Benedict Richard O’Gorman Anderson (1936-2015), adalah seorang raksasa intelektual yang semasa hidup menjadi pengkaji Studi Indonesia dan Asia Tenggara paling terkemuka di dunia.
Meskipun tidak pernah berminat secara khusus meneliti perihal Islam Nusantara (juga Studi Islam), bukan berarti ilmuwan poliglot–yang menguasai secara fasih lebih dari setengah lusin bahasa–ini tidak pernah menerokanya sama sekali.
Dalam buku sehimpunan esainya yang tak mudah dipahami tetapi begitu puitis itu, Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia (Equinox, 2006), misalnya, Anderson cukup panjang-lebar meneliti tentang khazanah sistem pendidikan Islam di pondok pesantren dan politik bahasa (Jawa), serta peranan sentral ulama di dalamnya.
Dalam tulisan pendek ini, saya berupaya untuk menyaripatikan dan mendedahkan pemikiran Anderson, khususnya dari salah satu artikel dalam buku itu: “The Languanges of Indonesian Politics”.
Sang Kiai
Manakala kekuatan politik di Jawa kuno sebagian besar dipegang oleh penguasa-penguasa yang berlaku sebagai fungsionaris birokrat, pada saat itu juga kekuasaan kaum religius dan intelektual telah menanamkan pengaruh. Siapa dia? Kiai. Ya, pengaruh kiai kuat dan meluas, khususnya di daerah tempat wewenang kerajaan melemah.
Utamanya, mereka berada di daerah pasisir (pesisir utara Jawa) dan di wilayah-wilayah pemberontakan tradisional (lembah-lembah terpencil yang menjadi benteng, seperti di Ponorogo). Kiai atau ulama, menurut Anderson, pada intinya, adalah seseorang yang memiliki kelebihan dalam hal kebijaksanaan religius di antara para pengikutnya, dan lembaga khas yang ia pimpin adalah pondok pesantren atau sekolah Islam pedesaan.
Pendidikan di pondok pesantren, secara eksplisit, merupakan sebuah penobatan menuju kebijaksaan yang lebih tinggi. Struktur sosial pesantren, tempat kiai dibantu oleh murid-muridnya yang sudah lebih maju, mencerminkan konsep pendidikan sebagai jalan menuju kebijaksanaan (tinimbang menuju pengetahuan).
Kharisma kiai bergantung pada banyak hal ihwal, anggapan leluhur, kekuasaannya, pengalamannya, dan karakter pribadinya. Akan tetapi, di atas semua itu adalah pada penguasaannya akan kosakata esoteris. Unsur paling penting dalam kosakata ini adalah kemampuan berbahasa Arab.
Lazimnya metode pengajaran yang disampaikan kepada para santri (anak-anak dan remaja) di pesantren adalah pengajaran berulang-ulang, lewat hafalan, ayat-ayat Alquran berikut penjelasan tambahan oleh sang kiai.
Adakalanya dinyatakan bahwa pelajaran menghapal Alquran ini melukiskan “dekadensi atau pelapukan Islam” di Jawa. Betapa pun, tampaknya lebih pas melihat itu sebagai tanda pertahanan Jawa melawan budaya Arab dan sebagai bentuk akhir penaklukan Jawa terhadap infiltrasi asing ini. Penjinakkan Islam dan Arab oleh impuls-impuls budaya Jawa dilakukan melalui penjelmaan Alquran ke dalam bentuk buku teks hermeneutik.
Bahasa Arab dilestarikan sebagai bahasa “penobatan”, persisnya lantaran bahasa Arab tidak dimengerti; upacara spiritual dengan menggunakan bahasa yang lengkap ini, memanifestasikan kekuasaan dan mengandaikan sebuah pola kesadaran yang tidak rasional. Islam telah melarang penggunaan lebih lanjut mantra Shiwa dan Tantra; lantas Jawa menjawabnya dengan mengubah ayat-ayat Alquran menjadi buku-buku mantra.
Para santri di pesantren, dengan demikian, menelan teks-teks Alquran lewat hapalan. Santri yang berhasil adalah yang mampu melafalkannya tanpa keliru. Karena anak-anak muda ini memafhumi sedikit saja dari apa yang mereka hafalkan, kesalahan penting yang menempel pada pengucapannya itu tentu saja bersifat “magis”; alih-alih kekeliruan semata-mata dilihat sebagai “kekeliruan”, melainkan sebagai kesalahan yang menandakan ada yang tidak beres bagi kelompok, jika tidak segera dikoreksi secara manjur.
Kalimasada
Aspek kedua dari pendidikan pesantren adalah proses penafsiran (decoding) teks Alquran, serta kehadiran bahasa Jawa yang serba membingungkan dan penuh paradoks. Sistem pendidikan ini dilukiskan dengan baik dalam halaman-halaman “ensiklopedia” Jawa yang luar biasa–berasal pada awal abad sembilan belas–yakni Serat Centhini, yang kebanyakan membahas pengembaraan para penganut Islam yang amat taat, santri (makna aslinya adalah “murid”), yang melakukan perjalanan dari satu pesantren ke pesantren lainnya, untuk menguji keterampilan masing-masing dalam menguraikan makna di balik kekusutan teka-teki, dan isyarat kata-kata yang bersifat religius.
Fungsi dari permainan lema-lema atau teka-teki berdasarkan permainan kata-kata religius itu, adalah untuk menjembatani dua tingkat pengertian. Mengambil contoh yang khas Jawa, salah satu permainan kata-kata religius yang mahsyur adalah menyangkut nama senjata gaib milik Raja Yudhistira (pahlawan dalam wayang kulit), yakni Kalimasada.
Kalimasada ini bukanlah sebuah anak panah, gada ataupun tombak, melainkan penggalan tulisan esoteris, sebuah dokumen yang tidak terpahami, tetapi memiliki kekuasaan luar biasa. (Ia bukanlah sesuatu yang “disebutkan” dalam Kalimasada sebagai sesuatu yang penting, melainkan apa yang tergores di situ, mengisyaratkan ada misi sakti yang hanya dipegang oleh orang-orang tertentu dan dalam waktu-waktu tertentu pula).
Betapa pun, sementara Kalimasada adalah simbol otentik dari tradisi budaya pra-Islam, ia toh juga menjadi acuan umum bagi lingkaran Muslim yang saleh, tetapi kini ia berbunyi sebagai Kalimat Sahadat, yakni unsur pertama dari dari lima Rukun Islam. (Bahkan, ada legenda yang melukiskan sebagaimana Yudhistira memberikan senjatanya kepada Sunan Kalijaga, salah satu dari sembilan wali utama Islam di Jawa). Contoh tebak-tebakan itu: “Kapankah Kalimasada bukanlah Kalimasada?”). Jawabnya: “Ketika ia adalah: Kalimah Sahadat”.
Maka dari itu, kebijaksanaan terdalam yang diajarkan di pesantren (dan ini malah lebih serius tinimbang religiusitas masyarakat abangan Hindu-Budha di Jawa Tengah bagian selatan) berkelindan dengan laku asketik, ritual, dan telaah teka-teki berdasarkan permainan kata-kata serta pelbagai paradoks itu (prenesan).
Istilah umum yang terakhir ini adalah semacam perasaan bahwa fenomena tidak selalu berarti apa yang nampak; apa yang sebenarnya, mungkin tidak muncul sebagai penampakannya. Salah satu temuan, misalnya, adalah paradoks ungkapan kuno yang sederhana ini: Sing ana, ora ana; sing ora ana, ana (Apa yang ada, tidak ada; apa yang tidak ada, ada).
Hal ini kerap dibayangkan seperti lema longan, yang berarti ruang di bawah kursi, meja, atau ranjang. Tebak-tebakan tentang keberadaan dan ketidak-beradaan dengan jenius diutarakan dalam bentuk teka-teki permainan kata-kata tentang wujud longan tadi, yang sekaligus juga tidak berwujud. Kursi tidak bisa hadir tanpa longan, sebaliknya longan tak muncul tanpa sebuah kursi.
Spiritualisme
Aspek ketiga yang penting dari pendidikan pondok pesantren ialah ia selalu memiliki dimensi metafisik; ia terlihat sebagai bagian dari sebuah perjalanan panjang pelatihan spiritual, sebuah penobatan menuju suatu kedalaman esoteris, sebuah kunci bagi pintu yang masih tertutup.
Itulah sebabnya, ia menjadi karakter khusus yang terkenal dari “relativisme” weltanschauung Jawa tradisional. Pelbagai paradoks niscaya merupakan sebuah ekspresi dari kebenaran esoteris. (Menurut Anderson, sebagai kontras, di masyarakat Atlantik manakala rasa “kepastian” dalam sebuah pencarian yang serupa dirasakan menipis, paradoks–yang tidak semata-mata sebagai permainan–muncul seperti kita bermain ski di lautan yang membeku).
Sebab kepastian ontologis mendasari relativisme yang berulang-ulang dari hari ke hari dalam filsafat tradisional Jawa, itulah fenomena yang tidak harus menjadi “selamat”, mengingat keselamatan itu bukanlah akumulasi dari apa yang “ada”. Yang nyata dan benar-benar nyata, hanyalah hubungan yang rapat, tetapi tidak mesti berarti serupa.
Seyogyanya, jelas pula bahwa pola Islam Jawa kuno amat berbeda dengan Timur-Tengah modern. Terlihat ketika bangkitnya pengaruh Timur-Tengah di kalangan pembaharu Islam di organisasi Muhammadiyah pada awal abad ke-20. Pengaruh itu tampil sebagai kesadaran-diri yang melahirkan keretakan dalam komunitas Muslim di Jawa.
“Pembaharu” (modernis) menegaskan, dengan menyatakan makna yang diberikan Alquran, Alquran per kata), Alquran kurang berfungsi sebagai kunci menuju misteri dan lebih sebagai tanda-tanda jalan religius (religious Highway Code).
Bagi modernis Islam sejati, bahasa Arab adalah bahasa yang mengandung kebenaran dan rasionalitas, oleh sebab itu ia harus dimengerti secara langsung. Bagi kalangan pesantren tradisional, bahasanya tetaplah bahasa Jawa, sebagian lantaran bahasa Jawa adalah bahasa ibu, dengan segala variasi nada unggah-ungguh dan gaungnya, dan sebagian lainnya karena bahasa Jawa begitu kuat dirasakan sebagai ekspresi utama identitas Jawa.
Dus, dengan kiasannya yang berhuruf atau berkata awal sama, dengan perkembangan pembentukan lemanya yang berdasarkan tiruan bunyi, dan dengan kekayaan kosakatanya yang terbentuk berdasarkan daya serap seluruh panca indera itu, bahasa Jawa menawarkan sebuah pembendaharaan kausalitas esoteris dan perasaan keabadian akan sebuah kesinambungan tersembunyi yang melayang-layang melingkupi fenomena, yang menukik dalam ke atmosfer nan intim dalam kehidupan rakyat. Keseluruhan proses ini memang kabur, rumit, dan luar biasa penting.
Arkian, meskipun Anderson menggunakan istilah “dekadensi dan pelapukan Islam” dalam meneroka pendidikan di pesantren, menurut saya, dia tidak bermaksud untuk melakukan pelecehan normatif atas tradisi intelektual Muslim itu. Hal ihwal ini lebih sebagai kajian objektif, bahwa modus belajar seperti itu bersifat pasif dan oleh karena itu, kurang memberikan wahana yang kondusif bagi penggemburan pemikiran dan kritisisme di dunia Muslim.
Namun satu hal yang agaknya luput dari perhatian Anderson, hemat saya, bahwa tradisi seperti itu tidak hanya bisa ditemui di lingkungan Muslim Indonesia, tetapi juga berlangsung di dunia Muslim lainnya. Bernalar dengan cara lain, akan tiba pada simpulan yang berbeda, bahwa hal itu bukan melulu menunjukkan kelemahan metode pengajaran Islam, tetapi juga suatu pilihan tersendiri karena kecocokannya untuk memenuhi kebutuhan tertentu dari studi Islam, selain adanya hasrat untuk melestarikan tradisi pengajaran (Islam Nusantara) itu sendiri.
[…] Ben Anderson Memandang Pesantren […]