Alhamdulillah wa syukru lillah, masih terus melimpahkan anugerah dan karunia-Nya, hingga detik ini, kita masih bisa menghirup udara segar dan oksigen tanpa bantuan ventilator, yang sempat menjadi heboh, gegara covid-19. Karena ventilator itu, berguna untuk alat bantu pernafasan, namun harganya mahal karena harus impor. Sementara ada anak bangsa Indonesia sendiri yang mampu membuatnya sendiri dengan harga relatif murah, namun tak memperoleh dukungan untuk dibuat di dalam negeri sendiri. Tak jelas, mengapa?

Ritual dan budaya Halal Bihalal tahun-tahun yang lalu, baik secara personal tradisional yang muda berkunjung ke yang tua, santri sowan pada Kiai, “anak buah” berkunjung pada atasannya, maupun kedinasan, berlangsung dari instansi ke instansi yang lain, bahkan pejabat politik, harus menggelar “open house”, pada Idulfitri 1441 H ini, acara berganti menjadi “New” Halal Bihalal dalam Kesunyian. Kata “New” yang mendadak populer dan viral, karena implikasi pandemi Covid-19, yang sebenarnya belum pulih, namun tampaknya, kehidupan sosial ekonomi dan lainnya, harus Kembali berjalan. Tentu jika dikalkulasi secara ekonomi, bisa milyaran atau bahkan triliunan rupiah, yang biasanya beredar di masyarakat, menjadi berkurang secara signifikan.

Lebaran di tengah pandemi covid-19 ini, menjadi terasa sekali, kita berada dalam “kesunyian” halal bihalal. Mudik fisikal ritual mengalami alienasi menjadi mudik spiritual-digital, dari keramaian silaturrahim berkunjung secara fisikal, beralih pada sapaan dan ucapan dan video-conferencial. Dalam satu keluarga yang kebetulan, beberapa bagian anggota keluarga berada di luar kota, luar pulau, atau bahkan luar negeri, tentu keberadaan suasana tanpa mudik fisikal, terasa sepi dan sunyi. Secara positif, ini merupakan momentum penting, untuk merenungi dan memaknai betapa besar dan urgensinya makna silaturrahim dan mushafahah yang digariskan oleh Islam melalui Rasulullah saw.

Baca Juga:  Setiap Orang Islam Pada Dasarnya adalah NU

Budaya dan tradisi Halal Bihalal yang khas Indonesia ini, pada awalnya digelar atas dasar gagasan dan “fatwa” KH Abdul Wahab Chasbullah. Ini bermula setelah Indonesia merdeka, tepatnya tahun 1948. Pada waktu itu termasuk pertengahan bulan Ramadan. Bung Karno sebagai pemimpin negara yang masih sangat muda, ternyata elit politiknya saling bertengkar, dan tidak mau duduk bersama dalam satu majelis, untuk menyelesaikan. Sementara itu, pemberontakan terjadi di mana-mana, seperti Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) dan PKI Madiun. Tentu ini tidak menguntungkan bagi pembangunan Indonesia ke depan.

Menghadapi persoalan konflik antar elit tersebut, Bung Karno, meminta pendapat kepada KH Wahab Chasbullah, ulama dan tokoh besar Nahdlatul Ulama (NU). Bagaimana upaya mengatasi situasi politik Indonesia yang tengah carut-marut. Mula-mula, KH Wahab Chasbullah menyarankan agar diselenggarakan silaturahim. Hal itu dilontarkan bertepatan menyambut Hari Raya Idulfitri, yang mana seluruh umat Islam disunahkan bersilaturahim. Namun, Bung Karno mengatakan, “Silaturahim itu kan biasa, saya ingin istilah yang lain”. KH Wahab menambahkan, “para elit politik tidak mau bersatu dikarenakan mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu adalah dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa, maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturahim nanti kita pakai istilah “halal bihalal”, jelas KH Wahab (Masdar Farid Mas’udi).

Rasa-rasanya suasana sekarang ini, jika kita renungkan gegara pandemi Covid-19 ini, seperti tahun 1948-an. “Konflik” antara elit politik, counter-statemen, berita hoax, bahkan MUI pun menjadi sasaran hoax, berkembangnya simbol-simbol komunisme gaya baru, “perang statemen” soal “New Normal” menghadapi tatanan di tengah pasang-surutnya pandemi Covid-19, kegalauan masih “terkuncinya” pintu-pintu masjid, dan tempat ibadah lainnya, tampaknya, gagasan dan solusi Halal Bihalal yang dulu digagas Bung Karno, perlu diperbaharui.

Baca Juga:  Cinta Ilmu dan Ulama Bersatu, Prof KH Ali Maschan Ingatkan Dua Pesan Pendiri NU

Mendesak kiranya, digelar “New Halal Bihalal” untuk mengatasi secara bijak, berpihak pada rakyat kecil, situasi stagnasi dan kemandegan ekonomi rakyat kecil, berhentinya kegiatan ibadah berbasis masjid dan tempat ibadah, perlu segera dimulai dengan tetap mengacu pada protokoler kesehatan. Para pengurus takmir dan tempat ibadah, dan pimpinan ormas keagamaan, agar segera “terbebas” dari beban psikologis karena “sangkaan” atas “ijtihad kolektif” mereka, telah “memasung” aktivitas ibadah di masjid. Meskipun mereka juga, berijtihad berdasar kajian keagamaan yang matang, karena agama sangat memuliakan keselamatan nyawa, daripada siar agama dan keagamaan.

Selamat ber-“New Halal Bihalal” dan bersilaturrahim secara spiritual-digital, semoga kesehatan, kemudahan rezeki, dan karunia umur panjang yang berkah, senantiasa Allah limpahkan pada kita semua. Pandemi Covid-19, segera disingkirkan dari bumi Indonesia. Amin. Allah a’lam bish-shawab. [HW]

Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, M.A.
Guru Besar Ilmu Hukum Islam UIN Walisongo Semarang

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini