Saat ini kehidupan kita telah memasuki era baru yang dalam istilah Abdul Mustaqim dikenal dengan era reformatif – sebutan lain dari era modern – kontemporer. Kecenderungan penafsiran di era ini lebih menitik beratkan pada kebebasan dari kungkungan nalar ideologis dan sektarian yang banyak dipraktekan dalam traidsi penafsiran di abad pertengahan (era afirmatif). Menurut sebagian umat muslim, penafsiran agama Islam yang cenderung ideologis, dogmatis, dan sektarian justeru akan membuat agama Islam yang shalihun likulli zaman wa makan menjadi dipahami oleh umat muslim secara tidak komprehensif. Pada gilirannya agama Islam seolah cenderung tidak memberikan jawaban atas problem-problem kontemporer.
Dalam artikel ini penulis hendak mendiskusikan bahwasanya tafsir mempunyai peranan signifikan untuk memberikan sumbangsihnya dalam menjawab problematika kontemporer yang marak terjadi dan sekaligus menawarkan beberapa solusi dan strategi penyelesaiannya. Ada beberapa alasan mengapa tafsir era afirmatif yang cenderung dogmatis, diskriminatif, dan sektarian perlu dipertimbangkan untuk konteks saat ini. Menurut sebagian ahli, tafsir dengan corak ideologis, dogmatis, dan sektarian cenderung bertolak-belakang dengan Indonesia yang multi-etnik ini. Penafsiran yang moderat dan humanis adalah sangat cocok untuk Indonesia, sehingga ajaran-ajaran yang dibawakan mampu mensinergikan pemahaman umat Islam tentang keislaman dan keindonesiaan.
Dengan demikian, umat muslim mampu menjalankan hukum (syari’at) agamanya dalam konteks kehidupan sehari-hari dengan tanpa harus kehilangan identitasnya sebagai muslim sejati serta dapat meredam berbagai sikap ekstrem yang justru sering merugikan umat muslim sendiri (Abuddin Nata: 2018). Dalam kata lain, tafsir perlu memberikan dampak yang signifikan agar kehadirannya benar-benar membawakan misi agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan peradaban. Sebabnya, untuk mengetahui kebenaran tafsir menurut Abdul Mustaqim adalah dengan melakukan pengujian di lapangan, bukan dibiarkan di atas meja kertas (Abdul Mustaqim: 2016).
Menurut Abdul Mustaqim, dalam merespon problem kemanusiaan seperti kemiskinan, pengangguran, bencana, kebodohan dan lain sebagainya misalnya, tidak cukup hanya mengandalkan penafsiran konvensional yang cenderung eksklusif dan kurang humanis terhadap penganut agama lain. Diperlukan adanya kerjasama dengan penganut agama lain untuk menyelesaikan problem-problem seperti kemanusiaan karena permasalahan ini tidak dapat diselesaikan oleh satu agama saja. Karenanya, menjaga kerukunan dan kerjasama dengan penganut agama lain menjadi niscaya. Tanpa itu, kerukunan dan kerjasama dengan penganut agama lain akan sulit diwujudkan.
Pengaruf Tafsir Terhadap Pemikiran
Dalam buku “Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an,” Abdul Mustaqim menjelaskan bahwa Al-Qur’an sebagai petunjuk (hudan), ia menjadi inspirasi sekaligus motivasi umat muslim untuk dijadikan sebagai tolok ukur dan pedoman hidup sehingga ia dijadikan sebagai produser peradaban (muntaj al-tsaqafah) dalam ranah pemikiran. Sebagai kitab petunjuk dan produser peradaban, maka wajar bila dalam pemikiran Islam seperti fikih, kalam, politik, filsafat, tasawuf, dan sebagainya, yang semuanya hampir selalu dikaitkan dengan Al-Qur’an. Bahkan, dalam mata kuliah Studi Islam, materi Al-Quran dan Tafsir dijadikan sebagai mata kuliah kompetensi utama dalam mempelajari Studi Islam. Hal ini untuk menunjukkan bahwa Al-Qur’an benar-benar hadir untuk merespon segala problem yang terjadi dalam konteks kehidupan modern dan memudahkan umat muslim mengambil langkah solusinya.
Pemikiran kontemporer akan selalu selaras dengan visi dan misi Islam, yakni membawa misi untuk kemanusiaan dan peradaban, manakala umat muslim mampu memahami kedua sumber otoritatif dengan baik dan benar. Dampak dari kekeliruan memahami kedua sumber otoritatif tersebut, akan memberikan dampak yang keliru pula terhadap pemikirannya. Sebagai konsekuwensi logisnya, pemikiran yang seharusnya bertujuan untuk kemanusiaan dan peradaban justru akan kehilangan peran dan fungsinya sebagai rujukan utama untuk memecah problematika umat manusia.
Bagaimana langkah antisipasinya? Ada beberapa langkah yang mesti harus diperhatikan adalah aspek penafsiran. Tafsir harus selalu diupayakan dan dirumuskan agar ia selalu selaras dengan situasi dan kondisi sekarang. Kecenderungan tafsir ideologis, dogmatis, dan sektarian yang pernah dilakukan oleh para penafsir terdahulu, harus dipilah dan dipilih kelebihan dan kekurangannya, dan dihargai sebagai produk pemikiran manusia yang cocok untuk konteks zamannya dan bisa jadi tidak cocok untuk masa sekarang. Menurut Prof. Abdul Mustaqim, penafsiran dengan corak ideologis dan sektarian harus dirubah dan dikritik ulang, bahkan didekonstruksi di era medern-kontemporer, sehingga menjadi lebih ilmiah dan objektif.
Perbedaan pemahaman di antara satu tokoh dengan tokoh yang lain tidak lahir dalam ruang yang hampa, melainkan disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhinya. Salah satunya ialah disebabkan oleh faktor perbedaan penafsiran, faktor perbedaan kondisi geografis dan lingkungan sosial, faktor Hadis-hadis Nabi yang derajatnya bukan mutawatir, faktor perbedaan tingkat kecerdasan, wawasan dan kejeniusan mujtahid, faktor pertentangan politik, faktor perbedaan paham teologi dan politik para mujtahid, dan faktor perbedaan keahlian dan latar belakang pendidikan para mujtahid (Abuddin Nata: 2018).
Menafsirkan Al-Qur’an yang selaras dengan konteks zamannya adalah salah satu langkah yang sangat tepat dan sangat dibutuhkan untuk menjadikan pemikiran selalu selaras dengan tuntutan zaman. Jadi, tafsir tidak boleh berhenti. Tafsir harus dilakukan secara terus-menerus dengan menggunakan pendekatan-pendekatan dan disiplin keilmuan mutakhir sehingga kehadirannya benar-benar mengakomudasi kebutuhan umat dalam memecahkan problematika yang sedang dan atau akan terjadi di era modern-kontemporer ini.
Catatan Akhir
Dari rangkaian penjelalasan di atas, tafsir memiliki peranan penting untuk dalam ranah pemikiran. Dengan demikian, tafsir Al-Qur’an seyogianya harus terus dihidupkan dengan menggunakan pendekatan-pendekatan dan disiplin keilmuan mutakhir sehingga kehadirannya benar-benar mengakomudasi kebutuhan umat dalam memecahkan problematika yang sedang dan atau akan terjadi di era modern-kontemporer ini. Catatan penulis, penulis setuju dengan argumen Abuddin Nata yang mengatakan, meskipun islam dogmatis memiliki sisi positif dan negatif, tapi kehadirannya juga memberikan manfaat, yaitu memelihara kemurnian ajaran Islam dari berbagai pengaruh luar yang dapat merusak Islam, seperti meminimalisir terjadinya penyelewengan dari berbagai metode dan pendekatan yang digunakan para sarjana Barat yang melihat Islam dari sudut pandang kepentingan manusia dan hal-hal yang bersifat empiris belaka. []