Ditinjau berdasarkan model dan nalar keilmuan, nahwu dan usul an-nahwu sejajar dengan fiqh dan usul al-fiqh. Bahkan pendekatan yang digunakan keduanya hampir sama; istishab, istihsan, qiyas dan illah. Akan tetapi, tidak banyak lembaga pendidikan Indonesia khususnya pesantren yang mengkaji dan mendalami usul an-nahwu, bahkan lebih tertarik untuk mengkaji usul al-fiqh.

Barangkali, mengikuti pendapat Jalal ad-Din as-Suyuti (1445-1505), bahwa an-nahwu ‘ilm qad nadija wa ihtaraqa (nahwu adalah ilmu yang telah matang dan terbakar). Maksudnya, di dalam ilmu nahwu yang merupakan produk dari usul an-nahwu sudah baku dan sempurna, tanpa pembaharuan. Sementara, fiqh sebagai bagian dari usul al-fiqh terus berkembang sesuai perkembangan sosiologi manusia. Sehingga usul al-fiqh selalu berkembang secara komprehensi di lembaga pendidikan. Ini sebuah persoalan.

Sehingga beberapa linguis modern: Ibrahim Mustafa (1888-1962), Abbas Hassan (1890-1978) Mahdi al Makhzumi (1919-1993), al Jawari (1898-1924), Syauqi Dhoif (1910-2005), dan yang karyanya sering menjadi referensi para linguis modern yaitu : Tammam Hassan (1918-2011) memperbarui nahwu klasik dan menyusun nahwu modern.

Setidaknya ada dua yang ditawarkan Tammam Hassan dalam pembaharuan nahwu modern yang menghadirkan prespektif baru terhadap ilmu nahwu.

Pertama, pengembangan usul an-nahwu. Menurut Tammam dan Khabibi Muhammad Luthfi dalam bukunya (Epistemologi Nahwu Pedagogis Modern). Mengutip Al-Khuli (1885-1966), bahwa an-nahwu ‘ilm qad nadija lam yahtaraqa (nahwu adalah ilmu yang sudah matang tapi belum terbakar). Artinya, usul an-nahwu dapat dikembangkan dalam konteks materi dan kaidahnya. Bahasa arab sebagai sumber ilmu nahwu, selalu mengalami perubahan dan perkembangan bahasa ilmu dan teknologi di masa modern. Maka, nahwu seharusnya mengikuti perkembangan baik struktur maupun leksikel didalamnya.

Kedua, nahwu ta’limi. Nahwu dibagi menjadi dua yaitu nahwu ‘ilmi dan nahwu ta’limi. Perbedaan dari keduanya adalah yang pertama bersifat ilmiah yaitu ilmu nahwu bertujuan untuk ilmu itu sendiri. Sedangkan yang kedua bersifat fungsional-aplikatif yaitu nahwu yang bertujuan untuk dipraktikkan dan diajarkan. Nahwu ta’limi disusun berdasarkan usul an-nahwu dan linguistik edukasional modern sehingga kontruksi dan susunannya berbeda dengan nahwu klasik.

Biografi Tammam Hassan

Pakar linguistik Arab ini berhasil mengintegrasikan linguistik barat klasik dengan linguistik arab. Nama aslinya ialah Tammam Hassan ibn ‘Umar ibn Muhammad Dawud. Tammam Hassan lahir di Desa Karnak, Provinsi Qina, Mesir, pada tanggal 27 Januari 1918 M atau 14 Robiul akhir 1336 H.

Sejak kecil Tammam dididik oleh ayahnya yang merupakan ulama Mesir. Dengan kecerdasan dan kegigihannya, Tammam telah menghafal al-Quran dengan qira’ah rawi Hafs ketika berumur 11 tahun. Pada tahun 1930-1935, Tammam masuk ke Ma’had al-Qahirah ad-Dini al-Azhari (setara Sekolah Dasar) dan melanjutkan ke jenjang Sekolah Menengah Pertama di madrasah yang sama. Kemudian setelah lulus 1939, Tammam masuk madrasah setara Sekolah Menengah Atas di Pendidikan Sanawiyah.

Kemudian Tammam melanjutkan Diploma (D3) di Fakultas Dar al-Ulum Universitas Kairo Program Studi Bahasa Arab. Disini Tammam, mulai memupuk linguistik dengan sistem pendidikan modern. Setelah empat tahun Tammam lulus dari Diplomanya dan melanjutkan kejenjang Strata satu dengan konsentrasi pendidikan dan psikologi.

Kelak dua konsentrasi ini yang akan membawa pada pemikiran linguistik barat yang erat kaitanya dengan psikologi. Berkat kecerdasan dan uletnya, tahun 1945 Tammam lulus sebagai mahasiswa peringkat pertama, bahkan Departemen Pendidikan Mesir mengangkatnya sebagai guru di madrasah an-Niqrasyi. Setelah satu tahun kemudian, menjadi asisten dosen di almamaternya (Fakultas Dar al-Ulum).

Atas usulan Ibrahim Anis (1906-1977), Tammam dikirim ke London untuk melanjutkan S3 bidang Linguistik. Akan tetapi, satu tahun sebelum pemberangkatan Tammam mendalami bahasa Inggris sebagai bekal di Institut of Oriental and African Studies Universitas London. Tahun 1947 Tammam baru masuk Universitas London bidang Linguistik. Kemudian Tammam melanjutkan pendidikan Doktoral di Universitas dan konsentrasi yang sama. Tammam menyelesaikan S3 selama 3 tahun (1949-1952).

Tahun 1952 Tammam kembali ke Mesir dan mengajar di Kairo. Pada tahun 1960, Tammam memutuskan menjadi Konsultan Kebudayaan di Lagos, Nigeria dan diangkat menjadi profesor. Kemudian,tahun 1980 Tammam pindah ke Mesir dan resmi dikukuhkan menjadi anggota Majma al-Lughah Mesir. Tahun 1988, Tammam memutuskan menetap di Arab Saudi dan mengajar Universitas al-Malik Su’ud di Riyad. Tahun 1996 Tammam kembali ke Kairo sebagai dosen tidak tetap jurusan Nahw-Sarf. Tammam wafat selasa 11 Oktober 2011 ketika berumur 93 tahun.

Fase Pemikiran

Dalam fase pemikiran Tammam Hassan dibagi menjadi tiga, yaitu fase fondasi, fase pengembangan epistemology bahasa Arab, dan fase aplikasi dalam pendidikan, keislaman dan al-Quran.

Pertama, fase fondasi (1939-1955), fase ini ketika Tammam berada dijenjang kuliah sampai doktoral. Pada masa ini Tammam banyak membaca tentang teori-teori tradisi linguistik Arab dan Barat. Dengan kedua tradisi ini, Tammam memiliki fondasi yang kuat dalam pengembangan bahasa arab melalui pendekatan integrative. Bahkan Tammam mencoba menyatukan kedua tradisi linguistik besar tersebut sehingga menghasilkan teori-teori baru.

Kedua, fase pengembangan epistemologi Bahasa Arab (1955-1881), fase ini merupakan masa keemasan bagi Tammam, dibuktikan dengan beberapa karya ilmiahnya. Karya pertama Manahij al-Bahs fi al-Lughah (1955), tentang penelitian bahasa arab pendekatan linguistik arab, khususnya Strukturalisme. Kedua berjudul Al-Lughah al-‘Arabiyah al-Mi’yariyah wa al-Wasfiyah (1958), menjelaskan metode penelitian bahasa arab deskriptif dan preskriptif dengan menggunakan bahasa (‘istimal lughawi) dan penelitian bahasa (bahs lughawi).

Karya ketiga yang banyak dikenal adalah al-Lughah al-‘Arabiyah Ma’naha wa Mabnaha (1973), karya ini dominan mazhab linguistik barat, khususnya fungsional, teori ta’liq dan al-Jurjani. karya ini merupakan magnup opus linguistik Arab khususnya nahwu, karena mampu menghasilkan teori baru “tadafur al-qara’in” yang menggantikan teori ‘amil. Dan masih banyak lagi karya-karyanya yang berpotensi pada pengembangan nahwu ta’limi.

Ketiga, fase aplikasi dalam pendidikan dan al-Quran (1981-2011), fase ini Tammam mengaplikasikan dan menjabarkan teori sebelumnya dengan karyanya Maqalat fi al-Lughah wa al-Adab dua jilid (1985 dan 2006). Pada bidang pendidikan, Tammam menulis karya At-Tahmid fi Iktisab al-Lughah al-‘Arabiyah li Ghair an-Natiqin biha (1984), selain teori Tadafur al-Qara’in buku ini memperkuatnya dengan linguistik umum, sosiolinguistik, dan antropolinguistik sehingga masuk linguistik edukasional (nahwu tathbiq).

Pada bidang al-Quran, Tammam mempunyai karya al-Bayan fi Rawa’I al-Qur’an 1 dan 2 (1993), Khawatir min Ta’ammul Lughat al-Qur’an (2006), dan Ijtihadat al-Lughawiyyah (2007). Dalam karya terakhir ini, Tammam membuka tabir ilmu nahwu, bahwa pintu ijtihad ilmu nahwu terbuka lebar. Selain kajian mabna dan ma’na dalam nahwu, Tammam memasukan konsep baru, Nahwu an-Nas yaitu kajian bahasa melibatkan unsur koherensi dan kohesi dalam teks. (IZ)

Muslihudin
Mahasiswa IAIN Surakarta

    Rekomendasi

    post power syndrome
    Opini

    Post-Power Syndrome

    Pada hakekatnya manusia bermula dari lahir, tumbuh dan berkembang mencapai puncak, menurun dan ...

    1 Comment

    1. sumbernya dr mana ini ustadz

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini