Menilik Perjodohan di Kalangan Keluarga Kiai dan Sesama Santri

Pesantren adalah tempat belajar bukan hanya sebatas mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi juga pembentukan karakter dan spiritual para santrinya. Para kiai dan para pengajar kerap juga dijuluki sebagai Murobbi Ruh yang tidak hanya menjalin ikatan secara fisik, tetapi juga terikat secara batin. Maka tak heran, kharisma Sang Kiai dan pola ketaatan santri terhadap gurunya ini tidak berhenti pada proses mencari ilmu saja, tetapi juga kepatuhan dalam mencari dan memilih jalan kehidupan bahkan pasangan hidup.

Tak jarang perjodohan di kalangan santri terjadi di lingkungan pesantren. Baik antar anak keluarga kiai, antara santri dengan keluarga kiai, maupun antar sesama santri. Perjodohan di kalangan pesantren yang melalui kiai ini bermotif pendekatan spiritual. Jodoh pilihan kiai juga diyakini sebagai jalan untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.

Perjodohan di kalangan pesantren bukan seperti perjodohan di masa lalu yang memaknai hak Ijbar (otoritas orang tua) sebagai Ikrah (Pemaksaan). Padahal jika dipahami lebih lanjut, makna Ijbar merupakan bentuk implementasi otoritas orang tua dalam menikahkan seorang anak perempuan yang diyakini belum cukup dewasa untuk memutuskan pasangan pilihannya, namun tetap atas kerelaan keduanya.

Di kalangan pesantren, perjodohan yang terjadi biasanya digiring lebih demokratis. Santri yang hendak dicarikan pasangan hidupnya memiliki hak untuk menerima atau menolak kandidat yang diajukan setelah proses pengenalan (ta’aruf) lewat kiainya.

Kerap kali kiai juga mengambil santrinya untuk dijadikan menantu dan meneruskan titah perjuangan di pesantren. Sepertihalnya kisah KH. Baidlowi Asro, santri KH Hasyim Asy’ari dari Banyumas. Juga merupakan keturunan dari Kiai Asro di Banyumas.

Selama nyantri di Pesantren Tebuireng, Kiai Baidlowi merupakan santri yang cakap dan berakhlak baik. Tak jarang beliau juga dimintai pendapat oleh Hadratussyaikh dalam banyak hal. Bahkan beliau diberangkatkan haji oleh Sang Guru dan sempat belajar di Al-Azhar, Mesir. Sepulangnya dari ibadah haji dan menuntut ilmu, beliau dijodohkan oleh Hadratussyaikh dengan putrinya yang bernama Aisyah.

Baca Juga:  Santri dan Mahasiswa dalam Neraca Dikotomi

Setelah menikah, beliau ikut membantu perjuangan Sang Guru, mengabdi dan mengajar di Pesantren Tebuireng. Bahkan, beliau juga pernah diberi amanah untuk menjadi pengasuh Pesantren Tebuireng pada periode keempat. Dan juga pernah menjabat sebagai Dewan Syuriah PBNU.

Ini hanya salah satu kisah dari tradisi perjodohan dan pernikahan di lingkungan pesantren. Banyak juga pernikahan yang berlangsung antar sesama ustadz dan ustadzah agar mereka tetap mengabdi di lingkungan pesantren. Hal ini karena umumnya para santri yang mengabdi akan pindah dari pesantren tersebut setelah menikah. Maka dari itu, para kiai menyiapkan pasangan hidup bagi para santrinya, terutama mereka yang banyak berkiprah agar tidak meninggalkan pondok pesantrennya.

Di Pesantren juga acapkali digelar pengajian kitab-kitab seputar pernikahan, seperti Uqudul Zein, Qurratul Uyun, Dha’ul Misbah, dan Fathul Izzar. Dalam pengajian ini, tak jarang Kiai berkelekar mengisyaratkan para santri untuk memilih santriwati begitupun sebaliknya.

Walau tradisi perjodohan di kalangan santri masa kini tak seperti sebelumnya, namun dengan bekal kriteria jodoh ideal yang sudah dikantongi saat mengaji dalam kitab-kitab pernikahan. Maka tak jarang akhirnya mereka memilih pasangan yang seirama dan sepemahaman dengannya agar saling melengkapi dan memahami satu sama lainnya. [HW]

Vevi Alfi Maghfiroh
Alumni Ma'had Aly Hasyim Asy'ari Tebuireng Jombang. Sedang menempuh pascasarjana di IAIN Syekh Nurjati Cirebon jurusan Hukum Keluarga Islam (HKI). Aktif di Komunitas Puan Menulis.

    Rekomendasi

    2 Comments

    1. […] berlatar belakang kehidupan pesantren, kisah perjodohan mengawali jalannya cerita. Tradisi perjodohan di kalangan pesantren memang sudah biasa terjadi dan bahkan menjadi tradisi bagi sebagian kalangan […]

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini