Hampir setiap hari, sebagai warga karantina Wisma Atlet, saya menggunakan lift. Bahkan untuk sekedar mengambil makanan dari kerabat, teman dan restoran cepat saji. Bertemu pengantar makanan, dan berterima kasih kepada tentara dan polisi yang menjaga perbatasan karantina.

Tower yang saya tempati di lantai sebelas memiliki tiga titik lokasi lift. Saya sendiri lebih memilih lift transparan. Lift transparan memberikan kita dua kualitas. Kualitas pertama berkaitan fungsi. Semua alat pasti ada fungsinya. Kualitas kedua berkaitan dengan kesempatan melihat cara kerja lift selagi kita menggunakannya.

Jika diperhatikan dalam kehidupan modern, ada kecenderungan bahwa manusia memiliki ambisi untuk melihat segalanya dengan transparan. Seolah-olah manusia tidak puas hanya melihat dengan apa yang membatasi mata mereka. Penemuan kaca (tembus pandang) adalah bukti utama dan otentik yang sulit dibantah dari ambisi semacam ini. Mari kita mulai dari pertanyaan dasar, mengapa manusia menggunakan kaca transparan?

Tahun 650 SM para arkeolog sudah menemukan panduan material kaca yang dibuat secara sengaja oleh manusia kuno saat itu. Beberapa ratus tahun kemudian di Seneca Romawi, abad ke-4 SM, ditemukan alat sejenis kacamata. Artinya ambisi untuk melihat segalanya transparan jauh telah ada sebelum zaman modern terbit di ufuk barat. Namun saat itu kaca transparan diciptakan manusia hanya untuk kualitas pertama saja. Kaca untuk membantu kehidupan sehari-hari. Seiring berjalannya waktu, soal material tembus pandang tidak lagi dimonopoli oleh kaca, ada beragam jenis bahan plastik yang sudah menggeser dominasi materi yang mudah pecah ini.

Yang menarik, ketika kaca sudah digantikan plastik, transparansi menjadi sebuah nilai yang ajeg. Tidak disadari, meskipun kaca tergerus zaman, ambisi untuk melihat segalanya transparan selalu hadir dalam kebudayaan dan pemikiran modern. Kebudayaan manusia modern menganggap bahwa transparansi adalah nilai objektif. Seolah-olah dengan transparansi semua persoalan dunia seperti korupsi, persekongkolan, perselingkuhan, penipuan dan kebohongan akan terselesaikan.

Transparansi menawarkan jalan lurus tanpa hambatan antara subjek dan objek. Antara Anda dan jumlah rekening koran Anda. Antara Anda dan kekasih Anda. Antara Anda dan chat-chat mesum Anda dan seterusnya dan sebagainya. Realisasinya, transparansi bukanlah sebuah jalan yang lurus tanpa pajak dan hambatan.

Transparansi adalah konstruksi realitas. Untuk membuat Anda bisa menembus, katakankah kebohongan kekasih yang selingkuh, Anda kemudian meminta transparansi. Misal, dengan cara membuka isi chat perselingkuhan. Apakah dengan demikian transparansi berhasil menawarkan realitas yang menyeluruh? Atau justru menghadirkan rasa sakit baru?

Orang-orang dari sisi dekonstruktif akan menolaknya. Argumennya, ketika Anda merasa diselingkuhi, Anda menciptakan dunia penderitaan. Seolah-olah Anda sudah menciptakan adegan drama Korea dipikiran Anda sendiri. Orang yang menyelingkuhi Anda juga punya realitasnya sendiri. Kemudian Anda yang baru saja membaca isi chat perselingkuhan, baru saja menciptakan drama baru dengan judul berbeda. Kurang lebih ada tiga realitas yang saling berebut ruang.

Oleh sebab itu dari cara pandang dekonstruktif, transparansi kurang lebih adalah omong kosong. Bukannya menyelesaikan persoalan, malah menambah persoalan (menciptakan realitas baru).

Jika dari sisi yang konstruktif, transparansi artinya membentuk realitas. Misal, dengan transparansi, Anda bisa memacu kendaraan tanpa halangan apapun antara titik berangkat dan tujuan. Hanya saja ketika Anda berangkat, Anda menciptakan sendiri jalan aspal, mobil, kecepatan dan jarak tempuhnya. Realitas transparan adalah hasil pembentukan.

Lalu dari sisi mana transparansi menawarkan realitas ajeg? Tentu saja dari ideologi tertentu. Yakni dari ideologi yang mempercayai bahwa transparansi adalah jawaban dari semua masalah. Ideologi liberalisme dan anak pinaknya sangat menjunjung tinggi transparansi.

Dalam sebuah adegan film, Presiden AS Krikman diceritakan sedang menghadapi dilema antara memberitahu rakyat Amerika Serikat tentang keadaan yang sebenarnya terjadi atau merahasiakannya demi “kepentingan nasional”. Meskipun dalih “kepentingan nasional” lebih tidak masuk akal, namun ketika sang presiden dalam film tersebut memilih “transparansi” juga merupakan tindakan yang jarang atau tidak akan mungkin terjadi jika berkaitan dengan piramida kekuasan itu sendiri. Seperti memakan diri sendiri. Itu tidak mungkin.

Ia menyatakan, “untuk membayar dukungan rakyat Amerika Serikat, kita harus memberikan transparansi” katanya. Setelah ia mengucapkan “transparansi”, ia kemudian meminta juru tulis untuk mengetik naskah pidato, membacakan ulang pernyataannya. Kemudian membuat kebijakan baru yang akan diterapkan secara struktual dan kemudian menjadi perbincangan media masa.

Semua ini sempurna karena merupakan adegan film. Namun dari sisi yang paling ideal saja, transparansi adalah suatu medan yang harus dibentuk. Ia tidak hadir dengan sendirinya. Lebih jauh, transparansi justru telah berbelok tajam dari tujuan tradisionalnya yang ingin menembus skala halangan, mengarahkan semua halangan pada satu titik sehingga transparansi menjadi riil.

Misal, untuk membuat pemerintahan Indonesia menjadi transparan, lembaga keuangan dan moneter dunia harus melakukan berbagai cara untuk mencapainya. Tidak semudah memberitahu presidennya dan kemudian besok negeri ini menjadi transparan.

Mereka membuat strategi. Sebab transparansi yang dimaksud adalah intervensi sekelompok kecil manusia untuk mendorong sekelompok besar manusia lainnya. Logika labotarium tidak berlaku di sini. Subyeknya tidak melibatkan manusia dan tikus saja. Sebab baik lembaga dunia dan pemerintahan negara berada dalam posisi subjek yang setara; manusia dan manusia.

Realitasnya, lembaga keuangan dunia mengeluarkan dana besar untuk membiayai NGO-NGO dan melakukan banyak seminar, pelatihan, workshop untuk memastikan bahwa ide transparan menjadi dominan. Melakukan percepatan melalui mobilitas sosial kemudian -pada level tertentu mereka puas berada disini- terjadi perubahan kebijakan dan lahirnya undang-undang yang mendukung agenda transparansi.

Dengan demikian apakah masalah selesai? Tentu tidak. Kebanyakan korupsi data terjadi di level paling bawah sampai paling atas. Laporan beberapa lembaga lapangan dimanipulasi karena ada dorongan dari atas untuk melakukan percepatan. Sehingga diciptakan realitas baru diatas kertas. Semua data dihasilkan oleh imajinasi beberapa orang. Repotnya, data ini diambil lembaga global untuk mendorong pemerintah agar melakukan transparansi.

Sampai disini, transparansi sudah menunjukan watak aslinya sebagai pendukung dari ideologi tertentu. Sebab salah satu ciri ideologi adalah membentuk struktur kognitif. Ia bisa menjadi pemandu. Tapi boleh jadi pemandu yang keliru. Pada level tertentu Foucault pernah menyebut bahwa ideologi seperti seberkas kotoran/guratan pada kaca jendela ketika kita melihat tembus pada pemandangan di luarnya. Pada level ini Foucault lebih sopan untuk menyebut bahwa ideologi adalah distorsi kecil dari realitas. Kita semua bisa melihat pohon, langit, mobil dan jalan dari dalam ruangan. Tapi, sebagaimana yang berlaku terhadap cara kerja mata dan cahaya, sekecil apapun kotoran dan guratan pada kaca tersebut tetap menghalangi atau mendistorsi transparansi kaca.

Tapi dominasi untuk menjadi transparan telah mekar kuat. Bangunan mall-mall besar hampir dilengkapi berbagai kaca transparan raksasa hanya untuk menunjukan bahwa menjadi transparan adalah kenyataan akbar. Melangkahi kualitas fungsi. Hanya butuh gempa kecil untuk merontokkan kaca-kaca besar itu menjadi pisau-pisau pembunuh di saat yang tepat.

Produk modern seperti mobil juga dipengaruhi oleh ambisi menjadi transparan. Jika kereta kuda adalah nenek moyang mobil, maka sampai hari ini mobil dibuat semakin terbuka. Bukan dalam pengertian teknis mobil dengan kap terbuka. Namun mobil difungsikan sebagai kendaraan yang jika salah satu pintunya dibuka setiap orang dari luar bisa melihat seluruhnya. Seolah-olah tidak ada batasan antara mereka yang di luar dan di dalam mobil.

Jika dipikirkan, betapa kerasnya usaha yang dilakukan manusia modern untuk mentransparasi dirinya dan semua yang berkaitan dengannya seperti produk budaya. Kita bisa melihat pada waktu tertentu beberapa restoran dengan menu rahasia menempatkan dapur pengolahan di belakang bangunan. Namun beberapa restoran lain memperlihatkan bagaimana koki memasak di depan konsumen. Hal ini merupakan kualitas tambahan yang kini menjadi nilai-nilai ajeg yang sulit dibantah. “Kami menggunakan bahan organik”, “koki kami menerapkan kebersihan”, “semua peralatan dicuci bersih” dan seterusnya.

Tapi itu separuh cerita. Dibalik akrobat para koki, di belakang dapur, mereka sudah mempersiapkan bahan-bahan yang mungkin saja, melanggar slogan-slogan mereka sendiri. Sayangnya, pekerjaan ilegal, kotor dan tidak disukai ini dikerjakan oleh pekerja-pekerja miskin yang mungkin sangat mudah di-PHK dan berbanding terbalik dengan ‘realitas transparan’ yang ditawarkan oleh ‘seolah-olah dapur’.

Inilah yang saya bayangkan ketika melihat roda-roda, rantai-rantai, tali-temali lift transparan. Saya menikmati kualitas kedua dari lift, yaitu cara kerja ‘dapur’ mesin angkut naik tangga ini. Pertanyaannya, jika kita berada di dalam lift, dapatkan kita berdialog dengan orang yang di luar lift yang berbeda ideologi?

Iman Zanatul Haeri
Guru Sejarah MA Al-Tsaqafah Said Aqil Siroj Foundation, Alumnus Universitas Negeri Jakarta.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini