Berbohong dalam Agama termasuk perbuatan yang tercela. Oleh sebab itulah, berbohong oleh syariat dihukumi haram. Bahkan menurut Imam Ar-Razi dalam kitab tafsirnya Mafatihu Al-Gaib mengatakan, berbohong termasuk perbuatan yang paling keji dan termasuk dosa besar. Karena kebohongan hanyalah perbuatan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah. Sebagaimana firman Allah dalam surah an-Nahl ayat 105;
إِنَّمَا يَفْتَرِي الْكَذِبَ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْكَاذِبُونَ (105) [النحل: 105]
Artinya,“Sesungguhnya yang mengada-ngada kebohongan, hanyalah orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat allah, dan mereka itulah pembohong.” [QS: an-Nahl: (105)]
Kebohongan juga termasuk perbuatannya orang-orang munafik. Abu Hurairah pernah meriwayatkan sabda Nabi yang disebutkan dalam kitab Syarah Shahih Bukhari li Ibni Batthal bahwa Nabi pernah bersabda;
وعن أبي هُرَيْرَةَ: قَالَ: قَالَ النَّبِىّ (صلى الله عليه وسلم) :آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
Dari Abi Hurairah berkata: “Nabi pernah bersabda: tanda-tanda orang munafik ada tiga. Jika berbicara berdusta, bila berjanji ingkar janji dan bila dipercaya berkhianat.”
Dari Al-Qur’an dan Hadits tentang orang-orang yang berbohong, lalu Ulama menyimpulkan bahwa berbohong hukumnya haram. Akan tetapi, ada beberapa kondisi dibolehkan untuk berbohong atau bahkan wajib berbohong. Imam Nawawi dalam kitabnya Riyadu al-Shalihin memberikan standarisasi tentang situasi kapan diharamkan berbohong dan kapan boleh atau bahkan wajib berbohong;
أنَّ الكلامَ وَسيلَةٌ إِلَى المَقَاصِدِ، فَكُلُّ مَقْصُودٍ مَحْمُودٍ يُمْكِنُ تَحْصِيلُهُ بِغَيْرِ الكَذِبِ يَحْرُمُ الكَذِبُ فِيهِ، وإنْ لَمْ يُمْكِنْ تَحْصِيلُهُ إِلاَّ بالكَذِبِ، جازَ الكَذِبُ. ثُمَّ إنْ كَانَ تَحْصِيلُ ذَلِكَ المَقْصُودِ مُبَاحاً كَانَ الكَذِبُ مُبَاحاً، وإنْ كَانَ وَاجِباً، كَانَ الكَذِبُ وَاجِباً
“Perkataan adalah wasilah yang mengantarkan pada tujuan-tujuan. Oleh karena itu, setiap tujuan yang baik dan mungkin dicapai tanpa berbohong maka haram hukumnya berbohong.akan tetapi, jika tidak mungkin dicapai tanpa kebohongan maka hukum berbohong hukumnya berbohong mubah jika mencapai tujuan tersebut juga bersifat mubah. Demikian pula hukumnya berbohong menjadi wajib kalau mencapai tujuannya juga wajib.”
Dengan demikian, seseorang wajib berbohong jika seandainya ditanya oleh orang zalim yang mengejar-ngejar korbannya, dan orang yang ditanya itu mengetahui perihal korban yang sedang bersembunyi. Hal ini, karena menjaga nyawa si korban dari orang yang zalim. Sementara memelihara nyawa tersebut hukumnya wajib. Bahkan seandainya orang yang ditanya itu di suruh bersumpah oleh orang yang zalim maka ia wajib bersumpah.
Akan tetapi, meskipun dalam kodisi seperti itu dibolehkan atau bahkan wajib berbohong namun menurut pendapat ulama; yang lebih hati-hati seseorang tersebut melakukan tauriah (menggunakan lafal yang ambigu, lafal yang memiliki makna dekat dan jauh sementara yang dimaksud adalah makna jauhnya.) Imam Nawawi dalam kitab Riyadu al-Shalihin mendefinisikan Tauriah sebagai berikut;
ومعْنَى التَّوْرِيَةِ: أنْ يَقْصِدَ بِعِبَارَتِهِ مَقْصُوداً صَحيحاً لَيْسَ هُوَ كَاذِباً بالنِّسْبَةِ إِلَيْهِ، وإنْ كَانَ كَاذِباً في ظَاهِرِ اللَّفْظِ، وبالنِّسْبَةِ إِلَى مَا يَفْهَمُهُ المُخَاطَبُ
“Pengertian tauriah adalah seseorang menggunakan lafal dengan tujuan yang benar dari lafal itu dan tidak dinilai bohong meskipun secara makna zahirnya (dekatnya) lafal tersebut dia berbohong, atau bohong kalau di nisbatkan kepada pengertian yang dipahami oleh lawan bicara (dari lafal yang digunakan si pembicara karena yang dimaksud adalah makna jauhnya sementara si lawan bicara memahami makna dekatnya).”
Akhiran, statusnya kebohongan adalah sarana ataupun wasilah untuk mencapai suatu tujuan. Oleh karena itulah, dalam persoalan hukum mengikuti tujuannya. Kalau tujuan yang ingin dicapai baik maka bohong diperkenankan oleh Agama. []