Baku Puisi Seniman Dan Masyarakat Di Alor

Pagelaran Budaya Ruwatan Nusantara di Alor sukses diselenggarakan semalam suntuk. Pertunjukan kolaborasi orkestrasi antara wayang, musik, puisi dan teater yang dimainkan para seniman dengan Dalang Ki Sujiwo Tejo begitu dramatis sekaligus mistis, dramatis karena berhasil melibatkan masyarakat untuk turut terlibat menjadi bagian dari pertunjukan. Mistis, karena enerji kebudayaan yang dibangun rombongan Daulat Budaya Nusantara mampu menggetarkan alam.

“Saya langsung merasa wow, pas sasando yang dimainkan Vivian Tjung mengiringi syair pusinya Bara Patyyraja, ditambah dengan gerak teatrikal dari Zaeni Mohammad, baru kali ini saya ikut wayangannya Mbah Tejo berkolaborasi sama seni yang lain” ujar Angela, sinden dari Surabaya.

Secara konsep, Ruwatan Nusantara yang digelar di sembilan titik lokasi di Indonesia memang “disesuaikan” dengan “alam adat budaya nusantara” masing masing lokasi. Seperti contohnya yang pertama di Kediri Jawa Timur dan yang kedua di Jepara Jawa Tengah, meskipun sama sama dilengkapi gamelan pelog dan slendro, namun dalam pagelarannya Ki Dalang Sujiwo Tejo tetap penuh improvisasi, di Jepara Jawa Tengah, mantra ruwatannya Mbah Tejo menjadi daya ungkit penonton untuk bersholawat. Demikian juga di Purwakarta Jawa Barat, titik ketiga Ruwatan Nusantara, pagelaran wayang Ki Dalang Sujiwo Tejo juga penuh kejutan dengan tampilnya dalang wayang kulit dan wayang golek bersama dengan para seniman tanah Pasundan yang merespon pagelaran Wayang Kulit dan Wayang Golek.

Di Pulau Alor NTT, titik ke empat Ruwatan Nusantara, sesuai konsep awal dan untuk merespon alam adat budaya di Alor, Ki Dalang Sujiwo Tejo memainkan Lakon Tara Miti Tomi Nuku, legenda setempat yang masih hidup di tengah masyarakat Alor.

“Sa merinding, sampai haru merasakan penjiwaan saudara saudara seniman berekpresi sampai dengan mengibarkan bendera merah putih dalam drama teatrikal yang begitu dalam, sampai sampai Sa masuk alam transenden, syair syair yang Sa bawakan mengalir deras merespon kekuatan spiritual pagelaran budaya ini”, terang Bara Patyyraja, penyair dari Adonara dengan penuh khidmat.

Baca Juga:  Kolaborasi PMTOH dengan Wayang, Bustami: Lakon sejarah Pohon Hayat Malahayati

Gegap gempita Ruwatan Nusantara di Lapangan kalabahi dirasakan para seniman dan seluruh masyarakat yang menonton. Pagelaran Kebudayaan ini adalah acara pertama setingkat nasional yang pernah diadakan di Pulau Alor, ditambah lagi kepiawaian Mbah Tejo mengajak warga yang menonton terlibat dalam pertunjukan, menari bersama diiringi musik tradisional adat Alor.

“Keren banget dan Sa merasa terhormat diajak kolaborasi sama Mbah Tejo, ini pertama kalinya Sa pertunjukan di Alor. Sa su keliling main sasando di kota kota di NTT, dan biasanya Sa main sasando itu pertujukan solo, ini di Alor kolaborasi sama sama seniman NTT bareng Mbah Tejo, rasanya beda banget main sasando iring iringan gamelan, apalagi semalam suntuk sekitar delapan jam di panggung” terang Vivian Tjung dari Kupang dengan wajah yang gembira.

Tidak hanya Vivian Tjung yang pertama kali kolaborasi lintas kesenian, pengakuan serupa juga dating dari para seniman yang lain. Mereka merasakan enerji tidak ada habis habisnya, juga merasa penuh dengan ide dan improvisasi dalam berkesenian dalam Ruwatan Nusantara.

“Seni itu kan soal rasa, malam ini tanpa batas, seperti melepaskan hasrat yang waktu dan tempatnya pas. Semesta mendukung. Ndak terasa larut dan ikut terharu sampai mata saya berkaca kaca menitikka air mata kabahagiaan. Kali ini puncak penetrasinya dapet” ujar Zaeni Mohammad, aktor teater dari Lombok.

Sujiwo Tejo tidak hanya ditemani oleh seniman seniman dari NTT, ia juga melibatkan komponis dan composer mudik etnik dari Jogja untuk mengharmonisasi bunyi bunyi yang terekam dalam tradisi adat masyarakat NTT, khususnya Pulau Alor.

“Wangun iki Mas (keren ini Mas), Mbah Tejo nantang saya bikin ritmik dari nada dasar musik Alor, lumayan lah nambah referensi khasanah musik saya. Ternyata spektrumnya luas, opo maneh saya suka miring miring kemejes (ala ala Jazz) ngiringi puisinya Mas Bara Pattyraja” terang Madha Soentoro, composer musik etnik dari Jogja.

Baca Juga:  Sujiwo Tejo, Sosrokartono dan Pesan Kehidupan dari Sebuah Syair

“Seneng buanget saya, dan yang paling bahagia kayae Mas Madha, kemejesnya tersalurkan malam ini ngiringi penonton yang jamming puisi sama Mbah Tejo. Wahhh..tenan sampek Mbah Tejo bilang baru kali ini battle puisi bareng seniman dan penonto” tambah Merlis To, komponis yang dijuluki Sujiwo Tejo sebagai professor musik.

Dari rangkaian Ruwatan Nusantara yang digelar rombongan Daulat Budaya Nusantara selalu melibatkan banyak warga lokal, baik sebagai bagian dari kepanitiaan maupun sebagai seniman yang tampil dalam pagelaran budaya. Spirit lokal mandiri dan lestari ini memang menjadi ruh dari rombongan Daulat Budaya Nusantara.

“Kita ini tim kecil dengan skala pagelaran besar. Maksudnya, tim dari luar lokasi pagelaran dibuat efektif dan efisiien, yang diperbanyak adalah tim dari warga lokal, in bentuk dari sama sama belajar, tranformasi tata kelola pertunjukan seni. Kami pengen meninggalkan dampak yang baik, dampak yang berupan pengetahuan dan pengalaman untuk warga lokal” terang Anggoro selaku Manajer Pagelaran Daulat Budaya Nusantara.

Di akui atau tidak, rombongan Daulat Budaya Nusantara memang pada akhirnya menjahit simpul simpul kebudayaan di Indonesia, sehingga sampai dengan titik ke empat dari sembilan titik yang direncanakan digelar Ruwatan Nusantara, sudah tumbuh secara alamiah jejaring kerja kebudayaan nusantara yang isinya masyarakat adat, seniman lokal dan para peneliti kebudayaan. Sebuah gerakan yang tumbuh dari akar rumput dengan tujuan sebagai pondasi pertahanan bangsa, ini cocok dengan postulat yang disampaikan Teguh Haryono, Doktor Ilmu Pertahanan dari Universitas Pertahanan Republik Indonesia.

“Di setiap pidato selalu saya sampaikan, bahwa pertahanan terbaik bangsa Indonesia adalah kebudayaan. Kita memiliki akar kebudayaan yang kuat yang tersebar dari Sabang sampai Merauke” tegas Teguh Haryono, inisiator Gerakan Daulat Budaya Nusantara.

Redaksi
Redaksi PesantrenID

Rekomendasi

2 Comments

  1. […] adalah titik paling barat dari rangkaian Ruwatan yang ke lima setelah awal Desember 2023 lalu di Pulau Alor, di batas timur selatan […]

  2. […] dan seterusnya. Masyarakat yang menyaksikan sangat antusias dan terheran heran dengan penampilan Mbah Tejo dan para seniman […]

Tinggalkan Komentar

More in Berita