengah-tengah suasana pandemi yang mencekam.

Bukan hanya urusan politik, permasalahan spiritual dan keislaman pun menjadi topik yang tak luput dari perdebatan, karena munculnya sentimen negatif dari beberapa public figure yang tidak suka dengan euforia tersebut. Bagi kalangan Islam tradisional yang sangat menghargai dan menghormati “nasab” dan darah yang mengalir di dalam diri HRS, menjadi serba salah dalam mengkritik dan membenarkan public figure tersebut.

Ingin meluruskan permasalahan justru akan memperkeruh suasana yang telah terjadi. Buya Syafi’i Ma’arif yang melontarkan kritik atas pengkultusan “nasab” HRS bahkan tak luput dari kritikan kalangan Islam tradisional. Umat muslim di Indonesia yang didominasi oleh kalangan Islam tradisional pun menjadi bingung dengan situasi ini. Dari ulama-ulama besar Islam Tradisisonal pun seperti tak ada yang mau menanggapi situasi tersebut, mungkin tak ingin terseret perdebatan yang memang sejak lama terjadi, bersikap pasif menjadi pilihan yang aman dalam menanggapi situasi tersebut.

Baca Juga:  Fikih Berkurban

Respon didapatkan oleh umat muslim tradisional masihlah sama, dan jawaban yang klise pun masih terjadi, “keturunan Nabi Muhammad yang mempunyai akhlak tercela itu, anggap saja seperti mushaf Al-Quran yang rusak, tidak bisa dibaca tetapi tetap harus kita simpan di almari dan kita rawat”. Permasalahannya mushaf Al-Qur’an yang rusak (baca: yang tidak bisa di baca) ini selalu diletakan di depan bangku dan tidak lekas diganti dengan al-Qur’an baru yang bisa dibaca.

Pertanyaan yang bisa kita ajukan, benarkah kita dapat menyembah “ruh” seperti yang dimaksudkan oleh Gus Mus, jika banyak “daging’” yang masih kita kultuskan dan dzikirkan?. Sampai kapan umat Islam ini dibuat bingung dengan sesembahannya, jika umat disibukan oleh permasalahan yang itu-itu saja. Kemudian bagaimana kita bisa mengevaluasi keimanan dan keislaman kita, jika ujiannya tidak pernah kita dapatkan jawaban. Benarkah Islam harus pasif terhadap kemungkaran yang ada, jika ber-amar ma’ruf saja belum kita laksanakan. Waallahu ‘alam.  (IZ)

 

Mubaidi Sulaeman
Alumni Ponpes Salafiyah Bandar Kidul Kota Kediri, Peneliti Studi Islam IAIN Kediri-UIN Sunan Ampel Surabaya

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini