Imam Ghazali pernah menyitir sebuah cerita dalam Kitab Ihya Ulumuddin: Suatu ketika terdapat seorang pemuda dari Bani Israil sedang melintas di tengah gurun pasir yang sangat luas. Entah apa yang sedang dilakukannya disana. Tak jelas pula kemana tujuannya. Ia hanya berjalan menyusuri gurun seorang diri. Namun yang jelas saat itu Bani Israel sedang tertimpa musibah. Paceklik berkepanjangan. Masyarakat banyak yang tak bisa makan.
Memikirkan kondisi kaumnya tersebut. Pikirannya berimajinasi liar. Ia menggambarkan dirinya menjadi sangat kaya. Ia melihat seluruh pasir sepanjang matanya memandang sambil bergumam:
“Andaisaja semua pasir di gurun ini adalah makanan, pasti akan aku sedekahkan semuanya kepada semua orang agar tidak lagi kelaparan”
Ternyata Allah merespon imajinasi liar pemuda tersebut. Meskipun hanya angan-angan yang mustahil terjadi. Allah begitu mengapresiasi niat baiknya. Saat itu juga Allah memberi wahyu pada Nabi pada zaman itu. Allah berpesan:
“Sesungguhnya Aku (Allah) telah menerima sedekahnya, berkat niatnya yang mulia.”
Belum cukup sampai disitu Allah ternyata juga memberinya pahala yang luar biasa.
“Aku juga akan memberikannya pahala sebesar makanan yang ia bayangkan tadi”
Dari cerita di atas kita menjadi paham bahwa kebaikan apapun yang kita lakukan itu akan dibalas oleh-Nya. Bahkan kebaikan yang baru sebatas dalam niat dan imajinasi kita. Itu semua akan dibalas oleh Allah SWT. Karena perihal niat, Allah SWT telah menempatkannya sebagai satu jenis ibadah yang istimewa. Walaupun ia hanya terkesan sebagai pemicu ‘amal’ namun ia mempunyai peran yang vital dalam kehidupan seseorang. Perihal hal ini Rasulullah pernah bersabda:
قال النبي صلى الله عليه وسلم : نِيَّةُ الْمُؤْمِنِ خَيْرٌ مِنْ عَمَلِهِ
“Niat seorang mu’min itu lebih baik daripada amalnya” (HR. Thabrani)
Dalam hadis lain disebutkan:
إِنّ الله كَتَبَ الْحَسَنَاتِ وَالسّيّئَاتِ. ثُمّ بَيّنَ ذَلِكَ، فَمَنْ هَمّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا الله عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً وَإِنْ هَمّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا الله عَزّ وَجَلّ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيرَةٍ. وَإِنْ هَمّ بِسَيّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا الله عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً… وَإِنْ هَمّ بِهَا فَعَمِلَهَا، كَتَبَهَا الله سَيّئَةً وَاحِدَةً
“Sesungguhnya Allah menulis kebaikan-kebaikan dan kesalahan-kesalahan kemudian menjelaskannya. Barangsiapa berniat melakukan kebaikan namun tidak (jadi) melakukannya, Allah tetap menulisnya sebagai satu kebaikan yang sempurna di sisi-Nya. Jika ia berniat berbuat kebaikan kemudian melakukannya, maka Allah menulisnya di sisi-Nya sebagai sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus lipat sampai kelipatan yang banyak. Barangsiapa berniat buruk namun ia tidak jadi melakukannya, maka Allah menulisnya di sisi-Nya sebagai satu kebaikan yang sempurna. Dan barangsiapa berniat melakukan keburukan dan melakukannya, maka Allah menulisnya sebagai satu kesalahan”. (HR. Bukhari)
Sehingga setidaknya ketika kita tidak mampu melakukan perbuatan-perbuatan baik. Maka alangkah baiknya jika kita tidak meninggalkan untuk berniat melakukan hal tersebut. Karena sesuai dengan hadis Nabi di atas bahwa niat kita dalam melakukan kebaikan saja sudah diganjar. Apalagi kalau niat tersebut dibarengi dengan kebaikan-kebaikan yang nyata. []