Opini

Ma Ramma dan Covid-19

Dalam lagu terbarunya, Corona, Wak Kaji Oma Irama terlihat semakin sepuh. Tapi itu tidak mengurangi kreativitasnya: melahirkan sebuah lagu penanda zaman.

Dasar berjiwa seni tinggi, wak kaji selalui melakukannya: berkarya. Lagu, baginya, bukan hanya hiburan, ekspresi seni, melainkan lebih dari itu: penanda zaman. Cek saja karya-karya wak kaji. Karyanya selalu bermakna, tidak pernah diciptakan dengan iseng. Liriknya sebagian besar filosofis. Jangan heran jika bukan hanya skripsi atau tesis, disertasi pun ada yang mengupas lirik-lirik lagu karyanya. Selebihnya, ada Andrew Weintraub, profesor etnomusikologi dari University of Pittsburg, Amerika Serikat, yang secara khusus membahas kajian Dangdut dan tentu saja kiprah Wak Kaji Oma.

Oke. Anda boleh saja nggak suka dengan gaya bicaranyah yang radah ngebass ituh, tuhh, (lha, kok ngikut?!), atau jejak politiknya yang hampir selalu nggak beruntung, tapi yakinlah, Wak Kaji Oma adalah salah satu musisi terbesar di negeri ini, mungkin juga di dunia. Jejak kebesarannya tampak pada olah kreasinya: dia mencipta lantas menyanyikan karyanya. Lebih 600 lagu dia cipta dan lantunkan. Gila! Satu-satunya yang sanggup menandingi mungkin hanya Lata Mangeshkar dan Asha Boshle, kakak beradik legenda musik India. Tapi, sekadar catatan, dua biduan ini hanya menyanyi, tidak menciptakan dan mengaransemen lagunya yang jumlahnya ratusan itu.

Wak Kaji Oma atau orang kampung saya melafalkan namanya dengan sebutan Maramma dengan intonasi takzim, adalah sang revolusioner di bidang musik. Awalnya di pop, lalu beralih ke musik Dangdut Melayu. Kemudian menggeret melodi gitar ala Led Zeppelin dan Deep Purple ke dalam instrumentalia dangdut gubahan dirinya. Saat itu pula, corak baru musik Indonesia telah lahir. Musik hibrida. Dangdut dengan perpaduan gitar elektrik dan diselingi saksofon. Klop!

Baca Juga:  Ijtihad Ulama Open House dan Close House di Era Covid-19

Tahun 1980-an, Sang Raja menemukan panggungnya. Selain musik, dia merambah film. Rata-rata box office. Dari bioskop hingga tanah lapang alias misbar atau gerimis bubar. Pada titik ini, dangdut mulai berubah lebih elegan dan pada fase yang sama Rhoma memproklamirkan diri sebagai raja. Dia tak tergantikan. Musiknya mengabadi. Di acara resepsi, lagunya ada. Menjelang pengajian umum, suaranya menggetarkan sound sistem, bergantian dengan shalawat. Di dashboard mobil atau di sound bis umum, lagu-lagunya mengalun bergantian dengan shalawat, rock, pop Malaysia dan sebagainya.

Primadona Desa, Bulan Bintang, Bahtera Cinta, Wahai Pesona, Bimbang, Wahai Pesona dan Melodi Cinta, bagi saya adalah di antara puncak mahakaryanya. Selevel dengan Don’t Cry, November Rain, Estranged-nya G n R. Petikan gitar melengking dalam Bulan Bintang seenak petikan James Hetfield waktu menggesek lagu Sanatorium dan One versi orkestra waktu tampil di California. Mardhatillah, Keramat, dan Sebujur Bangkai adalah yang terbaik dalam soal lirik. Dan, soal gaya menggesek gitar gundul, bolehlah Wak Kaji Rhoma disejajarkan gaya Ian Antono, James Hetfield, Brian May, Jimmy Page, atau Ritchie Blackmore, mungkin. Tenang, percaya diri, menjiwai, dan tidak “kemresek”. Setuju atau tidak, ya monggo. Yang penting enak dinikmati.

Ketika dua bulan silam Indosiar mempertemukan Wak Kaji Oma dengan Iwan Fals, sang legenda lain dalam sebuah konser, rasanya sudah waktunya mikir, setelah keduanya tiada, siapa pelanjutnya? Sudah gaek, semua. Dan, tampaknya memang tidak ada yang bisa menggantikan keduanya. Bang Haji dan Bang Iwan. Dua Bang terkenal selain Bang Napi di RCTI itu.

Akhirnya, melihat wajah Wak Kaji Oma yang kian tampak sepuh, rasanya melihat gambaran konsistensi dan khidmah yang dia lakukan selama kurun waktu hampir 50 tahun di blantika musik Indonesia. Dia bukan hanya berpengaruh pada selera dangdut khalayak ramai, tapi juga memberi pengaruh besar pada keberadaan para pemusik nasional maupun dangdut strata bawah. Para pemusik bawah banyak menyanyikan lagu-lagu nya dalam konser level organ tunggal. Para pedangdut cewek koplo juga nyaris menyanyikan semua lagu Wak Kaji Oma kecuali yang berjudul ini: Buah Duri Neraka, Salehah, Hari Kiamat, Hari Berbangkit, La Ilaha Illallah, Shalawat Badar, Thala’al Badru Alaina, dan lagu-lagu religi lain. Mustahil nyanyi lagu lagu ini sambil njoget ngebor.

Baca Juga:  Fatwa Ulama Al Azhar Menyikapi Corona

Dan, jangan lupa, para epigonnya meniru Rhoma nyaris setiap incinya: suaranya, rambut, janggut, nada bicara dan penampilannya. Bahkan, ada grup musik The Rhompal alias Rhoma Palsu yang personilnya menjadi epigon sang raja dangdut itu. Tapi satu hal yang tidak bisa dijiplak dari sang raja: seleranya terhadap kaum hawa. Di sini, setuju atau tidak, dia adalah cassanova. Hahaha. Ini revolusi yang terjadi dan berpengaruh besar pada jagat permusikan sampai hari ini.

Rijal Mumazziq Zionis
Pecinta Buku, Rektor INAIFAS Kencong Jember, Ketua LTN NU Kota Surabaya

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini