Mengobati Hati dengan Membaca Kisah Para Auliya’

Almarhum KH. Achmad Asrori al-Ishaqy, putra sekaligus khalifah (pengganti) KH. M. Utsman al-Ishaqy, mursyid Thoriqoh Qodiriyah wan Naqsabandiyyah pernah menulis sebuah kitab yang menarik berjudul “al-Muntakhabat fi Ma Huwa al-Manaqib”. Kitab tersebut ditulis oleh Kiai Asrori sebagai respon atas maraknya tuduhan bid’ah bahkan kesyirikan yang dilakukan para penganut thoriqoh hanya karena mereka senang membaca manaqib. Beliau berkata,

فقد كثر البحث والكلام عن مناقب الأولياء عاما، ومناقب سلطان الأولياء سيدنا الشيخ عبد القادر الجيلانى خاصا رضي الله عنهم، حتى نظنّ أننا نفضله عن القرآن العظيم والصلوات على رسول الله ﷺ

Telah banyak pembahasan dan omongan mengenai manaqib para wali Allah secara umum dan manaqib Syaikh ‘Abdul Qadir Jailani ra. secara khusus, sehingga kami dianggap lebih mengutamakan manaqib daripada al-Qur’an dan sholawat atas Rasulillah SAW.”

Adanya omongan buruk tentang ‘tradisi manaqib’ yang dilontarkan sebagian kelompok dilandasi oleh dalil bahwa hal tersebut tidak pernah diajarkan oleh Nabi SAW di masanya, sehingga muncul statement bid’ah (mengada-ngada). Padahal jika kita gunakan kaca mata fiqih, justru setiap amal perbuatan apabila beriringan atau selaras dengan syariat maka ia disebut ‘taat’. Kalau bertentangan, maka ia disebut ‘maksiat’. Terlebih dengan membaca manaqib (sejarah hidup) para waliyullah, para pembaca akan merasakan dampak positif, baik pada perilaku maupun ruhani. Maka bagaimana mungkin sesuatu yang dapat memberikan dampak positif justru dinilai sebagai sesuatu yang buruk (sayyiah) dan menuju pada bid’ah yang menyesatkan.

Dari sinilah, Kyai Asrori kemudian mengambilkan dalil-dalil pilihan (almuntakhobat) baik di dalam al-Qur’an, Sunnah, maupun kitab-kitab mu’tabar (diakui) yang kiranya dapat menjelaskan dengan terang benderang bahwa membaca manaqib (sejarah hidup para wali) adalah suatu tradisi (sunnah) yang baik dan justru dapat menjadi obat bagi hati. Beliau berkata,

Baca Juga:  Syekh Yusri al-Hasani dari Mesir: Ulama yang Dokter

قال سيد الطائفة الشيخ أبو القاسم جنيد البغدادي رضي الله عنه: “الحكايات جند من جنود الله تعالى يقوى بها قلوب المريدين، فقيل له: فهل لذلك من شاهد؟ فقال نعم قوله تعالى: وكلا نقصّ عليك من أنباء الرسل ما نثبت به فؤادك وجاءك فى هذه الحق وموعظة وذكرى للمؤمنين (هود:120).

Syaikh Abul Qasim Junaidi al-Baghdadi ra. berkata: “Cerita-cerita tentang para kekasih Allah adalah pasukan yang diturunkan oleh Allah Ta’ala untuk menguatkan hati seorang murid” Kemudian ada yang bertanya: “Apakah ada dalilnya?” beliau Imam Junaid menjawab: “ada, yaitu firman Allah Ta’ala, “Dan semua kisah rasul-rasul, Kami ceritakan kepadamu (Muhammad), agar dengan kisah itu kami teguhkan hatimu; dan di dalamnya telah diberikan kepadamu (segala) kebenaran, nasihat dan peringatan bagi orang yang beriman.. (QS.Huud:120).”

Dengan membaca sejarah hidup mereka, Allah akan menguatkan hati-hati orang mukmin yang sedang diuji dengan beragam musibah. Sebab di dalam kisah tersebut ada pelajaran dan hikmah yang bisa diambil. Misal saja kisah Nabi Nuh as. yang berdakwah ratusan tahun, tapi hanya beberapa puluh orang yang beriman. Jika dibandingkan dengan jumlah umat Rasulillah SAW yang jutaan, tentu sangat jauh. Tapi Allah Maha Adil, Maha Mengetahui, dan Maha Bijaksana. Allah tidak melihat pada kuantitas amal berupa banyaknya pengikut, namun kualitas kesabaran, keteguhan dan keistikamahan dalam mengemban amanah sehingga Allah mengaruniakan gelar yang sama yakni gelar ‘Ulul Azmi’. Artinya beliau mendapat kehormatan sebagaimana kehormatan yang disandang Rasulilllah SAW.  gelar bagi para Nabiyullah yang diberi cobaan-cobaan berat tapi tetap bersabar atasnya.

Kalau kita renungkan kembali, dengan membaca manaqib para auliya’illah, kita akhirnya mengetahui perilaku-perilaku mereka. Melalui perilaku-perilaku para kekasih Allah tersebut, kita seakan dituntun untuk mengikuti jalan mereka, sebab di balik jalan-jalan itu ada sirr (rahasia tersembunyi) yang hanya akan ditemukan oleh orang-orang yang berjalan melewatinya.

Baca Juga:  In Memoriam KH Maimoen Zubair: Sang Mutabahhir-Mutafannin Fil Ulum

Para wali Allah juga diberi karamah yang luar biasa yaitu adanya pancaran Nur dari Allah ke dalam diri mereka. Sehingga sesiapa saja yang melihat mereka atau duduk di dalam majlis mereka, maka pancaran itu akan mengenai hati orang-orang yang melihatnya. Di sinilah permulaan futuh (terbukanya hati untuk bisa ma’rifat kepada Allah) dimulai. Selanjutnya hal tersebut akan berdampak pada hati yang bertambah haus mengenal Allah dan segala sifat-sifat-Nya. Kyai Asrori berkata,

ومما يدل على ان رؤية العارف بالله تعالى، تزيد فى نور المعرفة وغيرها، أحوال قلوب الصحابة رضي الله عنهم، وهي تحس وتشعر وجود الرسول ﷺ وخلال مجالسته بينهم، ولما فرغوا من دفنه، أنكرت قلوبهم على ما في أنفسهم، حتى سيدنا أنس رضي الله عنه يقول: “ما نفضنا التراب من أيدينا من دفن رسول الله ﷺ حتى وجدنا النقص فى قلوبنا

Adapun dalil yang menunjukkan bahwa melihat orang yang ma’rifat terhadap Allah Ta’ala akan menambah cahaya ma’rifat (di dalam hati seseorang) adalah kondisi hati para sahabat, di mana mereka senantiasa merasakan keberadaan Rasulillah SAW, dan di dalam majlis-majlis mereka, seakan Rasulillah ada di antara mereka. Dan manakala mereka usai memakamkan Rasulillah SAW, mereka tidak percaya atas apa yang mereka alami, hingga Sayyidina Anas ra. berkata, “Tidaklah kami mengibaskan debu pada kedua tangan dari debu makam Rasulillah SAW sehingga kami dapati (cahaya) yang berkurang di hati kami.”

Maka telah jelas, bahwa membaca manaqib para kekasih Allah bukanlah sesuatu yang unavailing (sia-sia). Justru dengan membiasakan diri membaca manaqib para kekasih Allah, akan menambah cahaya ma’rifat di dalam hati dan menumbuhkan mahabbah (kecintaan) kepada Allah dan Rasul-Nya yang akhirnya mendorong seseorang untuk berperilaku mulia. Dan tatkala fisik manusia sudah disibukkan dengan kebaikan, dengan perilaku-perilaku mulia, maka sebagaimana ucapan para Ulama’ hakikat, “sholahul qolbi bisholaahil jawaarih”. Bagusnya hati itu ditempuh dengan memperbaiki anggota badan terlebih dahulu. Ketika anggota badan sibuk pada hal-hal yang kurang baik, maka akan memberi bekas noda pada hati. Sebaliknya, bila anggota badan sibuk dalam ketaatan, maka itu menjadi kafarah (penghapus) atas noda-noda hitam di dalam hati manusia dan menjadi sebab semakin terangnya pancaran Nur ilahiah yang ada dalam diri mereka masing-masing. Wallahua’lam. []

Achmad Abdul Aziz
Mahasiswa Pascasarjana STAI Ma'had 'Aly al-Hikam Malang, S1 UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dengan konsentrasi disiplin Bahasa dan Sastra Arab. Santri Pondok Pesantren al-Qur'an Nurul Huda Singosari.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini