Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh merupakan seorang kiai yang ‘alim dan faqih dalam berbagai disiplin ilmu. Kiai Sahal panggilan akrab beliau juga merupakan salah satu fukaha abad kontemporer yang diakui oleh berbagai kalangan atas penguasaan ilmu fikih dan ushul fikihnya. Hal ini terbukti dengan produk pemikirannya yang terkenal dengan istilah fikih sosial. Berkat sumbangsih dan kontribusi di masyarakat melalui fikih sosialnya. Kiai Sahal mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dari kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam bidang fikih dan pengembangan pesantren.

Lahirnya fikih sosial ini tidak lepas dari kegelisahan Kiai Sahal dalam melihat fenomena sosial di lingkungan masyarakat Kajen Pati kala itu. Kiai Sahal melihat ada ketimpangan sosial baik di bidang pendidikan, ekonomi, kesehatan, maupun dalam bidang sosial lainnya.

Dari beberapa persoalan yang ada di lingkungan tersebut, Kiai Sahal terpanggil untuk membantu mengurangi bentuk-bentuk ketimpangan sosial yang ada di desa beliau tempati. Dengan berbekal kekayaan ilmu yang Kiai Sahal miliki, yakni ilmu fikih. Kiai Sahal yakin bahwa melalui fikih dari bentuk teks dikontekstualisasikan akan mampu menjawab problematika sosial di lingkungan masyarakat.

Dalam mindset pemikiran Kiai Sahal, fikih adalah instrumen agama yang dijadikan untuk menegakkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat serta sebagai pemecah problematika kemasyarakatan yang kompleks, mulai dari masalah agama, ekonomi, sosial, politik, pendidikan, kesehatan, kebudayaan dan sampai masalah ketatanegaraan.

Fikih sosial Kiai Sahal didasarkan pada paradigma dalam konteks pemecahan dan pemenuhan tiga jenis kebutuhan manusia yaitu kebutuhan primer, kebutuhan sekunder, dan kebutuhan suplementer.

Selain itu, Kiai Sahal memandang, bahwa fikih selama ini dipahami dari banyak kalangan sebagai bentuk teks formal dan legal. Sehingga fikih sering mengalami kesan tidak menyentuh problematika kemasyarakatan yang butuh akan hukum agama. Oleh karena itu, Kiai Sahal ingin menjadikan fikih sebagai etika sosial yang memecahkan berbagai masalah sosial kemasyarakatan berdasarkan nilai-nilai agama, sehingga tidak tercerabut dari unsur ilahi atau samawinya.

Sedangkan secara metodologis fikih sosial dapat dilakukan dengan mengintegrasikan hikmah hukum ke dalam ‘ilat hukum dan mengintegrasikan pola pemahaman qiyasi murni dengan pola pemahaman yang berorientasi pada maqashidus syari’ah.

Kiai Sahal dalam fikih sosialnya menempuh metode kontekstualisasi kitab kuning melalui pengembangan bermazhab secara qauli dan manhaji. Dalam hal ini, kitab kuning dianggap sebagai hukum positif yang dapat menghakimi segala permasalahan. Dengan kata lain fikih disejajarkan dengan Alquran dan Hadis. Menurutnya, perlu diadakannya kontekstualisasi kitab kuning dengan kemauan membuka diri terhadap berbagai disiplin ilmu di luar apa yang selama ini dianggap sebagai ilmu agama, yaitu ilmu eksakta maupun ilmu sosial. Hal ini perlu dilakukan agar pemahaman terhadap kitab kuning benar-benar sesuai dengan konteksnya, baik konteks masa lalu saat kitab kuning ditulis, maupun konteks permasalahan sekarang.

Baca Juga:  Keramat Kiai Sahal

Kontekstualisasi kitab kuning melalui pengembangan secara qauli (tekstual) bisa dilakukan dengan cara memperluas penggunaan kaidah-kaidah fiqhiyah maupun kaidah ushuliyah untuk digunakan bukan hanya dalam persoalan fikih individual yang mengangkat halal dan haram, tapi juga untuk memecahkan berbagai persoalan publik yang menyangkut tentang persoalan, kemiskinan, pendidikan, keterbelakangan, kesehatan, maupun lingkungan.

Dalam hal ini, untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, masyarakat perlu dibantu dalam pemenuhan sarana yang dibutuhkannya. Salah satu bentuk sarana yang paling dibutuhkan masyarakat adalah modal usaha, tetapi modal usaha saja juga tidak cukup, sehingga masyarakat perlu dibekali dengan bagaimana cara mengoperasionalkan modal usaha tersebut agar bisa menghasilkan nilai tambah. Karena itulah Kiai Sahal menggagas zakat sebagai potensi ekonomi umat untuk meningkatkan derajat kehidupan masyarakat dengan memberikannya sebagai modal usaha.

Dalam gagasannya ini, tampak bahwa ketika Kiai Sahal berbicara tentang hukum fikih, ia tidak berhenti pada penetapan hukumnya saja, melainkan justru berbicara banyak tentang keberlanjutan dari penetapan hukum itu. Dalam konteks zakat, Kiai Sahal terlebih dahulu mengintrodusir masalah kemiskinan dan kebodohan yang diidentifikasinya sebagai sebab dari keterbelakangan umat kemudian. Kiai Sahal berfikir bagaimana potensi yang dimiliki umat ini dapat membantu kemajuan umat dan kemudian ia berbicara teknis operasionalnya.

Dengan demikian, yang coba dilakukan oleh Kiai Sahal adalah mengembangkan konsep fikih dengan pendekatan maqâshid syarî’ah dengan tujuan pencapaian mashlahah. Kiai Sahal membuat semacam skala prioritas dalam usaha meningkatkan derajat kehidupan masyarakat melalui pengelolaan zakat yang lebih konseptual dan berkesinambungan. Sehingga harapannya kedepan masyarakat bisa mandiri, berdaya, dan sejahtera. [HW]

siswanto
Alumnus Interdisclipinary Islamic Studies UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan dosen IAIN Salatiga

    Rekomendasi

    2 Comments

    1. […] Kiai Sahal Mahfudh fikih sosial merupakan manifestasi dari aktualisasi dan kontekstualisasi. Disebut aktualisasi karena fikih […]

    2. […] tidak pada orang-orang tidak terlalu membutuhkan (salah sasaran), maka dalam buku Nuansa Fikih Sosial kiai Sahal Mahfudh menjelaskan bahwa di perlukan adanya suatu pelembagaan dalam penyaluran zakat sebagai bentuk […]

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini