Intisari Ihya' 'Úlumuddin (Part 2)

Melanjutkan tulisan minggu kemarin yang menceritakan tentang tirakat dari abahnya imam ghozali agar punya anak yang sholih, yaitu menjaga makanannya selalu yang halal, juga khidmah dan berusaha dermawan pada orang alim. Dalam tulisan kali ini saya akan melanjutkan cerita bapak pada saat hataman ihya’ kemarin.

Melanjutkan tentang laku abahnya imam ghozali yang berusaha tetap ngaji pada orang ‘alim;”Naliko bapakipun imam ghozali ten mriku nderek ngaji, terus khidmah, terus lek sampun milai ngaos, piambakipun mirengaken ngaos kaleh nangis, sakestu ndingkluk nyuwon diparingi anak ingkang ahli mituturi tur faaqih (saat bapaknya Imam Ghozali ikut ngaji, juga khidmah pada kiai, beliau tak lupa selalu mengikuti pengajiannya juga. Dan saat ikut mengaji ini, beliau menundukkan kepala sambil menangis tergugu meminta pada Allah agar diberikan anak-anak yang ahli menasehati dan ahli fiqih)”.

Ingkang mauidhohe sangking njero ati sakestu, tur faaqih. Terus gusti Allah ngijabahi penyuwunan ingkang reni kaleh. Masyaallah dados sedoyo (yang ahli mauidzoh atau ahli ceramah ini bukan hanya ahli bicara, beliau meminta diberikan anak yang ahli ceramah yang pesannya sampai masuk kedalam hati. Dan meminta anak yang ahli fiqih beneran. Dan ternyata permintaan tulus dari orang tua ini dikabulkan semua oleh Allah)”.

Imam ahmad, rayine niku dados waa’idz. Sehinggo dingendikakake, wekdal imam ahmad mauidzoho lek ten sandinge enten watu ingkang atos, saget empuk. Berarti mauidzohe sakestu. Ingkang di mauidzohaken dilakoni temenan kaleh imam ahmad (anak beliau yang kecil bernama Imam Ahmad, menjadi seorang mubaligh atau penceramah yang hebat. Bahkan diceritakan, saat Imam Ahmad berceramah, batu keras yang ada disekitarnya bisa menjadi empuk. Ini menandakan bahwa ceramah yang beliau sampaikan ini benar-benar tulus. Dalam artian, apa yang beliau sampaikan juga sungguh-sungguh telah dilakukan oleh Imam Ahmad)”.

Baca Juga:  Di Pesantren, Pengajaran Menulis Arab Pegon Lemah

Cerita ini sekaligus pesan bagi para dai atau mubaligh, lanjut bapak dalam ceritanya: “Mergo enten tiang niku ingkang mauidzoh, katah ingkang mbangkong mboten solat subuh. Dek e dewe ora solat subuh, tegese yo bangkong. Ngomenge gak karu-karu an, tapi dek e gak pati ngelakoni. Ngono niku enek watu neng sandinge yo ora iso empuk (karena memang ada orang yang ketika ceramah itu menerangkan tentang jeleknya orang mbangkong atau tidur sampai siang, dan tidak solat shubuh. Tapi dia sendiri juga sama, mbangkongan dan tidak solat shubuh. Ngomongnya melangit, tapi dia sendiri tidak melakukan hal tersebut. Nah seorang penceramah yang seperti ini, kalau ceramah ya tidak bisa mengempukkan batu yang ada disekitarnya saat berceramah)”.

Dados imam ghozali ahli feqih, imam ahmad ahli mituturi (jadi memang pada akhirnya kedua anak beliau_bapaknya imam ghozali_ ini jadi orang hebat seperti yang diminta. Imam Ghozali menjadi ahli fiqih, sebagimana yang kita ketahui. Dan adiknya, yaitu Imam Ahmad menjadi ahli mauidzoh)”.

Dadi garis besaripun tiang sepuh lek pengen nduwe anak seng ngalim, disamping panganane wong tuo yo halal sakestu, kudu seneng karo wong seng nduwe ilmu, khidmah, tur lumo sak eneke (jadi garis besar dari cerita saya ini, kalau orang tua ingin punya anak yang ‘alim, disamping makanannya harus dijaga benar kehalalannya, juga harus cinta pada para ahli ilmu. Tak hanya cinta, tapi juga harus mau khidmah atau mengabdi kepada ahli ilmu, dan dermawan kepada ahli ilmu semampunya)”.

Rumus ini, sudah dibuktikan oleh banyak orang dan di banyak tempat, namun memang perlu kesabaran dan ketulusan dalam perwujudannya. Karena memang tidak semua bisa mendapati hasil tirakat orang tua ini dalam waktu dekat. Ada yang harus menunggu puluhan tahun, dan bahkan tidak menyaksikan secara langsung karena terburu wafat, seperti halnya yang terjadi pada abahnya Imam Ghozali ini. Dan bahkan ada yang harus menunggu ratusan tahun karena anak-anaknya belum ditakdirkan menjadi orang hebat. Namun bukan berarti kemudian tiraiatnya hangus, namun dijanjikan nanti pasti ada dari salah stu keturunannya yang memanen dari hasil tanaman tirakat bapak, atau mbahnya. Sebagaimana yang diterangkan bapak dalam lanjutan ceritanya:“Nek wong tuwone sampean wes lumo, sampean durong ngalim, insyaallah putune dadi ngalim (kalau orang tua anda sudah dermawan pada ahli ilmu, namun anda belum menjadi orang ‘alim, maka insyaallah nanti cucunya yang akan menjadi orang ‘alim).

Baca Juga:  Mengapa Tuhan Tidak Menjauhkan Keburukan dari Kita?

Dan hikmah dari cerita ini, bila dikembalikan pada diri pribadi bapak, sudah terbukti nyata. “Tapi lek dipun angen-angen geh pantes. Niki nyeritakne kulo (kalau difikir-fikir, semua hikmah dari cerita tentang orang tua Imam Ghozali ini memang begitulah sepantasnya. Dan ini cerita tentang diri saya sendiri)”.

Kemudian bapak menceritakan tentang Mbah Maksum, bapak beliau. []

#bersambung

#salamKWAGEAN

Muhammad Muslim Hanan
Santri Alumnus PIM Kajen dan PP Kwagean Kediri

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Hikmah