curhat ke medsos menyoal ruang privat ke publik

Ada-ada saja kelakuan aneh manusia, curhat kok ke media sosial, apalagi curhatnya sampai ke persoalan yang privat. Curhat kan bisa ke orang-orang terdekat atau sekalian saja langsung ke Tuhan. Lagian curhat di media sosial tidak akan menyelesaikan masalah, dan justru akan memperkeruh suasana. Biasanya teman-teman di media sosial tidak sepenuhnya peduli terhadap persoalan kita, akan tetapi mereka hanya sekedar kepo.

Akhir-akhir ini, jagat hiburan tanah air tengah diramaikan oleh perseteruan yang terjadi antara Krisdayanti dan kedua anaknya yang bernama Aurel & Azriel. Konflik ini kian memanas, ketika suami dari Krisdayanti, yakni Raul Lemos ikut meramaikan perseteruan ini. Mereka acapkali melontarkan sindirian lewat media sosial Instagram. Sebelumnya, ada lagi kasus Shafa Harris yang mendadak tenar karena perseteruan dengan Jeniffer Dunn. Singkatnya, Shafa melabrak Jennifer Dunn, sang ‘pelakor’ yang diduga menjadi perusak hubungan rumah tangga dari kedua orang tuanya. Kemudian Shafa mencurahkan perasaan tersebut di media sosial. Akibat dari curhatan para artis ini , muncul berbagai respons dari masyarakat, ada yang simpati dan adapula yang justru menerima komentar pedas dari masyarakat karena memilih curhat di media sosial. Pertanyaannya kemudian adalah mengapa media sosial seakan menjadi pilihan masyarakat dalam menyampaikan keluh kesahnya dan ketika fenomena ini menjadi kian ramai, bagaimana kita perlu menyikapinya ?

Di zaman yang semakin maju, kehadiran internet dengan interaktivitas dan konektivitas yang tinggi sering dianggap sebagai penyebab semakin berkembangnya penggunaan media sosial. Di Indonesia sendiri ada 160 juta pengguna aktif media sosial (medsos). Bila dibandingkan dengan 2019 lalu, maka terdapat peningkatan 10 juta orang Indonesia yang aktif di medsos. Adapun medsos yang paling banyak digunakan di Indonesia adalah YouTube, kemudian di ikuti oleh WhatsApp, Facebook, Instagram, dan sebagainya. (We are Social dan Hootsuite, 2020). Belakangan ini, media sosial seakan menjadi kebutuhan primer bagi sebagian besar masyarakat saat ini. Sehari saja tak eksis di media sosial, seperti ada yang kurang di dalam hidup. Hal ini dapat dipahami karena media sosial telah membawa bentuk baru dalam berkomunikasi, hal yang membuat seseorang dapat mengetahui segala informasi di dunia dengan sangat cepat dan mudah. Selain itu, media sosial kerap kali menawarkan berbagai kemudahan mulai dari mempromosikan suatu barang, menyalurkan hobi, berbelanja, dan sebagainya. Tak mengherankan, jika media sosial menjadi pilihan utama untuk menghabiskan waktu ketimbang berinteraksi tatap muka dengan orang lain.

Baca Juga:  Dorong Santri Kuasai Media, DINUN Adakan Pelatihan Konten dan Videografis

Namun berbagai kelebihan yang ditawarkan, ternyata banyak orang yang tidak memanfaatkan fungsi media sosial dengan baik. Alhasil, mereka menggunakan media sosial sebagai alat untuk menyampaikan keluh kesahnya. Bahkan untuk persoalan yang privat sekalipun. Fenomena ini dapat dilihat sebagai efek dari lingkungan sosial yang kian terbatas dan ikatan emosional yang rendah, hal ini menimbulkan perubahan dalam pola interaksi masyarakat. Hal ini biasanya dialami oleh seseorang yang berada pada lingkungan yang super sibuk, sehingga mereka seakan merasa bahwa tidak ada lagi seseorang yang dapat dijadikan tempat untuk bercerita. Terlebih, adanya ilusi yang menganggap dengan mem-posting curhatan di media sosial, maka mereka seakan mendapatkan perhatian dari banyak orang.

Bila melihat fenomena ini dapat dilihat sebagai hilangnya ruang publik (Ekstasi Komunikasi), sebuah istilah yang dikemukakan oleh Jean Baudrilliard. Lebih lanjut, ekstasi komunikasi diartikan sebagai bentuk komunikasi yang menghilangkan batas antara bagian privat dan publik, sehingga persoalan apapun tidak lagi menjadi rahasia. Ekstasi komunikasi menciptakan dunia baru yang benar-benar kelewat batas, segala sesuatu ditampilkan, dipertontonkan, dan dikomunikasikan secara terang-terangan melalui media sosial. Hal ini menjadi kian parah apabila telah menjadi budaya dalam masyarakat yang berujung pada berakhirnya kehidupan sosial. Singkatnya, seseorang telah terperangkap oleh kemajuan teknologi sehingga mereka cenderung memilih menceritakan keluh kesuh mereka di media sosial ketimbang bercerita kepada orang terdekat, seperti teman, orang tua, dan saudara. Yang mereka lakukan hanya menjadikan media sosial sebagai satu-satunya cara untuk menyampaikan kondisi hati.

Melihat hal ini, sudah sepatutnya kita menggunakan media sosial hanya untuk keperluan yang positif. Bisa digunakan untuk mencari hiburan, menjalani bisnis, mengembangkan hobi dan kreativitas, hal ini dilakukan semata-mata agar kita memperoleh dampak positif dari perkembangan media sosial yang kian hari makin tak terbendung. Kita harus lebih berhati-hati dalam mencurahkan perasaan emosional kita di media sosial. Siapapun pasti pernah mengalami perasaan sedih dan disaat itupula kita membutuhkan seseorang untuk mendengarkan segala kesedihan yang menimpa kita. Namun bijakkah, ketika persoalan privat itu sepenuhnya kita tuangkan di media sosial. Dalam hal ini, kita seakan mempertontonkan kesedihan kepada orang banyak yang belum tentu dikenal dan peduli terhadap persoalan kita. Di sinilah kita dituntut untuk memikirkan hal ini lebih jauh, dengan cara memfilter hal-hal apa saja yang sekiranya perlu dan hal apa saja yang seharusnya tidak perlu dituangkan pada media sosial. [HW]

Ade Prasetia Cahyadi
Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi Universitas Gadjah Mada

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini