Implementasi Hak Ijbar Terhadap Seorang Janda Pada Masa Kini

Pernikahan adalah suatu prosesi yang sakral yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan. Dalam agama islam ada ketentuan-ketentuan untuk melaksanakan sebuah pernikahan. Sebelum melaksanakan pernikahan harus ada beberapa komponen yang terpeenuhi. Menurut Imam Syafi’i komponen yang harus terpenuhi atau yang dikenal dengan rukun dari pernikahan ada lima yaitu sighot,mempelai laki-laki, mempelai perempuan, adanya dua saksi dan adanya seorang wali. Komponen yang terakhir adalah seorang wali, terdapat beberapa wali dalam pernikahan  salah satunya adalah wali mujbir. Wali mujbir dalam fiqih adalah seorang wali yang memiliki hak istimewa (hak ijbar) yaitu menikahkan anak perempuannya tanpa izin dari anak tersebut atau sering dipahami kebanyakan orang dengan sebutan kawin paksa.

Mengutip dari kitab nihayath al-muhtaj:

وللاب تزويج البكر (صغيرة وكبيرة) (بغير اذنها) لخبر الدارقطني (الثيب احق بنفسها من وليها واالبكر يزوجها ابوها)

Seorang wali mujbir hanya diperbolehkan menikahkan anak perempuannya yang masih gadis baik anak gadisnya masih kecil atau sudah dewasa. Beda halnya dengan seorang janda, disini seorang wali mujbir tidak boleh menikahkan seorang janda. Hal ini dilandaskan dengan adanya hadist yang menyebutkan hak seorang janda dan gadis.

عن ابن عباس رضى الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال (الثيب أحق بنفسها من وليها والبكر يستأمرها فى نفسها)

“Dari Ibn ‘Abbas RA. Sesungguhnya Nabi SAW. berkata: Janda itu lebih berhak atas dirinya dari pada walinya, sedangkan gadis itu diminta izinnya dan diamnya merupakan izinnya.”

Dari hadist ini sering difahami bahwa seorang janda mempunya hak atas dirinya sendiri dan seorang gadis lebih berhak atas walinya. Yang mana menurut Imam Syafi’i meminta izin kepada anak gadisnya adalah sebuah kesunnahan yang berarti hal ini tidak wajib. Hak ijbar terhadap seorang anak gadis dianggap sebagai perlindungan seorang wali dikarenakan seorang anak gadis dianggap belum/tidak memiliki kemampuan untuk berrtindak. Adapun ketentuan -ketentuanya adalah :

  1. Antara wali dan anak perempuanya tidak ada permusuhan
  2. Tidak adanya permusuhan antara dua calon pengantin
  3. Harus dinikahkan dengan laki-laki yang kufu
  4. Calon pengantin laki-laki sanggup membayar mahar mitsil
Baca Juga:  Fikih Zakat Kontemporer: Hukum Penyaluran Zakat Melalui Program Beasiswa

Sebab hilangnya hak ijbar adalah adanya status janda bagi seorang wanita. Imam Syafi’i menyebutkan kriteria dari seorang janda adalah :

“Ketika seorang perempuan telah di jima‟ dengan nikah yang sah ataupun fasid atau karena zina, baik perempuan tersebut masih kecil, sudah baligh atau belum maka statusnya adalah janda.”

Pernyataan yang dipaparkan Imam Syafi’i diatas berarti seorang janda adalah perempuan yang telah melakukan hubungan badan baik secara sah dalam islam ataupun tidak (zina). Hal ini berarti menafikan perempuan itu dewasa ataupun masih kecil. Seorang janda dianggap lebih berpengalaman terhadap seorang laki-laki dan bisa menentukan apa yang lebih baik untuk dirinya. Disini bisa disimpulkan bahwa seorang janda dianggap sudah memiliki kemampuan bertindak yang mana untuk menentukan pasangannya dalam pernikahan. Sehingga seorang janda tidak berhak dinikahkan tanpa izin oleh darinya. Kemampuan bertindak seperti ini yang memungkinkan seorang janda dapat lebih matang memilih pilihan hidupnya daripada seorang gadis agar dapat menjadi keluarga yang sakinah,mawaddah,warahmah.

Sedangkan pada realita yang terjadi pada masa ini adalah kasus perempuan yang statusnya seorang janda tapi masih sering gagal dalam pernikahan. Ada beberapa kasus di indonesia dimana seorang janda yang dianggap memiliki kemampuan bertindak lebih dari seorang gadis malah sering nikah cerai. Contohnya adalah kasus seorang penyanyi dangdut di indonesia yaitu Cinta Penelope yang menikah sebanyak 6 kali, kasus dari seorang artis penuh kontroversi yaitu Nikita Mirzani yang dua kali gagal dalam pernikahannya.

Melihat realita yang terjadi, apakah tolak ukur diperbolehkannya hak ijbar masih dari status janda dan gadis? Sedangkan hak ijbar sendiri memiliki ketentuan yang ketat yang memungkinkan dalam meminimalisir adanya perceraian. Dalam memahami hak ijbar setiap orang memiliki pendapat yang berbeda-beda baik ulama ataupun orang awam. Lalu bagaimana hak ijbar yang masih relevan untuk seorang janda maupun gadis?

Baca Juga:  Hukum Mengucapkan Selamat Natal

Sebelum membahas mengenai hak ijbar terhadap seorang janda,baiknya kita memahami kembali definisi ijbar. Banyak orang memahami hak ijbar adalah paksaan dalam melaksanakan pernikahan  yang dilakukan oleh seorang wali terhadap anak perempuanya. Perlu diketahui bahwasanya definisi ijbar adalah suatu tindakan untuk melaksanakan sesuatu atas dasar tanggung jawab. Sedangkan paksaan dalam bahasa arab bukanlah definisi dari ijbar melainkan dari ikrah dan taklif.  Ikrah  adalah suatu paksaan terhadap seseorang untuk melaksanakan suatu pekerjaan tertentu,dengan menyertakan ancaman.

Sedangkan definisi dari taklif  adalah  suatu paksaan terhadap seseorang untuk melaksanakan suatu pekerjaan, hal ini adalah bentuk konsekuensi seseorang dari sebuah keyakinan yang dia percayai. Maka dilihat dari definisi ijbar bukanlah sebuah paksaan. Namun hak ijbar sering kali dimaknai dengan konotasi ikrah yang mana hal ini dapat melanggar hak asasi manusia. Berbeda ketika hak ijbar dimaknai dengan konotasi taklif, maka pemaksaan dalam hak ijbar akan dianggap sebagai penegak hukum karena menegakkan sebuah hukum dalam islam.

Point kedua yang harus digaris bawahi dalam hak ijbar ialah pemaknaan hadist :

“Dari Ibn ‘Abbas RA. Sesungguhnya Nabi SAW. berkata: Janda itu lebih banyak atas dirinya dari pada walinya, sedangkan gadis itu diminta izinnya dan diamnya merupakan izinnya.”

Menurut K.H Husein Muhammad pemaknaan hadist ini bukan seperti yang penulis tuliskan di atas. Dalam hadist ini terdapat analogi qiyas yang mana menyamakan janda dengan seorang perempuan dewasa (al-balighah al-‘aqilah). Karena kedewasaan seseorang memungkinkan untuk mengungkapkan secara eksplisit pendapatnya. Baik dia mau atau tidak dalam melaksanakan pernikahan. Pendapat lain juga menyebutkan bahwa seorang yang telah dewasa dapat melakukan tindakan-tindakan hukum dalam transaksi mu’amalah.

Hal ini memungkinkan seorang wanita dewasa menentukan dan melakukan tindakan tindakannya yang bersangkutan dengan urursan pribadi.Maka dari pemaknaan hadist yang sepeti ini bisa dilihat bahwasanya hak ijbar bukan hanya untuk seorang gadis tapi juga seorang janda. Karena tolak ukur pemaknaan dari hadist di atas adalah “kedewasaan”.  Sehingga baik itu anak gadis ataupun janda ketika belum sampai pada tahap dewasa maka diperbolehkan untuk melakukan hak ijbar terhadapnya.

Baca Juga:  Fikih Berkurban

Penulis juga mengidentifikasi bahwasanya tolak ukur dari hak ijbar adalah baligh. Dimana seorang perempuan yang harus dimintai izin atau boleh menentukan pilihannya adalah seorang perempuan yang sudah baligh. Disini tinggal kita memaknai baligh dari segi apa, dari segi psikologis kah, atau dari segi kedewasaan atau dalam segi biologiskah.

Point yang terakhir adalah bentuk kerelaan dari anak perempuan yang akan dinikahkan. Karena tidak seharusnya dalam hak ijbar tidak disertakan kerelaan seorang anak. Hal ini bisa dilihat dari ketentuam-ketentuan yang Imam Syafi’i paparkan sebelumnya. Bisa jadi, dari ketentuan itu adalah tolak ukur kerelaan perempuan pada zaman beliau. Maka yang harus dilakukan dalam menanggapi persoalan hak ijbar adalah mencari tolak ukur terhadap perempuan pada zaman sekarang.

Menimbang dari tiga hal di atas, menurut penulis hal tersebut bisa menjadi pertimbangan dimana seorang wali memiliki hal ijbar terhadap anaknya yang berstatus janda. Dikarenakan yang menjadi tolak ukur bukan hanya dari status tapi juga beberapa hal yang lebih logis untuk dijadikan patokan. []

Referensi :

  1. ‘abdul ar-rahman al-jazir, Kitab fiqh ‘ala madzhabil ‘arbaah , maktabah syamilah.
  2. Ibnu Al- Mulqin, kitab at-tadzkirah fi fiqh asy- syafi’i li ibn mulqin, maktabah syamilah
  3. Mjmu’ Min Muallifin, Majmu’ syarah muhadzab, maktabah syamilah
  4. Muhammad Ngizzul Muttaqin, Nur Fadhilah, Hak Ijbar Wali Tinjauan Maqashid Syari’ah dan Antropologi Hukum Islam. 2020
  5. Khoiruddin, WALI MUJBIR MENURUT IMAM SYAFI’I (TINJAUAN MAQÂSHID ALSYARÎ’AH)
  6. Syaiful Hidayat, Hak Ijbar Wali Nikah Dalam Kajian Historis Fiqh Syafi’i.
  7. H Husein Muhammad, Fiqh Perempuan,sampangan ;IRCiSoD;cetakan III 2020.
Umami Khamida Di Milinnia
Santri Ma'had Aly Pesantren Maslakul Huda Kajen.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Perempuan