Jejak Khilafah di Nusantara

Wacana tentang khilafah atau negara Islam memang tidak henti-hentinya disuarakan dan diperjuangkan oleh para aktivis pengusung khilafah di Indonesia. Kendati HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) sebagai promotor pendirian khilafah (negara Islam) telah lama ‘dikubur’, namun ideologi dan embrionya masih saja hidup ‘gentayangan’. Kini, wacana khilafah kembali menjadi isu yang ‘seksi’ lewat film dokumenter Jejak Khilafah di Nusantara.

Film yang lahir dari tangan Nicko Pandawa ini telah menggiring kesadaran publik maya untuk mengakui bahwa tanah Nusantara semula menganut sistem khilafah islamiyah. Sejak ‘jejak khilafah’ tayang via media virtual, desas-desus khilafah kian deras digunjingkan. Dari saking viralnya, dalam hitungan jam film Jejak Khilafah di Nusantara telah merebut simpati para netizen. Ini menjadi satu tesis bahwa masyarakat Indonesia mulai tertarik terhadap khilafah.

Mengapa mereka ngebet banget ingin mendirikan khilafah? Jika kita ‘nebeng’ kepada perkataan Syafi’i Ma’arif, alasannya ialah karena mereka ingin tampil beda dalam sistem politik dengan dunia Barat yang serba sekuler. Hal ini, disebabkan oleh trauma sejarah bahwa negara Barat selama menguasai negara muslim (Indonesia) telah ‘mengusir’ tuhan dari kehidupan dunia.

Jadi tak heran, bila aktivis khilafah kini berani membalikkan fakta sejarah bahwa Indonesia mulanya menganut sistem khilafah pada masa kerajaan Islam pertama di Nusantara; Kerajaan Demak yang dirintis oleh Raden Fatah berhubungan erat dengan Turki Usmani. Dengan demikian, mereka mempunyai landasan historis untuk merubah sistem negara yang mereka anggap sekuler, menjadi sistem khilafah.

Jika demikian, lantas bagaimana jadinya jika Indonesia dirubah menjadi daulah islamiyah dan asas tunggal pancasila pun diganti dengan sistem khilafah?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, ada baiknya kita review pemikiran kiai As’ad (pengasuh kedua pondok pesantren Syalafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo) menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara. KHR. As’ad Syamsul Arifin sebagai ulama yang nasionalis paham betul teori positioning, menempatkan diri dengan tepat. Kapan ia harus menjadi ulama yang harus beragama dengan total dan kapan ia harus menjadi negarawan yang bernegara dengan penuh.

Baca Juga:  Para "al-Ghazali Kecil" di Nusantara

Dengan begini, kendati sebagai tokoh agama ternama, beliau tidak lantas ia mengusung khilafah islamiyah sebagai asas negara. Namun, beliau mengamini pancasila sebagai dasar negara yang final. Perihal ini, beliau menegaskan bahwa “Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Indonesia, harus ditaati, harus diamalkan, harus dipertahankan dan harus dijaga kelestariannya.

Dengan memandang patutnya kiai As’ad agar pancasila dipertahankan, menunjukan bahwa beliau amat tidak setuju bila Indonesia diubah menjadi daulah Islamiyah. Sebab, jika Indonesia dialihkan menjadi negara Islam, niscaya pancasila bakal dihapus sebagai asas negara. Inilah yang tak dikehendaki oleh kiai As’ad, sebab menurut beliau pancasila adalah konsensus ulama (mujtama alaih) yang wajib dijaga oleh umat Islam Indonesia.

Bagi kiai As’ad, Indonesia tidak perlu menjadi negara Islam. Sebab keduanya tidaklah berbeda, senyampang mampu menjalankan syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apalagi, pancasila sebagai falsafah negara sealur dengan nilai-nilai ajaran agama. Dengan demikian, pancasila bakal menjadi potret ‘piagam madinah’ di zaman modern.

Walakhir, ideologi khilafah ternyata masih eksis dan diminati oleh banyak kalangan. Munculnya film jejak khilafah sebagai salah satu bukti gerakan propaganda khilafah di Indonesia masih berjalan sekalipun wadah organisasinya (HTI) sudah dibekukan pemerintah. Padahal, jika mengacu pada bingkai pemikiran kiai As’ad di atas, Indonesia dengan berasaskan pancasila merupakan suatu hal yang sudah final. Wallahu a’lam bisshawab. [HW]

Ibnu Hajar
Mahasiswa Ma'had Aly Salafiyah Syafi'iyah Situbondo

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini