dicari santri jagal sapi

Salah satu yang saya sukai adalah mencuri-dengar ayah saya berkumpul ngobrol dengan tamu di ruang depan atau telponan dan rapat virtual jika di masa covid ini. Selain banyak kasus yang bisa saya dengarkan lalu nantinya akan dijelaskan juga oleh ayah, sering juga ada peristiwa-peristiwa yang membuat saya tertawa.

Ayah sedang melakukan rapat daring persiapan penyembelihan hewan kurban Idul Adha di masjid universitas dan saya sedang asik menguleni adonan nugget ikan di dekat beliau, ketika terdengar salah satu Pak takmir masjid menyuarakan keprihatinan.

“Begini Abah, kita belum dapat jagal untuk mengurusi merobohkan sapinya, pripun?”

“Ini sudah H-2 bisa jadi jagal yang kita pakai tahun kemarin sudah diorder orang.” satu suara berujar dengan nada pesimis.

“Kita kan hari sabtu pelaksanaannya. Nanti nyembelih juga dengan SOP kita, tolong siapa yang masih simpan kontaknya, dihubungi… ” Yang lain menimpali sebelum ayahku berdehem.

“Ngapunten, jika boleh usul… tidak perlulah kita manggil tukang jagal jika masalahnya hanya cara merobohkan hewan kurban. Biaya jagalnya nanti biarlah untuk mas-mas saja, gimana mas X?” Ayah angkat suara.

Terdengar suara grogi.
“Ngapunten, Bah, jika saya sih insya Allah saget bantu kemarin itu sapinya lari semua ikut terbirit-birit. kados Pak A dan mas B niki, jangankan megangi, disapa emhooo gitu mawon pun mlayu!”

Tawa keras terdengar. Dua yang terkeras kurasa empunya nama yang disebut. Ayahku ikut tergelak-gelak.

“Insya Allah nanti saya yang tanggung jawab. Tidak perlu cari jagal. Sekalian juga ini ikhtiyar kita, kan idul adha kemarin saya juga di tanah suci. tahun sebelumnya saat mengadakan pelatihan fikih dhabihah untuk pengurus, praktiknya yang belum terlaksana. Saya contohkan! Sekalian nanti jika mas-mas bisa, kan buat ngajari mahasantri.”

Baca Juga:  Croissant: Hari-Hari Pertama menjadi Mahasiswa Jamiah Abu Nur

Ketika abahku mengakhiri rapat beberapa menit kemudian, beliau masih tersenyum sambil menggelengkan kepala heran.

“Lha iyo, nyeluk jagal cuma untuk ngerubuhno dan tetap nanti pengurus yang nyembelih. Padahal ada Pak M juga yang minggu lalu kami sudah diskusi cara terbaik ngurusi sapi. Itu jagalnya iso-iso gak enak yoan, tapi jagal itu banyak yang praktiknya ndak sesuai syariat.”

Mengingat-ingat materi fikih dhabihah yang pernah kubaca, Secara umum syarat-syarat penyembelihan yang wajib dipenuhi bagi kehalalan mengkonsumsi daging hewan sembelihan adalah berkaitan dengan penyembelih, alat sembelihan, anggota tubuh yang harus disembelih, dan tata cara penyembelihan.

Memang dimasyarakat kerap ditemui jagal yang -memang sudah membaca bismillah, tapi tata cara penyembelihannya justru menyakiti hewan. Pernah juga ada cerita yang saking kuatnya personil penyembelihan, hewan tersebut mati sebelum jalan nafas & jalan makanannya terpotong sempurna.

“Nyembelih yang bener itu tidak cuma butuh pengetahuan tentang fikih dhabihah, tapi juga hati yang mantap dan tahu triknya.”

“Nyembelih ada triknya? Mboten ada di kitab berarti?”

“Ndak semua hal ada di kitab. Contohnya trik agar dagingnya ndak bau.” Abahku serius menerangkan. “Jadi kambing atau sapinya itu pas wes dimiringno, dielus-elus biar tenang, inikan wujud perintah faahsinuu dhabatahu. Nah perhatikan juga saat narik nafas. Ketika nafas keluar, sebelum nafas masuk lagi segera jles! Sembelih dua jalan tenggorokan dan kerongkongannya. Kalau ndak gitu lebus,”

Aku manggut-manggut separuh paham.

Meski begitu, ingatanku masih melayang pada cerita takmir masjid yang ngadepi sapi saja ndak berani. Aku masih merasa geli.

Disebutkan di Fikih sunnah 13 hal 132: Dalam penyembelihan diwajibkan bahwa penyembelih adalah orang yang berakal. Tidak peduli seorang pria atau seorang wanita, baik muslim atau ahli kitab. Nah masak iya perlu sentuhan kaum wanita juga?

Baca Juga:  Sanadan Milenial (Transmisi Keilmuan Modern)

Aku teringat Bu Masriyah, wakil ibu di Muslimat. Konon beliau fasih sekali nyembelih ayam sendiri, tanpa menunggu suami. Cuma belum pernah dengar beliau menyembelih kambing atau sapi.

“Lha iyo, sapi wae kok gak wani. Pinter-pinter semua padahal yo akeh sing santri.”

“Kebanyakan ngadepi kitab lan buku. Teori thok isinya. Makanya akhire ora ngerti carane njegal sapi.”

Aih, aih… kang santri sekarang sepertinya banyak yang berani njegal teman sendiri, nembung duluan ke orang tua wanita yang sama-sama dikasihi.
Masak iya, calon mertua kalah nakutin dengan hewan kurban?

Ketemu bapake doi berani sanjang ‘sungguh aku padamu’, tapi menghadapi sapi ambil langkah seribu. [HW]

Aida Mudjib
Santriwati, Penulis Antologi Sahabat Inspirasi dan Aktivis PwD

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Santri