“Allah menjadikan untuk kamu rumah rumah sebagai tempat ketenangan” – (QS. An-Nahl: 80).
“The most important thing in the world is family and love.” – John Wooden
Covid 19 kini semakin merajalela di seluruh dunia, karena sudah menjangkau lebih dari 200 negara. Walau di sejumlah negara mulai menurun angka penderitanya, misalnya China, Korsel, dan Vietnam. Tindakan kuratif dan preventif terus digencarkan, sehingga tidak menimbulkan ketakutan dunia yang semakin kuat. Salah satu tindakan preventif yang paling efektif dan strategis adalah Social and Physical Distancing. Yang salah satunya adalah stay at home.
Stay at Home memungkinkan dapat melakukan konsolidasi keluarga. Ini sangatlah penting bagi upaya memantapkan keutuhan keluarga. Walaupun kita merasa sedih dan tertekan hidup dalam kesehariannya, karena ritme hidup kita tidak seperti biasanya. Biasanya warna warni hidup di rumah dan di kantor membuat hidup itu dinamis, karena ada suasana saling mengisi energi. Kini kita “dipaksa” oleh sistem untuk bekerja dan berartivitas lainnya di rumah dengan melakukan berbagai modifikasi untuk tetap bergairah dalam bekerja dan beraktivitas secara produktif dalam batas tertentu.
Dengan kehadiran Covid-19, sebenarnya memiliki nilai positif bagi tegaknya institusi keluarga inti (nuclear family), namun tidak otomatis bagi tegaknya keluarga besar (extended family). Sangat bernilai positif, karena Covid-19 membuat suami dan isteri serta anak di siang hari, sebagian besar waktunya untuk bekerja dan beraktivitas di rumahh. Sementara itu sebelumnya kita selalu sibuk sendiri-sendiri. Dengan begitu keluarga bisa saling support dan sharing dengan waktu yang cukup. Bisa tingkatkan kualitas hubungan keluarga. Bisa sholat berjamaah dan “nderes Al Qur-an”. Bisa makan bersama-sama. Bisa nonton TV bersama dan saling tukar ide dan pengalaman. Bisa saling cerita kesibukannya di luar rumah. Bisa memantau lebih intens kegiatan anak. Walau WFH, tetap masih ada jeda waktu untuk berinteraksi.
Peluang yang baik untuk mensolidkan keluarga ini bisa juga tidak bisa diraih dan dirasakan jika manajemen waktu kurang baik. Bisa terjadi bahwa semua orangtua dan anak di rumah, tetapi mereka sibuk masing-masing dengan tugas dan tanggung jawabnya. Apalagi orangtuanya sibuk dengan kerja pakai online. Demikian juga anak-anak sibuk dengan e-learning-nya. Kondisi yang demikian tidak akan berarti banyak untuk memantapkan keutuhan dan kesolidan keluarga. Justru bisa jadi memperkuat ego masing-masing yang tidak bernilai positif untuk perbaiki kecakapan sosial. Atmosfir keluarga yang demikian harus benar-benar dihindari, sehingga kita hidup tidak sia-sia.
Covid-19 secara potensial kurang berkontribusi positif untik terbangunnya keutuhan keluarga besar. Karena ada himbauan dari banyak unsur, pemerintah dan organisasi sosial keagamaan dan sebagainya untuk tidak mudik di saat lebaran nanti. Di samping banyak pemerintah daerah yang menghimbau untuk tidak mudik demi memutus rantai penyebaran Covid-19 demi melindungi semua. Kondisi yang demikian tidak pernah terjadi secara masif di masa-masa sebelumnya. Namun di sisi lain juga masih ada yang mentolerir untuk mudik. Apalagi masyarakat sendiri secara volunter berusaha melindungi wilayahnya masing-masing dengan menutup pintu masuk, jalan atau gang dengan caranya masing-masing. Kondisi demikian membuat upaya untuk “sungkem” orangtua dan sesepuh serta silaturahmi ke kerabat besar terhalang. Akibatnya relasi sosial sedikit terkikis. Padahal, utamanya untuk menjaga keutuhan keluarga besar perlu dan butuh dengan sungkem dan berjabat tangan langsung.
Kondisi empirik seperti yang terungkap tersebut di atas bisa dimaklumi. Tetapi untuk tetap menjaga keutuhan keluarga, sebenarnya di era dewasa sangat terbantu dengan fasilitas digital. Kita bisa memanfaatkan media sosial, dengan berbagai variasi. Bisa dengan WA, Fb, IG, telegram, dan sebagainya. Baik secara tertulis, call maupun videocall. Yang relatif bisa me-replace dan mengkompensasi ketidakhadiran. Namun pemanfaatan instrumen digital tidak sepenuhnya bisa mengganti silaturahmi secara langsung. Hal ini terpaksa dipilih sebagai alternatif solusi untuk mengganti silaturahim demi tetap menjaga keutuhan keluarga besar. Jika ini bisa dilakukan, maka setidak-tidaknya keinginan untuk silaturahim bisa terwujud, di samping bisa mencegah timbulnya penyebaran dan penularan virus yang ganas ini. Ingat bahwa akibat kekuranghati-hatian, dari data sementara, terdapat 677 individu yang terindikasi positif melalui rapid test, sebanyak 226 orang di antaranya merupakan peserta seminar keagamaan Gereja Bethel Indonesia (GBI) di Lembang, Kabupaten Bandung Barat.
Akhirnya kita seharusnya menyadari bahwa Covid-19 ini adalah realitas yang tidak bisa dihindari. Peristiwa yang sangat dahsyat. Mempengaruhi kehidupan dan peradaban manusia. Kondisi darurat membuat para ahli agama melakukan ijtihad. Bagaimana melakukan penyelamatan manusia lebih diutamakan, daripada aspek kehidupan yang lainnya. Social and Physical Distancing dan stay at home menjadi pilihan untuk bekerja, belajar dan beribadah, dan tidak mudik menjadi pilihan untuk liburan panjang Idul Fitri. Semuanya itu menjadi bermakna baik bagi keluarga inti maupun bagi keluarga besar jika disikapi dan dijalani secara kritis dan ikhlas.