Abu Bakr Al-Razi (1): Akal dan Kenabian, Kritik terhadap Agama-Agama Wahyu

Ketika kita belajar filsafat Islam, pastinya diawali dengan filsuf bernama Al-Kindi (185 H/801 M-252 H/873 M), yang memperkenalkan ilmu filsafat pertamakali ke dalam dunia Islam. Begitu juga dengan Al-Razi sebagai tokoh filsuf kedua setelah Al-Kindi, dia sebagai seorang rasionalis religius dan seorang dokter yang spesialis, serta ahli alkemi.

Abu Bakar Muhammad Ibnu Zakaria Ibnu Yahya Al-Razi, nama lengkapnya, akrab disapa Al-Razi. Ia merupakan seorang dokter muslim terbesar sekaligus guru dalam bidang ilmu kedokteran, baik di dunia Islam maupun Eropa. Dia juga seorang filsuf dan ahli kimia yang telah berhasil mengembangkan kimia setelah dasar-dasarnya dirumuskan oleh Jabir bin Hayyan, hingga dia mampu membuat berbagai penemuan kimia modern berdasarkan penelitian dan eksperimen.

Ia dilahirkan di Rayy, dekat Teheran, Republik Islam Iran pada 1 Sya’ban 250 H/864 M dan hidup pada pemerintahan Dinasti Saman. Sebelum menjadi filsuf dan dokter, ia pernah menjadi tukang intan, penukar uang, dan sebagai pemain kecapi. Menurut riwayat, ia menguasai betul musik, baik teori amupun praktik. Al-Razi merupakan seorang yang ulet dalam bekerja dan belajar, karenanya tak heran kalau ia tampak menonjol bahkan lebih tenar dibanding rekan semasanya (147 Ilmuwan Terkemuka Dalam Sejarah Islam Muhammad Gharib Gaudah, hlm 138-139).

Menurut Al-Qifti dan Usaibi’ah bahwa di kota Rayy, Al-Razi belajar kepada Ali ibn Rabban al-Thabari (192-240 H/808-855M) seorang filsuf sekaligus dokter. Guru inilah yang menumbuhkan minat Al-Razi terhadap kedua subjek keilmuan tersebut, yang kemudian pada akhirnya dia menjadi filsuf terbesar sekaligus seorang dokter yang cukup ternama. Padahal Al-Razi lahir setelah sepuluh tahun Ali ibn Rabban al-Thabari meninggal. Menurut Al-Nadim, yang benar adalah Al-Razi belajar filsafat kepada Al-Balkhi, menguasai filsafat dan ilmu-ilmu kuno (Sirajuddin Zar, Filsafat Islam filosof dan filsafatnya,hlm 119).

Tak hanya itu, Al-Razi termasuk salah satu tokoh filsuf yang rajin belajar dan tekun dalam bidang tulis-menulis, sehingga tak heran jika ia banyak menghasilkan karya tulis. Selama hidupnya, ia pernah menulis tidak kurang dari 20.000 lembar kertas dalam setahun. Karya tulis terbesarnya adalah Al-Hawi, sebuah ensiklopedia kedokteran dengan ketebalan 20 jilid yang berisi informasi kedokteran Yunani, Syiria, dan Arab, yang dikumpulkan oleh Al-Razi pada zamannya (Lihat, Sunardji Dahri Tiam, Historiografi Filsafat Islam, hlm 100).

Baca Juga:  Kritikan Akan Membuat Semakin Terkenal; Belajar dari Al-Ghazali

Selan rajin belajar dan tekun dalam bidang tulis-menulis, ia juga dikenal sebagai seorang pemberani dalam menentang beberapa kepercayaan Islam yang fundamental. Akhirnya banyak yang mengecam dan mencacinya, tak terkecuali ajakan berdebat dipanggung-panggung. Bahkan, tak sedikit orang ingin membunuhnya. Salah satu lawan debatnya, adalah Abu Hatim Al-Razi (w. 322 H/933 M), merupakan lawan yang paling penting dan merupakan salah seorang ahli dakwah Isma’iliah terbesar.

Perbedaan pendapatnya dengan Al-Razai tentang agama dan kenabian yang ditulisnya dalam buku ‘Alam al-Nubuwwah. Kita patut berterima kasih kepada karyanya, karena berkat jasanya, pendapat-pendapat Al-Razi tentang agama dan kenabian dapat kita nikmati meski Abu Hatim sangat propagandis dalam menjelaskan sisi-sisi negatif pikiran Al-Razi. Menurut Abu Hatim, Al-Razi lebih mengutamakan filsafat dari pada agama yang dianggapnya sebagai khufarat serta membawa kepada kebodohan dan taqlid.

Akal dan Kenabian

Harus diakui bahwa akal merupakan substansi yang sangat penting yang terdapat dalam diri manusia, sebagai cahaya (nur) dalam hati. Cahaya ini, menurut Al-Razi bersumber langsung dari Zat-Nya sebagai utusan untuk menyadarkan manusia dari kebodohan. Al-Razi dikenal sebagai seorang filsuf rasionalis murni. Allah memberi manusia akal sebagai anugerah terbesar. Karena dengan akal, manusia dapat mengetahui hal-hal yang tersembunyi. Dengan akal pula kita memperoleh pengetahuan tentang Tuhan. Akal juga yang membedakan manusia dengan binatang.

Segala keputusan harus sesuai dengan akal serta, tidak boleh dihakimi oleh selainnya. Oleh sebab itu, manusia tak boleh  menyia-nyiakan dan mengekanganya, malah harus memberinya kebebasan dalam segala hal. Sebab, jika tidak ada akal, maka sama halnya manusia dengan binatang atau orang gila. Al-Razi juga memiliki kecenderungan empirik dalam memandang seluruh objek filsafat. Bergantung pada akal adalah yang baik.

Terkait dengan sikapnya yang terlalu mendewakan akal, ia menolak semua pemikiran yang irrasional. Sampai banyak muncul asumsi negatif, bahwa Al-Razi mengingkari eksistensi wahyu dan kenabian. Kemudian, laporan-laporan ini dicatat oleh Abu Hatim Ar-Razi dalam bukunya- hidup sezaman dengan Al-Razi dan memusuhinya-, akibatnya banyak musuh, reputasinya rusak.

Baca Juga:  Ketika Al-Qur’an Bercerita tentang Wajibnya Mencari Ilmu.

Menurut Abdul Latif Al-‘Abd bahwa tuduhan pada Al-Razi tidak mempercayai kenabian didasarkan pada buku Makhariq al-Anbiya’, yang sering dibaca dalam pengajian-pengajian kaum zindiq, terutama Qaramithah. Bagian dari buku ini terdapat dalam buku A’lam al-Nubuwwah karya Abu Hatim ar-Razi, yang tak pernah ditemukan. Oleh karena itu, kebenarannya diragukan. Andaikan buku yang dimaksud itu ada, tentu saja tidak bertentangan dengan buku-buku Al-Razi sendiri seperti al-Thibb al-Ruhani dan al-Sirah al-Falsafiyyah.

Al-Razi mengkritik anggapan untuk keteraturan kehidupan manusia. Tak heran jika pendapatnya begitu controversial. Pandangannya yang mengkultuskan kemampuan akal, menjadikannya tidak percaya terhadap wahyu dan adanya nabi, sebagaimana yang diutarakan melalui bukunya Naqd al-Adyan au fi al-Nubuwwah (Kritik terhadap Kenabian). Menurutnya para nabi tidak berhak untuk mengkalim dirinya sebagai orang yang memiliki keistimewaan khusus, baik pikiran maupun rohani. Sebab, semua manusia adalah sama.

Baginya penerimaan ajaran-ajaran yang dibawa para nabi, tak lebih dari sekedar tradisi dan akibat dari kekuasaan yang dimiliki para pemuka agama atau karena terpengaruh oleh berbagai upacara keagamaan yang menarik perhatian orang yang taraf pemikirannya masih sederhana. Sekurang-kuragnya, ada tiga alasan yang dikemukakan Al-razi, kenapa ia menolak kenabian, antara lain:

  1. Akal sudah mencukupi untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk, bermanfaat dan tidak, dan dapat mengatur dirinya dan mengetahui Tuhan.
  2. Tidak ada keistimewaan bagi seseorang untuk mengatur dan membimbing orang lain karena setiap manusia dilahirkan dalam keadaan yang sama. Perbedaan manusia bukan karena pembawaan alamiah. Akan tetapi, karena pengembangan dan pendidikann masing-masing manusia.
  3. Ajaran yang dibawa para nabi saling bertentangan. Mereka (pemeluk agama) menjunjung tinggi ajaran nabinya masing-masing, sehingga terjebak dalam kefanatikan dan menolak ajaran nabi yang lain. Pada akhirnya menimbulkan pertentangan, bahkan pembunuhan yang berakibat pada kesengsaraan manusia. Namun, pertentangan itu tidak akan ada kalau mereka berbicara atas nama Allah (Lihat, Ahmad Zainuri Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim Pembuka Gerbang Filsafat Barat, hlm 62-63).
Baca Juga:  Hukum Menikahi Dua Saudari Sekaligus

Memang harus diakui bahwa Al-Razi memberi perhatian dan kepercayaan yang cukup besar kepada akal. Indikasi ke arah ini dapat dilihat bahwa ia menulis tentang akal pada bab tersendiri dalam bukunya al-Thibb al-Ruhani. Namun tak sampai meletakkan wahyu dibawah akal, apalagi tidak percaya pada wahyu. Kasus al-Razi ini hampir sama dengan apa yang terjadi pada tokoh pembaharu dari India, Ahmad Khan (1817-1889 M).

Kepercayan terhadap hukum alam ciptaan Allah (sunatullah), menyebabkan ia dituduh kafir. Padahal, ia tidak mengakui kehendak mutlak Allah, namun yang ia katakan bahwa alam semesta ini diatur dan berjalan sesuai dengan aturan yang sudah ditetapkan berdasarkan kehendak mutlak-Nya. Dimana hal ini dimaksudkan agar umat Islam dapat berpikir rasional dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Alasannya, ilmu pengetahuan dapat berkembang dengan berdasar pada fenomena yang tetap di alam.

Dalam hal ini, Ibn Abi Usaibi’ah, seorang penulis sejarah kedokteran sekaligus seorang dokter, menganggap risalah Makhariq al-Anbiya’ sebagai tulisan Al-Razi, yang kemungkinan ditulis lawan-lawannya, kemudian dinisbahkan kepada Al-Razi untuk menjelek-jelekkannya. Padahal Al-Razi jauh dari sifat seperti itu, karena dalam kitab-kitabnya yang lain terdapat pengakuannya tentang adanya Hari Akhirat dan Khaliq Yang Maha Bijaksana. Selain itu, dalam karya lainnya yang berjudul Sirr al-Asrar dan Bar’u al-Sa’ah, Al-Razi mengatakan bahwa “semoga Allah melimpahkan shalawat kepada ciptaannya yang terbaik, Nabi Muhammad SAW dan keluarganya”.

Ungkapan lainnya, “semoga Allah melimpahkan shalawat kepada sayid kita, kekasih kita, dan penolong kita di hari kiamat, yaitu Muhammad, mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan rahmat kepadanya”. Ia mewajibkan untuk memuliakan para nabi, sebab mereka adalah manusia pilihan yang memiliki pribadi mulia. Beberapa catatan ini menunjukkan bahwa Al-Razi benar-benar seorang filosof muslim (Lihat, Amroeni Drajat, Filsafat Islam Buat yang pengen tahu (Jakarta: Erlangga, 2004). hlm 25). Jika begitu, maka tuduhan-tuduhan terhadapnya itu sengaja didengung-dengungkan oleh lawan-lawannya yang tidak senang dengan popularitas yang dicapai Al-Razi. []

Salman Akif Faylasuf
Santri/Mahasiswa Fakultas Hukum Islam, Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo

    Rekomendasi

    Rebo Wekasan
    Opini

    Rebo Wekasan

    (Karena menyambut rebo wekasan, saya putuskan untuk mengunggah kembali tulisan beberapa tahun yang ...

    1 Comment

    1. […] sudah jelas bahwa Al-Razi lebih menghargai akal daripada yang lainnya, seperti penolakkannya terhadap kenabian, agama, dan […]

    Tinggalkan Komentar

    More in Ulama