Islam adalah agama yang aktif mendorong dan menyerukan umat manusia untuk selalu berfikir dan menggunakan akalnya untuk memikirkan sesuatu dan hal-hal yang ada di dalam diri dan di alam semesta ciptaan Tuhan ini. Berkali-kali al-Qur’an dengan redaksi yang berbeda-beda menyebutkan antara lain : “Afala Tatafakkarun” (apakah kamu tidak memikirkan), “Afala Ta’qilun”,(apakah kamu tidak menggunakan akalmu), “Wa fi Anfusikum, Afala Tubshirun”, (di dalam dirimu apakah kamu tidak melihat?), “Fa’ tabiru ya Ulil Abshar” , maka ambillah pelajaran, dll.
Kepada bangsa Arab, khususnya, al-Qur’an mengatakan dan Nabi diminta untuk mengingatkan mereka:
أَفَلَا يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ . وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ. وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ. وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ. فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرٌ
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana diciptakan, dan langit bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan? Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan”.(Q.s. Al-Ghasyiyah, 17-20).
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ . الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
Pada ayat lain Allah menegaskan seraya menegur orang-orang yang rajin membaca atau menghafal al-Qur’an tetapi tidak mempelajari atau memahami isinya:
افلا يتدبرون القران ام على قلوب اقفالها
“Afala yatadabbarun al-Qur’an Am ‘Ala Qulubin Aqfaluha”. (Apakah kalian tidak memikirkan/merenungkan isi al-Qur’an, atau hati mereka terkunci”. (Q.s. Muhammad, 24).
Menarik sekali redaksi yang digunakan al-Qur’an dalam beberapa ayat di atas untuk menyampaikan perintah berpikir itu. Redaksi “Apakah tidak”, merupakan bentuk kritisisme al-Qur’an yang sangat tajam. Ia sedang menyindir mereka yang tak mau berpikir, merenung dan memperhatikan kehidupan. Seakan-akan Allah mengatakan “kalian kok tidak berfikir. Ayo berpikir atau pikirkanlah”. Kalian kan manusia?.
Ayat-ayat di atas kini atau bahkan sudah sangat lama seperti tak lagi memperoleh perhatian yang sungguh-sungguh dari kebanyakan kaum muslimin. Mereka terkesan mengabaikannya. Aktivitas intelektual mereka berhenti berabad-abad. Tak ada lagi produk intelektual mereka yang disumbangkan bagi kemajuan dunia.
Bahkan ada kecenderungan baru dari sebagian kaum muslimin yang menunjukkan anti dialektika intelektual. Ada stigma negatif terhadap penggunaan logika/ berpikir rasional. Teks suci menurut mereka harus diikuti makna tekstualitasnya, harfiyahnya, bukan rasionalitasnya. Sekelompok kaum muslimin malahan menganggap kreativitas dan inovasi sebagai kesesatan atau populer disebut “bidah”.
Ada pula kelompok yang anti pendapat lain yang berbeda. Mereka hanya memercayai/membenarkan pendapat dirinya saja, sedang pendapat orang lain salah atau malah “kafir”. Lebih dari itu ada pula kelompok umat Islam yang anti produk pikiran dari Barat atau dari “liyan”, seperti “demokrasi”, “human right“, “nation state” (negara bangsa), Bukan hanya produk konseptualnya, malahan juga produk teknologinya. meski hari-harinya mereka menjalani sekaligus menikmati produk-produk itu.
Jika kita tidak mau berpikir, memikirkan, merenungkan, tidak menggunakan akal atau bahkan anti intelektualisme, maka kita harus menerima ketertinggalan dan keterpurukan nasib kita. Kita akan terus tertinggal dan termarjinalkan dari panggung sejarah dunia. Kita menjadi konsumen dari produk intelektual dan teknologi orang lain. Ini semua merupakan konsekuensi paling logis yang harus diterima berikut akibat-akibatnya.
Maka jika kita ingin menjadi bangsa yang jaya, tak ada cara bagi kita kecuali kembali kepada kritik al-Qur’an di atas : agar menjadi umat yang berpikir kritis, produktif, terbuka, menggunakan anugerah akal untuk berpikir dan memikirkan ciptaan Tuhan, merefleksikan, mengeksplore dan mengelolanya bagi kesejahteraan umat manusia. Ayo berpikir, jangan emosi. Ayo merenungkan, jangan hanya menghafalkan. []