hukum bersiwak

Di tengah dinginnya malam, seorang santri junior dengan pede-nya berkata pada temannya yang akan terlelap tidur. “Tahu gak, hukum bersiwak itu sunah di setiap keadaan,” kata santri tersebut. sementara temannya yang sudah ngantuk berat cuma mengiyakan saja.

Sebut saya namanya Zaid. Seorang santri baru yang begitu haus akan ilmu karena baru belajar ilmu Fikih. Ia begitu pede berkata begitu karena sebelumnya ia telah membaca kitab Ghayah wa A-Taqrib bab siwak. Di situ terdapat keterangan kalau siwak disunahkan setiap saat.

Zaid melanjutkan ceramahnya tentang siwak, “Wah, kita beruntung kalau begitu. Kapan pun bisa bersiwak. Saat mau tidur bersiwak, saat mau ngaji bersiwak, saat…” Dan itu pun berlanjut sampai teman Zaid itu tertidur. Tentu ini masih merupakan kesimpulan mendasar. Toh, yang dibaca Zaid masih satu baris kitab tersebut.

Hal ini membuat dua orang santri senior yang biasa dipanggil Cak Nan dan Kang Hamim menghampiri si Zaid. Karena mereka mendengar pernyataan yang bagi santri senior sekelas mereka tak cocok. “Hei kamu,” kata Cak Nan mengagetkan. Zaid pun menoleh. Tanpa basa-basi Cak Nan mengeluarkan unek-uneknya kepada si Zaid, santri junior yang polos.

“Begini, betul memang hukum dasar bersiwak itu sunah. Dalam kitab Ianatu Ath-Thalibin sudah jelas menyebutkan hadis nabi yang bunyinya,

لولا ان اشق على امتي لامرتكم بالسواك مع كل وضوء

Kalau tidak tahu artinyi nih aku terjemah, ‘Andaikata aku tidak memberatkan pada umatku, maka niscaya aku perintahkan mereka untuk bersiwak tiap kali berwudu.’”

Zaid yang merasa bingung lantas menyanggah, “Benar toh, cak. Siwak disunahkan, kan?”

“Oh, santuy. Keteranganku belum selesai,” sangkal Cak Nan. Kang Hamim yang menemani hanya mantuk-mantuk kayak orang ngantuk. Cak nan melanjutkan, “Meski hukum dasar siwak sunah, masih ada hukum lain di berbagai kesempatan. Kalau saya total, ada empat hukumdalam bersiwak. Pertama, sunah. Seperti keterangan yang sudah maklum adanya.

Kedua, wajib. Hukum ini berlaku kalau di mulut ada najis yang hanya bisa dihilangkan ganya dengan bersiwak. Saya tekankan, hanya bisa hidang dengan bersiwak. Atau pula, ketika bau mulut begitu tak sedap. Apalagi bau tersebut bisa mengganggu kekhusyukan orang shalat. Itu yang membuat hukum siwak yang awalnya sunah menjadi wajib.

Ketiga, makruh. Ini yang belum kamui baca, kawan. Ngomong-ngomong siapa namamu?”

“Namaku Zaid, Cak,” jawab Zaid yang dari tadi menyimak.

“Oh, Zaid. Nah, saya yakin kamu belum membaca lanjutan kjalimat di kitab Taqrib-mu. Di sana sudah dijelakan makruhnya bersiwak mulai masuk waktu Zuhur bagi orang yang berpuasa. Yang terakhir, hukum haram. Yaitu, saat siwak yang digunakan bulan milik sendiri, atau bisa dikata barang ghasab. Begitu, Zaid.” Cak Nan pun menyudahi keterangannya.

Sebelum Zaid angkat bicara, Kang Hamim yang dari tadi diam saja tiba-tiba nyeletuk. “Lho, kok Cuma empat? Hukum Islam kan ada lima, Cak Nan. Lha yang mubah mana?” kata Kang Hamim seakan mengkritisi. Namun di hati kecilnya ia ingin mengetes Cak Nan seberapa dalam pemahaman Cak Nan.

“Ini, nih kalau kuliah Ma’had Aly tidur aja. Minggu kemarin kan sudah dipelajari sebuah kaidah Fikih,

ما كان اصله الندب لا تأتي الاباحة فيه

Baca Juga:  PCNU Kota Malang Gelar Halaqah Fikih Peradaban dan Pengukuhan Tiga Lembaga

Sesuatu yang hukum asalnya sunah, maka tidak berlaku hukum mubah di dalamnya. Siwak kan hukum asalnya sunah, maka tak ada hukum mubah yang menyertainya. Gimana, ingat?” ujar Cak Nan kembali menjelaskan.

“Ingat, ingat. Aku kan tadi cuma mengetesmu apa ingat pelajaran kaidah,” kata Kang Hamim dengan muka agak rontok. Cak Nan yang dikiranya tak tahu jawabannya malah membalas dengan pengaplikasian kaidah.

Zaid terus gimana keadaannya? Karena bingung dan tak paham keterangan yang dibahas Cak Nan dan Kang Hamim, Zaid dari tadi hanya bisa melongo hampa. Ups. [HW]

Muhammad Miqdadul Anam
Mahasantri Ma'had Aly An-Nur II Al-Murtadlo

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini